Dampak Ekonomi Digital terhadap Kesejahteraan Akan Diukur
Dampak ekonomi digital terhadap kesejahteraan masyarakat akan diukur. Untuk itu, Badan Pusat Statistik menyiapkan sistem pendataan bagi pelaku usaha ekonomi digital.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sedang membangun sistem pendataan aktivitas ekonomi digital. Tujuannya adalah menunjukkan dampak ekosistem digital nasional terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sistem pendataan melalui Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut berupa portal pendataan bagi pelaku ekonomi digital. Portal ini terintegrasi dengan Indonesia Data Hub.
”Semoga akhir Februari ini bisa kami selesaikan lalu diuji coba bersama rekan-rekan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA),” kata Direktur Neraca Pengeluaran BPS Puji Agus Kurniawan pada diskusi dalam jaringan Digital Regulatory Outlook 2021, Rabu (24/2/2021).
Menurut Puji, pendataan penting untuk mengukur dampak perekonomian digital terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara makro, data yang diperoleh juga dapat menunjukkan dampak teknologi digital terhadap perekonomian nasional. Dengan demikian, data sebagai landasan kebijakan ekonomi digital di Indonesia semakin kuat.
Pendataan penting untuk mengukur dampak perekonomian digital terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pelaku usaha yang mengisi pendataan di portal tersebut berasal dari empat klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI). Empat klasifikasi itu adalah portal web atau platform digital tanpa tujuan komersial, platform digital tanpa tujuan komersial dengan tujuan komersial, aktivitas kurir, serta aktivitas hosting dan yang berkaitan.
BPS juga akan meminta data identitas penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, pendapatan, dan metode pembayaran. Data lain yang akan diminta BPS adalah jumlah tenaga kerja lokal dan asing, transaksi, informasi penjual dan pembeli, serta informasi lainnya.
Contoh variabel data yang dikumpulkan, antara lain, jumlah pengunjung spesifik, nilai transaksi, volume transaksi, jumlah kanal uang elektronik dan dompet elektronik, serta jumlah penjual. Selain itu, variabel data yang dikumpulkan adalah jumlah pembeli spesifik serta jumlah mitra dan pembeli per kategori menurut wilayah.
Secara khusus, pendataan transaksi produk akan meliputi kelompok barang atau jasa terkecil.
BPS juga berencana mengintegrasikan sistem dengan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS). Integrasi itu untuk mengirim pengingat pengisian data kepada pelaku usaha dengan KBLI.
”Portal yang dibangun telah didesain agar memudahkan pelaku usaha mengisi data. Pelaku usaha tidak memerlukan banyak waktu untuk mengolah data agar sesuai dengan kebutuhan BPS,” katanya.
Perlindungan data
Terkait pelaporan data, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga merekomendasikan tata cara yang dapat mengakomodasi keberagaman skala bisnis pelaku usaha. Skala bisnis berkaitan dengan kapasitas infrastruktur teknologi informasi yang dimiliki setiap pelaku usaha.
Ia juga menekankan, pengumpulan data harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. ”Apabila ada unsur data pribadi yang dilaporkan, perlu dilakukan masking,” katanya.
Masking adalah proses menutupi unsur data tertentu.
Pengumpulan data harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi.
Oleh sebab itu, Bima Laga berharap data yang dikumpulkan BPS bersifat agregat. Selain itu, ketentuan pelaporan data untuk perpajakan mesti dipisahkan dari aturan yang berkaitan dengan pendataan BPS.
Perihal perkembangan ekonomi digital nasional, Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Edwin menggarisbawahi Indeks Inovasi Global (GII) Indonesia yang stagnan di peringkat 85 pada 2018-2020.
Peringkat Indonesia, dibandingkan dengan 131 negara lain pada 2020, khususnya di kawasan Asia Tenggara, di bawah Singapura (posisi ke-8), Malaysia (posisi ke-33), dan Vietnam (posisi ke-42). Bahkan, posisi Indonesia ada di bawah Thailand (posisi ke-44), Filipina (posisi ke-50), dan Brunei Darussalam (posisi ke-71).
Pilar kecanggihan bisnis Indonesia memperoleh nilai rendah, yakni 17,8 dari skala 100. Pembentuk pilar ini adalah pengetahuan tenaga kerja, keterkaitan inovasi, dan penyerapan ilmu pengetahuan.
Rizal menilai, teknologi digital dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan menjembatani kesenjangan sehingga pertumbuhan ekonomi nasional dapat lebih inklusif dan berkelanjutan.
Oleh sebab itu, setiap kementerian dan lembaga mesti dikoordinasikan dalam menyusun kebijakan terkait ekonomi digital. Kebijakan itu meliputi aspek talenta, penelitian dan pengembangan, serta infrastruktur fisik dan digital.