Meski Tak Jelas, Konsep Kendaraan Berbahan Bakar Gas Dipertahankan
Program pengembangan kendaraan berbahan bakar gas bernasib tak jelas seiring masifnya rencana pengembangan kendaraan listrik. Pilihan sumber energi kendaraan yang realistis dan ramah lingkungan harus tetap yang utama.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib pengembangan kendaraan berbahan bahan bakar gas tak menentu seiring masifnya pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Meskipun demikian, pengembangan kendaraan berbahan bakar gas masih memungkinkan dipertahankan dengan model hybrid.
Pengembangan kendaraan berbahan bakar gas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam aturan itu disebutkan, pemerintah menargetkan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) sebanyak 287 unit di 2020 dan menjadi 632 unit di 2025.
Namun, nasib rencana pembangunan infrastruktur tidak jelas dan tidak masuk dalam program kerja Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi di 2021. Hingga 2017, pembangunan SPBG di Indonesia baru sebanyak 46 unit.
Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha, Rabu (24/2/2021), mengatakan, kendaraan berbahan bakar gas tetap menjadi alternatif untuk kendaraan dengan bahan bakar bersih di Indonesia. Kendati pemerintah menggencarkan pengembangan kendaraan listrik, bukan berarti program kendaraan berbahan bakar gas dihapuskan.
”Tak menutup kemungkinan nanti dikembangkan kendaraan berbahan bakar hybrid (campuran), termasuk dengan gas. DEN sedang menyusun rencana besar (grand strategy) yang mengacu pada Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Kendati pemerintah menggencarkan pengembangan kendaraan listrik, bukan berarti program kendaraan berbahan bakar gas dihapuskan.
Strategi yang disiapkan DEN tersebut sebagai respons terhadap permintaan energi di Indonesia yang terus meningkat dan masih bergantung pada impor. Beberapa strateginya adalah dengan meningkatkan produksi minyak di dalam negeri, mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan, serta pengoptimalan gas bumi untuk transportasi dan industri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, dengan melihat perkembangan teknologi kendaraan saat ini, kendaraan berbahan bakar gas sudah tidak relevan. Kendaraan berbahan bakar minyak masih dominan dan di saat yang sama pertumbuhan kendaraan listrik di seluruh dunia cukup pesat. Sepanjang 2020, pangsa pasar kendaraan listrik di seluruh dunia sebesar 4,4 persen.
”Jadi, dengan melihat perkembangan yang ada di tingkat global, kendaraan berbahan bakar gas sudah tidak relevan lagi. Terkait panduan dalam RUEN, sebaiknya perlu penyesuaian target dengan mempertimbangkan arah teknologi yang sedang berkembang dan rencana komersialisasi pada 5-10 tahun mendatang,” ucap Fabby.
Dalam paparan capaian kinerja, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, pada tahun ini tidak ada program pembangunan infrastruktur SPBG. Pemerintah masih berfokus pada infrastruktur jaringan gas rumah tangga, serta konventer kit untuk nelayan dan petani. Begitu pula capaian kinerja 2020 yang masih berfokus pada dua hal tersebut di sektor infrastruktur.
Dengan melihat perkembangan teknologi kendaraan saat ini, kendaraan berbahan bakar gas sudah tidak relevan.
Di Jakarta, angkutan publik yang dioperasikan PT Transjakarta sampai 2025 didominasi bus bertenaga listrik. Di tahun tersebut akan dioperasikan bus sebanyak 8.882 unit. Dari jumlah itu, sebanyak 4.441 unit adalah bus bertenaga listrik, dan sisanya berbahan bakar biosolar dan gas terkompresi (CNG).
”Sampai 2030, jumlah armada bus terus ditambah. Diharapkan pada 2030 nanti jumlah armada mencapai 12.172 unit dengan penambahan dari pengadaan bus listrik,” kata Staf Ahli Direktur Pelayanan dan Pengembangan PT Transjakarta Shadiq Helmy dalam webinar bertajuk ”Transportasi Publik Berbasis Listrik untuk Indonesia Lebih Bersih” yang diselenggarakan Coaction Indonesia, akhir Januari lalu.
Dari kajian efisiensi berbagai jenis bahan bakar bus Transjakarta, bus bertenaga listrik jauh lebih murah ketimbang bus berbahan bakar biosolar dan CNG. Bus berbahan bakar biosolar, biaya energinya Rp 2.575 per kilometer, sedangkan bus berbahan bakar CNG Rp 2.067 per kilometer. Adapun untuk kendaraan listrik biaya energinya sebesar Rp 796 per kilometer.
Untuk kendaraan listrik, pemerintah menargetkan sebanyak 15 juta kendaraan listrik yang terdiri dari 2 juta unit roda empat dan 13 juta unit roda dua, beroperasi di Indonesia pada 2030. Target 15 juta kendaraan listrik diharapkan dapat menghemat impor bahan bakar minyak setara 77.000 barel per hari. Penghematan impor tersebut juga berhasil menghemat devisa senilai 1,8 miliar dollar AS dan menurunkan emisi gas karbon sebanyak 11,1 juta ton.