Regulasi baru tentang kemudahan usaha dan investasi akan memacu ekonomi dan mendulang tenaga kerja. Penerapannya harus hati-hati agar tidak membawa dampak buruk.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan sistem perizinan berusaha berbasis risiko dan perluasan bidang investasi lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat memudahkan iklim usaha. Namun, kemudahan itu perlu diantisipasi dengan pengawasan ketat agar tidak berbalik menjadi bumerang yang merugikan masyarakat dan kepentingan nasional.
Lewat peraturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang diterbitkan bersamaan pada Minggu (21/2/2021), pemerintah memperkenalkan pendekatan baru perizinan berusaha dan berinvestasi. Perizinan berusaha tidak lagi berbasis izin, tetapi berbasis risiko (risk based approach/RBA).
Untuk menyederhanakan perizinan berusaha di Indonesia, setiap jenis kegiatan usaha, mengacu pada kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI), ditakar analisis risikonya, dari tingkat rendah menuju tinggi. Tidak semua jenis kegiatan usaha memerlukan izin dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Direktur Eksekutif Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Senin (22/2/2021), mengatakan, lewat UU Cipta Kerja, ada harapan perbaikan berupa percepatan pelayanan perizinan, kemudahan, dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Iklim usaha menjadi lebih kondusif dan mendorong investasi.
”Namun, perbaikan regulasi saja tidak akan berdampak banyak jika implementasinya berantakan dan berdampak buruk pada aspek sosial-ekonomi daerah setempat,” ujarnya.
Perbaikan regulasi saja tidak akan berdampak banyak jika implementasinya berantakan dan berdampak buruk pada aspek sosial-ekonomi daerah setempat.
Tauhid menyorot pemetaan dan pelaksanaan analisis risiko yang dilakukan pemerintah pusat. Pelaksanaan analisis risiko itu diatur dalam Pasal 8 PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Disebutkan, analisis risiko dilakukan pemerintah pusat lewat identifikasi kegiatan usaha, penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, penetapan tingkat risiko, dan penetapan jenis perizinan berusaha. Aspek yang dianalisis adalah kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan pemanfaatan-pengelolaan sumber daya.
Menurut Tauhid, pemetaan risiko yang dibuat pemerintah pusat tidak bisa menggambarkan kondisi riil di daerah. Jika pemerintah pusat sudah memutuskan izin, tetapi daerah belum selesai memproses, itu bisa jadi hambatan besar.
”Yang tahu kondisi sebenarnya adalah pemerintah daerah. Daerah juga perlu berkonsultasi ke masyarakat dulu, apalagi terkait kepastian penggunaan lahan,” kata dia.
Tauhid mengatakan, untuk memastikan UU Cipta Kerja diterapkan dengan tepat dan tidak berdampak negatif pada masyarakat sekitar, koordinasi antara pusat dan daerah harus ditata.
Untuk itu, pertama-tama, pemerintah pusat harus memiliki rencana potensi investasi yang mendetail disertai potensi lokasi. Berikutnya, pemerintah daerah harus segera menyusun peraturan daerah (perda) untuk memetakan secara riil potensi risiko dari tiap jenis kegiatan usaha, dengan mengacu pada peta rencana potensi investasi dari pemerintah pusat itu.
”Perencanaan itu penting. Ketika peta potensi investasi keluar dari pusat, langsung tentukan apakah daerah tertentu clear atau tidak, berisiko atau tidak, tidak hanya berdasarkan pertimbangan pusat, tetapi juga daerah. Itu bisa memperkuat kepastian usaha sekaligus mencegah dampak negatif, seperti konflik sosial dengan masyarakat setempat,” ujarnya.
Selain perizinan berusaha yang tidak lagi berbasis izin, lewat UU Cipta Kerja, pemerintah juga mengubah konsep investasi dari yang semula berpatok pada daftar negatif investasi (DNI) menjadi bidang usaha prioritas. Berbagai bidang usaha prioritas itu akan diberikan insentif dan kemudahan, baik fiskal maupun nonfiskal.
Selama ini, DNI mencakup sejumlah bisnis tertentu yang tidak boleh dikelola investor atau yang boleh dikelola dengan persyaratan tertentu. Beberapa bidang yang selama ini ditutup dari investasi asing maupun domestik adalah pertahanan nasional dan kesehatan.
Pemerintah, lanjut Tauhid, harus berhati-hati memilih sektor mana yang boleh dikelola investor dan yang tidak. Sebagai contoh, sektor terkait kebutuhan dan kepentingan publik seharusnya tidak diserahkan kepada investor. Begitu juga sektor yang banyak diampu UMKM, jangan sampai dikuasai investor besar.
Iklim usaha perlu dimudahkan, tetapi tetap harus dengan batasan-batasan tertentu yang tidak merugikan masyarakat dan kepentingan nasional. Batasan itu tetap dibutuhkan untuk melindungi ekonomi UMKM dan juga mempertahankan kepentingan nasional.
”Kalau sektor publik diserahkan ke investor, ada konsekuensi yang bisa merugikan masyarakat, mengingat investor swasta akan cenderung mencari untung,” kata Tauhid.
Sementara pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio mengatakan, tantangan penerapan aturan turunan itu pada pengawasan dan koordinasi yang selama ini masih terbilang lemah. Bahkan, dengan detail aturan yang kompleks itu, penunggang gelap berpotensi bermunculan
”Peraturan pelaksana ini dihasilkan dengan terburu-buru, dikasih target. Mohon sistem pengawasan dari kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab harus tegas. Kalau tidak tegas, peraturan ini tidak ada gunanya,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, pemberian kemudahan, kepastian perizinan, dan perluasan bidang investasi itu sejalan dengan maksud dan tujuan UU Cipta Kerja. Pemerintah yakin perubahan ini akan menjadi game changer dalam percepatan investasi dan pembukaan lapangan kerja baru.
”Kita memasuki era baru yang memberi kemudahan dan kepastian perizinan kegiatan usaha, supaya bisa meningkatkan daya saing investasi dan produktivitas, serta efisiensi kegiatan usaha,” ujarnya.
Hasil pemetaan analisis risiko atas 18 sektor kegiatan usaha atau 1.531 jenis kegiatan usaha di daftar KLBI menunjukkan, ada 707 jenis usaha (31 persen) yang berkategori risiko rendah, 458 jenis usaha (20,09 persen) yang berisiko menengah rendah, 670 jenis usaha (29,39 persen) yang berisiko menengah tinggi, dan 445 jenis usaha (19,52 persen) yang berisiko tinggi.
Pemerintah yakin perubahan ini akan menjadi game changer dalam percepatan investasi dan pembukaan lapangan kerja baru.
Perizinan usaha dilakukan melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS). Usaha dengan tingkat risiko rendah dan menengah rendah bisa langsung beroperasi dengan mengurus nomor induk berusaha (NIB) di OSS. Usaha risiko menengah rendah perlu NIB dan Sertifikat Standar berupa deklarasi komitmen pengusaha untuk beroperasi sesuai standar. Keduanya dapat diurus secara daring lewat OSS.
Sementara itu, untuk risiko menengah tinggi dan tinggi, perizinan tidak bisa diurus lewat OSS saja. Selain NIB, perizinan untuk usaha berisiko menengah-tinggi harus melalui proses tambahan berupa verifikasi sertifikat standar oleh pemerintah pusat atau daerah.
Sementara, usaha dengan risiko tinggi baru bisa beroperasi setelah mendapat NIB dan setelah mendapat izin persetujuan dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya izin amdal.
”Dengan demikian, ada 51 persen perizinan kegiatan usaha yang cukup diselesaikan lewat OSS, termasuk di dalamnya juga kegiatan-kegiatan usaha mikro kecil,” kata Airlangga. (LAS/CAS)