Menyemai Penghidupan di Sepetak Lahan Pertanian Rorotan
Berpuluh tahun lahan di Rorotan, Jakarta Utara, menghidupi mereka yang bertani di situ. Saat pandemi, pertanian pula yang masih menyediakan penghidupan meskipun potensi gagal panen masih terbentang.
Pandemi memaksa sebagian kecil warga Jakarta yang kehilangan pekerjaan beralih profesi menjadi petani. Meski penghasilan petani masih jauh dari kata sejahtera, setidaknya penghasilan yang mereka dapatkan cukup untuk bertahan hidup. Urusan pendapatan ini juga yang menahan mereka menggeluti sawah yang luasnya tak seberapa di Ibu Kota ini.
Cuaca terik pada Senin (22/2/2021) siang tak menyurutkan semangat Erdiansyah (20) untuk memanen tanaman genjer di lahan garapan milik orangtuanya.
Genjer tersebut kemudian dimasukkan ke dalam karung-karung yang sudah disediakannya. Selanjutnya, tanaman yang oleh ahli botani disebut Limnocharis flava itu diangkut satu per satu ke tepi jalan. Jarak antara lahan dan tepi jalan tidak kurang dari 200 meter.
Baca juga: Pertanian Jadi Bantalan, Terima Kasih Petani
Sudah dua bulan ini Erdiansyah membantu kedua orangtuanya bekerja di sawah. Lahan persawahan itu tepatnya terbentang di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.
Minimnya lowongan kerja di masa pandemi Covid-19 memaksa lulusan SMK jurusan otomotif ini turun ke sawah.
”Belum dapat (pekerjaan). Pandemi gini susah. Tetapi ya tergantung nasib. Teman-teman juga banyak yang belum dapat kerjaan,” ujarnya saat ditemui.
Sekilas, Erdiansyah terlihat seperti seorang petani kawakan. Selama berada di sawah, dia memakai celana dan baju panjang ala kadarnya. Dia juga melilitkan kain untuk menutupi kepala. Saat jam menunjukkan pukul 12.00, dia mentas dan berganti pakaian.
”Kalau sudah siang, biasanya saya ke rumah Bibi, belajar bikin akuarium. Kebetulan Bibi punya toko akuarium di rumah,” katanya.
Kemampuan bercocok tanam Erdiansyah ditularkan dari sang ibu, Satimah (75). Sudah puluhan tahun, Satimah dan suami menjadi petani di Rorotan. Tidak hanya berisi tanaman genjer, lahan yang diolah Satimah juga dipenuhi sawi (Brassica juncea), kangkung (Ipomoea reptans), dan padi (Oryza).
Saat ini, Satimah menggarap lahan persawahan 8.000 meter persegi untuk tanaman padi. Sementara, tanaman sawi dan kangkung tumbuh di lahan seluas 400 meter persegi.
Khusus untuk padi, dalam sekali panen Satimah dapat menghasilkan 4 ton gabah. Satu ton gabah dihargai hingga Rp 4 juta. Artinya, dalam sekali panen Satimah bisa menghasilkan Rp 16 juta.
Namun, biaya menanam padi yang dia keluarkan tidak kalah besarnya. Dia mengaku membutuhkan modal hingga Rp 12 juta untuk menanam padi hingga panen. Modal digunakan untuk menyewa traktor, membeli bibit, membeli pupuk, hingga membeli obat-obatan untuk tanaman.
”Paling cuma dapat untung bersih Rp 4 juta sekali panen padi. Kalau tanaman lain sekali panen paling bagus bisa Rp 1 juta. Tetapi kalau sekarang, enggak bisa soalnya pada rusak kena banjir,” kata warga Pusaka Rakyat, Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, ini.
Panen padi biasanya dilakukan Satimah setiap tiga bulan sepuluh hari. Sementara untuk tanaman lain, panen dilakukan hampir sebulan sekali.
Paling cuma dapat untung bersih Rp 4 juta sekali panen padi. Kalau tanaman lain sekali panen paling bagus bisa Rp 1 juta. Tetapi kalau sekarang, enggak bisa soalnya pada rusak kena banjir.
Hasyim (40), warga RT 007 RW 008 Rorotan, saat ini juga fokus menggarap lahan pertanian. Ia sebelumnya adalah karyawan, tetapi pada November 2020 ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pertanian bukan hal yang asing bagi Hasyim. Sebelum bekerja di perusahaan, dia pernah beberapa kali menggarap lahan pertanian di Rorotan.
”Sistemnya, saya bagi hasil sama pemilik lahan. Saya yang tanam sampai panen, nanti hasilnya dibagi dua. Saat masih bekerja, saya biasanya bantu orangtua waktu panen saja,” katanya.
Dalam sekali panen, Hasyim bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp 2,5 juta. Hasilnya tidak berbeda jauh dari gajinya ketika menjadi karyawan. Saat itu, ia menerima upah Rp 2 juta sebulan.
Bedanya, uang yang diperoleh dari panen padi tersebut harus dihematnya agar bisa bertahan selama 3-4 bulan sampai panen selanjutnya. Setidaknya, kata Hasyim, penghasilannya kini masih cukup untuk biaya makan.
”Kalau dipikir-pikir, lebih enak menjadi karyawan. Gajinya pasti. Kalau petani, kan, tergantung panen. Bisa jadi gagal panen. Jadi masih jauh dari sejahtera,” ujarnya.
Beberapa hari ini Hasyim mengaku hanya menganggur di rumah lantaran lahan garapannya saat ini terendam banjir. Padahal, seharusnya dia sudah mulai menyebar bibit. Setidaknya ada sekitar 1 hektar lahan yang sedang dia garap saat ini.
Sebagai buruh tani, Hasyim bertanggung jawab menyiapkan modal, seperti membeli bibit, membeli pupuk, merawat padi, dan memanen. Hasil penjualan dari panen tersebut nantinya dipotong untuk biaya modal. Setelah itu, ia baru mendapatkan keuntungan yang akan dibagi dua bersama pemilik lahan, tergantung kesepakatan.
”November kemarin (panen) lagi kurang bagus. Setelah dipotong modal, tersisa Rp 3 jutaan. Pemilik lahan saya kasih Rp 500.000,” katanya.
Menurut Hasyim, kebanyakan lahan pertanian yang ada di Rorotan merupakan lahan milik perusahaan. Para warga diberi hak untuk mengelola lahan pertanian tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan dilengkapi surat perjanjian.
Air tercampur limbah
Dunia pertanian juga sangat melekat pada benak Ajid (52), warga Rorotan. Meski masih tercatat sebagai aparatur sipil negara (ASN), dia enggan meninggalkan dunia pertanian.
Banyaknya waktu senggang yang dia miliki selama pandemi Covid-19 membuatnya bisa menggarap tanaman di sawah. Bedanya, Ajid bertindak sebagai pemilik lahan, bukan buruh tani.
”Hobi saja saya. Ayah saya petani. Kakek saya juga petani. Jadi sudah turun temurun,” katanya.
Baca juga: Sektor Pertanian Penopang yang Rapuh
Menurut Ajid, tidak mudah menjadi petani di kawasan perkotaan. Tantangan yang dihadapi menjadi lebih besar. Selain gangguan hama, gagal panen juga sering dipicu oleh air irigasi yang tercampur dengan limbah.
Selama ini, sistem pengairan sawah di Rorotan memanfaatkan saluran-saluran air dari permukiman warga. Karena itu, air yang masuk sering kali bercampur dengan limbah rumah tangga dan industri.
”Saya terakhir panen bulan Juli. Harusnya Desember sudah panen. Tapi ternyata gagal panen,” katanya.
Pandemi Covid-19 turut memberikan dampak bagi petani meskipun tidak signifikan. Menurut Ajid, harga gabah yang tadinya Rp 350.000 per kuintalturun menjadi Rp 320.000 per kuintal. Dia menduga, turunnya harga tersebut karena tengkulak kesulitan menjual beras.
”Waktu itu, kan, orang-orang banyak dapat bantuan sembako. Nah, tengkulak itu orang-orang daerah sini juga. Biasanya mereka salurkan beras ke penjual-penjual. Sekarang penjualan sudah mulai normal lagi karena sudah enggak ada bantuan sembako,” ujarnya.
Sektor pertanian kini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Dengan tambahan lebih dari 4 juta tenaga kerja, beban sektor pertanian tambah lebih berat. Perlu upaya ekstra agar produktivitasnya tidak tertekan (Kompas, 22 Februari 2021).
”Pertanian menanggung 29,76 persen tenaga kerja, tetapi kontribusinya dalam produk domestik bruto 13,7 persen. Peralihan tenaga kerja berpotensi meningkatkan beban,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto dalam diskusi daring yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (17/2/2021).
Kini eksistensi lahan pertanian di Jakarta justru mulai terancam. Sebagian lahan pertanian di kawasan Rorotan mulai dialihfungsikan. Salah satunya sebagai tempat pemakaman umum (TPU) untuk jenazah Covid-19.
Kekhawatiran akan kehilangan lahan untuk bercocok tanam ini dirasakan Satimah. Ia mengaku tidak tahu persis siapa pemilik sebagian lahan yang diolahnya sebagai sumber penghidupan. Namun, kabar sudah berembus tentang kemungkinan lahan seluas 2.000 meter persegi itu sewaktu-waktu bakal berubah menjadi area pemakaman.
Posisinya yang lemah lantaran tak punya kuasa atas tanah membuat Satimah tak bisa berbuat banyak selain terus bertanam selagi bisa sembari memendam rasa cemas.