Tak semua instrumen terpengaruh pergerakan suku bunga acuan. Kendati tren suku bunga acuan turun, suku bunga atau yield surat berharga negara (SBN) bergerak sebaliknya. Mengapa bisa terbentuk anomali?
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Suku bunga acuan yang bernama BI 7-day (reverse) repo rate (BI7DRR) itu kini sudah 3,5 persen, terendah sejak digunakan pertama kali pada April 2016. Bank Indonesia terus menurunkan suku bunga acuan agar suku bunga di perbankan, pasar uang, dan pasar modal semakin rendah sehingga akhirnya membuat sektor riil kembali bergairah setelah terpuruk sepanjang 2020 akibat pandemi Covid-19.
Pada 17 Februari 2021, Rapat Dewan Gubernur BI kembali menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 3,5 persen. Tren penurunan suku bunga acuan terjadi sejak Juni 2019 seiring turunnya inflasi dan melesunya perekonomian.
Inflasi inti, yang menjadi jangkar pergerakan suku bunga acuan, melemah secara konstan sejak pertengahan 2019 hingga menyentuh 1,56 persen pada Januari 2021, yang merupakan rekor terendah sepanjang republik. Inflasi inti mencerminkan daya beli masyarakat. Inflasi inti yang terus menurun mengindikasikan daya beli masyarakat yang semakin lemah sehingga perekonomian nasional pun menjadi lesu. Tak heran, perekonomian Indonesia pun terkontraksi minus 2,07 persen pada 2020.
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian, maka daya beli atau permintaan masyarakat harus ditingkatkan sehingga sektor riil akan terdorong untuk berproduksi. Bagaimana mendorong permintaan masyarakat sekaligus aktivitas sektor riil? Salah satunya tentu dengan menurunkan suku bunga pinjaman dan surat utang.
Suku bunga kredit yang rendah dan tidak memberatkan akan memicu masyarakat untuk meminjam uang dari bank serta menggunakannya untuk membeli berbagai barang dan jasa. Meningkatnya kebutuhan barang dan jasa pada gilirannya akan mendorong dunia usaha mencari modal yang lebih besar agar bisa menaikkan produksinya. Dengan suku bunga yang rendah, sektor rill pun akan berbondong-bondong mengajukan kredit modal kerja dan investasi ke bank.
Sebagai suku bunga acuan dalam sistem keuangan Indonesia, penurunan suku bunga BI7DRR secara mekanisme pasar akan otomatis menurunkan suku bunga instrumen-instrumen keuangan dalam denominasi rupiah. Pada tahap awal, penurunan BI7DRR akan memengaruhi suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) bertenor pendek. Karena bank bisa mencari pendanaan yang lebih murah di PUAB, bank kemudian akan menurunkan suku bunga depositonya.
Per Desember 2020, rata-rata suku bunga deposito berjangka 1 bulan, yang mendominasi dana pihak ketiga (DPK) perbankan, berada di level 4,25 persen, turun 251 bps dibandingkan dengan Juni 2019. Turunnya suku bunga dana, seperti deposito, giro, dan tabungan, akan membuat biaya dana (cost of fund) perbankan menjadi lebih murah sehingga akhirnya juga akan menarik turun suku bunga kredit. Terbukti, suku bunga kredit dalam tren menurun. Suku bunga kredit modal kerja, contohnya, per akhir 2020 berada di posisi 9,15 persen.
Anomali
Namun, ternyata, tidak semua instrumen berdenominasi rupiah selalu terpengaruh oleh pergerakan suku bunga acuan. Anomali itu tampak pada suku bunga surat berharga negara (SBN).
Contohnya terjadi pada Maret 2020. Kendati suku bunga acuan kala itu tengah berada dalam tren menurun, suku bunga atau yield SBN tenor 10 tahun tiba-tiba melejit 6,79 persen menjadi 8,22 persen. Selama Januari-Februari 2021, yield SBN juga cenderung naik, padahal suku bunga acuan terus menukik.
Mengapa bisa terbentuk anomali? Ternyata, faktor utama yang memengaruhi yield SBN bukanlah suku bunga acuan, melainkan suku bunga obligasi AS, nilai tukar rupiah, dan pembalikan modal (sudden reversal).
Kondisi ini terjadi karena penguasaan investor asing terhadap SBN relatif besar. Sebelum pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, penguasaan asing sebanyak 38 persen. Pandemi Covid-19 yang meningkatkan ketidakpastian membuat investor asing ramai-ramai menjual SBN sehingga porsinya turun drastis. Per 19 Februari 2021, investor asing tercatat menguasai 25 persen dari total SBN yang diperdagangkan yang sebesar Rp 4.041 triliun.
Karena porsinya yang besar, pergerakan asing sangat memengaruhi yield SBN. Jika spread SBN dan obligasi AS dianggap tidak menarik, investor asing cenderung enggan membeli SBN. Pemerintah pun akhirnya harus menawarkan yield yang lebih tinggi agar investor asing mau membeli SBN. Begitu pula saat terjadi sudden reversal yang meningkatkan credit default swap (CDS), pemerintah harus buru-buru menaikkan yield SBN agar investor asing kembali masuk ke Indonesia.
Kondisi ini tidak terelakkan karena perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada pasokan dollar AS dari para investor asing. Maklum, neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia selalu defisit. Karena itu, berapa pun biayanya, karpet merah akan selalu disediakan untuk investor asing agar neraca pembayaran Indonesia tidak tekor dan stabilitas nilai tukar tetap terjaga.
Namun, tetap tingginya yield SBN di tengah tren penurunan suku bunga jelas sangat merugikan Indonesia. Sebab, beban bunga utang yang harus dibayar menjadi tinggi. Berdasarkan APBN 2021, proyeksi beban bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp 373,3 triliun. Dengan proyeksi belanja negara Rp 2.750 triliun, rasio beban bunga utang terhadap belanja negara 13,6 persen, terbesar dalam sejarah Indonesia.
Ini menunjukkan porsi belanja negara yang digunakan untuk membayar bunga utang semakin besar. Akibatnya, porsi belanja untuk program pembangunan semakin mengecil.