Kolaborasi di tempat kerja menentukan apakah mereka betah di kantor atau tidak. Tempat bekerja yang memberi kebahagiaan adalah tempat yang mampu mengombinasikan kerja sama tim secara efektif dan kemampuan berkolaborasi.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Berkali-kali kita melihat berbagai acara-acara besar, seperti Olimpiade, Asian Games, dan lain-lain. Kita mungkin terpesona dengan kemegahan acaranya, tetapi tak pernah memikirkan kerja di belakang acara itu. Berbagai pekerjaan harus diselesaikan sebelum acara itu dimulai. Semua proses menjadi contoh bagi perusahaan modern untuk membuat kolaborasi sekalipun anggota tim tak bertemu.
Di dalam kultur lama, orang lebih banyak menuntut tempatnya bekerja untuk memenuhi keinginannya sebagai balas dari pekerjaan yang dilakukan. Kehadiran orang-orang muda di kantor membuat peta tuntutan sangat berubah. Mereka lebih menginginkan perasaan bahagia ketika di kantor. Oleh karena itu, kolaborasi di dalam lokasi kerja akan menentukan apakah mereka betah di kantor atau tidak ketika perusahaan menghadapi masalah besar.
Tempat bekerja yang memberi kebahagiaan adalah tempat yang mampu mengombinasikan kerja sama tim secara efektif dan mengembangkan kemampuan berkolaborasi. Mereka yang mampu mengombinasikan keduanya akan menjadi tempat yang menghasilkan karya, semangat, dan juga karyawan yang betah berada di lokasi kerja itu.
Kegagalan-kegagalan dalam organisasi bisnis menunjukkan ketidakmampuan pemimpin organisasi menyemai dan mendorong kolaborasi. Kita bisa dengan mudah mendapati kegagalan-kegagalan dalam menjalankan bisnis karena kolaborasi tidak cukup kuat di tempat kerja seperti itu. Tempat kerja yang sangat menekan, instruktif, dan karyawan ogah berinisiatif sudah bisa menjadi petunjuk perusahaan ini bakal gagal.
Kegagalan-kegagalan dalam organisasi bisnis menunjukkan ketidakmampuan pemimpin organisasi menyemai dan mendorong kolaborasi.
Kolaborasi memang menjadi mantra sejak beberapa tahun lalu, tetapi kenyataan di perusahaan tidak mudah dijalankan. Pemahaman kolaborasi sering kali juga keliru. Seolah dengan bekerja bersama, sudah boleh dibilang melakukan kolaborasi. Kolaborasi memiliki syarat dasar melampaui bekerja bersama, yaitu mereka yang terlibat bahagia dan karyawan selalu terdorong kreatif.
Bahagia dan kreatif akan mendorong orang yang terlibat mau berbagi ilmu secara bebas, saling belajar, mau bekerja secara fleksibel ketika muncul masalah besar dan menuntut keterlibatan mereka. Di dalam sebuah artikel berjudul ”Eight Ways to Build Collaborative Teams” di Harvard Business Review ditunjukkan, kantor dengan iklim kolaboratif membuat karyawan saling bantu menyesaikan tugas yang belum tuntas dan juga mau berbagi sumber daya ketika yang lain membutuhkan.
Bahagia dan kreatif akan mendorong orang yang terlibat mau berbagi ilmu secara bebas, saling belajar, mau bekerja secara fleksibel ketika muncul masalah besar dan menuntut keterlibatan mereka.
Akan tetapi, semua itu tidaklah mudah dibangun. Apalagi saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini yang sebagian besar pekerjaan dilakukan secara virtual maka organisasi bisnis makin banyak memiliki tantangan untuk membangun dan memelihara iklim kolaboratif. Membangun kolaborasi di situasi normal sudah memiliki beberapa tantangan sendiri, seperti berbagai perbedaan yang ada di dalam organisasi. Semua ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat.
Terlepas dari berbagai teori dan pandangan tentang kolaborasi, perilaku eksekutif dan senior di perusahaan memiliki pengaruh yang kuat agar muncul kehendak atau terdorong untuk berkolaborasi. Perilaku mereka yang diamati para yunior di perusahaan memainkan peranan cukup penting di dalam kesiapan tim untuk mau berkolaborasi. Di sini tantangan pertama adalah agar para senior terdorong melakukan kolaborasi dan juga perilaku kolaboratif dari para senior terlihat.
Setiap perusahaan belum terlambat untuk mengembangkan kultur kolaboratif. Perusahaan-perusahaan yang terkena dampak pandemi dan juga disrupsi digital makin perlu secepatnya mengadopsi kultur ini. Beban berat tidak mungkin lagi ditanggung pemilik dan juga para eksekutifnya. Beban itu perlu dibagi juga hingga ke karyawan biasa. Semua perlu merasakan beban itu, pada saat yang sama memanggil mereka untuk ikut memecahkan masalah.
Semua tidak mudah, tetapi bisa diawali dengan semua merasakan sebagai satu kelompok yang mempunyai beban dan perlu mencari solusi. Perusahaan juga perlu memastikan berbagai tugas perlu diperjelas dan tidak membingungkan karyawan.
Mereka juga perlu membangun relasi-relasi yang kuat dan bukan karena alasan pekerjaan semata sehingga mereka saling percaya dan mendukung. Ketika semua terhubung dengan saling percaya, akan terasa kelemahan yang satu dengan kelemahan yang lain atau sebaliknya.
Sebuah organisasi yang kemudian berhasil membentuk kultur kolaboratif akan memiliki ciri-ciri seperti sejumlah praktik-praktik bisnisnya akan dikenang, aktivitas di dalam tempat kerja tidak mudah ditiru perusahaan lain, dan memang kultur itu hanya cocok untuk iklim bisnis mereka. Mereka yang berada di dalam sebuah organisasi juga akan merasa nyaman dan bahagia.
Bahagia di dalam organisasi tidak hanya urusan output semata, tetapi ketika tantangan lebih berat muncul lagi, mereka akan lebih fleksibel untuk menghadapi. Ketika perusahaan harus mengubah kebijakan strategis sekalipun mereka akan tetap merasa perlu terlibat dan memberi sumbangan. Menjadi bahagia bukan sekadar pencapaian karyawan tetapi sekaligus modal dasar ketika perusahaan menghadapi perubahan-perubahan selanjutnya.