Untuk mendongkrak daya beli agar lebih optimal, kebijakan fiskal perlu bersinergi secara harmonis dengan kebijakan moneter dan makroprudensial.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal yang harmonis diharapkan akan menjadi penentu pemulihan ekonomi nasional dari krisis akibat pandemi Covid-19. Fleksibilitas pengalokasian anggaran juga menjadi kunci kemanjuran dari program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Hidayat Amir, Rabu (24/2/2021), mengatakan, pemerintah menambah jumlah anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) menjadi Rp 699,43 triliun tahun ini. Besarannya naik dari rencana alokasi sebelumnya sebesar Rp 613,89 triliun.
Dana itu menyasar lima bidang, yakni kesehatan sebesar Rp 176 triliun, perlindungan sosial Rp 157 triliun, usaha mikro, kecil, dan memengah (UMKM) dan korporasi Rp 186 triliun, dan program-program prioritas kementerian/lembaga Rp 125 triliun, serta insentif usaha Rp 56 triliun.
Anggaran yang fleksibel ini, lanjut Hidayat, akan menjadi penentu pertumbuhan dan pemulihan ekonomi nasional. Dalam program PC-PEN 2021, pemerintah akan meningkatkan alokasi pada sektor kesehatan, mengingat implementasi program vaksinasi harus berjalan sesuai target.
”Anggaran yang bersifat fleksibel juga bermanfaat untuk memastikan sektor bisnis, baik UMKM maupun korporasi, serta konsumsi domestik, termasuk masyarakat kelas bawah, bisa pulih dari krisis akibat pandemi,” ujarnya dalam diskusi virtual ”Harmonisasi Kebijakan Moneter dan Fiskal” yang digelar Infobank di Jakarta.
Anggaran yang bersifat fleksibel juga bermanfaat untuk memastikan sektor bisnis, baik UMKM maupun korporasi, serta konsumsi domestik, termasuk masyarakat kelas bawah, bisa pulih dari krisis akibat pandemi.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal untuk menjaga perekonomian. Kebijakan terbaru adalah penurunan tarif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang akan dilakukan secara bertahap selama 9 bulan.
Selain itu, pemerintah juga melanjutkan program bantuan kepada masyarakat, seperti perlindungan sosial PEN untuk masyarakat kelas bawah. Program ini bertujuan memberi dukungan daya beli untuk menekan laju kemiskinan serta mendorong konsumsi masyarakat, khususnya kelas bawah.
Hidayat mengklaim, melalui kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah, konsumsi rumah tangga membaik dari triwulan ke triwulan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah pada triwulan II-2020 minus 5,5 persen. Posisi ini membaik pada triwulan III-2020 menjadi minus 4 persen, dan pada triwulan IV-2020 menjadi minus 3,6 persen.
”Ini menunjukkan program perlindungan sosial PEN efektif menahan penurunan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Namun, untuk mendongkrak daya beli agar lebih optimal, kebijakan fiskal perlu bersinergi secara harmonis dengan kebijakan moneter dan makroprudensial,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Yoga Affandi mengatakan, salah satu contoh harmonisasi stimulus kebijakan antara regulator fiskal dan moneter sudah terjadi melalui pelonggaran uang muka (DP) 0 persen Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
”Sinergi ini tentu diharapkan dapat berdampak signifikan terhadap konsumsi masyarakat. Dengan begitu, perekonomian akan mulai terangkat,” ujarnya.
Sebelumnya, BI telah menurunkan suku bunga acuan, BI 7-day (Reverse) Repo Rate menjadi 3,5 persen. Selain itu, untuk membuat pengalokasian anggaran semakin fleksibel, BI dan Kementerian Keuangan telah memperpanjang kesepakatan pembagian beban hingga 31 Desember 2021.
Perpanjangan kesepakatan ini ditandai dengan pembelian surat berharga negara (SBN) oleh BI sebesar Rp 40,77 triliun sejak awal Januari 2020 hingga 16 Februari 2021. Pembelian SBN di pasar perdana itu terdiri dari Rp 18,16 triliun melalui mekanisme lelang utama dan sebesar Rp 22,61 triliun melalui mekanisme greenshoe option (GSO). Adapun sepanjang 2020, BI telah membeli SBN di pasar perdana sebesar Rp473,42 triliun untuk pendanaan APBN 2020.
”Kami telah menyepakati pembelian SBN di pasar perdana maupun pasar sekunder sejak tahun lalu. Kami melanjutkannya hingga akhir 2021,” kata Yoga.
Kami telah menyepakati pembelian SBN di pasar perdana maupun pasar sekunder sejak tahun lalu. Kami melanjutkannya hingga akhir 2021.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, data yang menunjukkan perbaikan ekonomi nasional masih belum optimal. Kondisi ini akan membuat pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 terkontraksi.
”Salah satu faktor yang menahan pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga yang masih rendah. Perlu ada terobosan lain dari bauran kebijakan tersebut untuk mendorong konsumsi rumah tangga agar pemulihan ekonomi nasional dapat lebih terasa,” ujarnya.
Tauhid juga menyatakan, pemerintah perlu mengkaji ulang program PEN untuk UMKM dan korporasi agar lebih tepat sasaran dalam mempercepat pertumbuhan perekonomian nasional. Hal ini menjadi vital mengingat program PEN 2020 untuk sektor itu cenderung lebih banyak digunakan untuk menutup kerugian yang diderita pelaku usaha.