Warga Desa Sitirejo di Malang, Jawa Timur, punya cara untuk mentas dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Sikap tak menyerah pada nasib, kepercayaan diri, dan daya dukung jadi kekuatan untuk melenting dan bangkit.
Oleh
DAHLIA IRAWATI/AGNES SWETTA PANDIA/ARIS PRASETYO
·5 menit baca
Hampir setahun kita dibekap pandemi. Selama itu, cerita tak melulu tentang duka. Ada kabar baik di sana. Warga Desa Sitirejo di Malang, Jawa Timur, misalnya, punya cara untuk mentas dari keterpurukan. Bukti bahwa kita punya daya lenting tinggi dalam menghadapi tekanan.
Daya lenting atau resiliensi adalah sistem untuk kembali ke kondisi semula. Dan, masyarakat desa sudah membuktikannya. Mereka berusaha melenting untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.
Gortberg (1995) menyatakan ada tiga sumber resiliensi, yaitu I am (sikap dan kepercayaan diri pribadi), I can (sesuatu yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah), dan I have (daya dukung sekitar). Tiga sumber kekuatan itu, nyata ada di desa.
Di Desa Sitirejo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, sekelompok warga korban pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak ingin menyerah pada keadaan. Mereka berkelompok dan membangun usaha bersama untuk melanjutkan hidup. Beruntung pemerintah desa mendukung semangat mereka untuk bangkit.
Arifin (48) dan anaknya adalah dua orang terdampak pandemi yang tak ingin menyerah pada nasib. Sebelumnya, Arifin memiliki usaha penyewaan sound-system. Namun, pandemi membuat semua kegiatan yang mengundang keramaian jadi terlarang. Hasilnya, penghasilan Arifin melayang. Anak Arifin juga mengalami nasib serupa. Ia di-PHK dari pabrik tripleks. Lagi-lagi, alasannya, selama pandemi, pabrik melakukan efisiensi.
Kalau hanya diam, anak istri mau makan apa? Saya mengajak anak saya untuk membangun usaha ternak lele dan nila.
”Kalau hanya diam, anak istri mau makan apa? Saya mengajak anak saya untuk membangun usaha ternak lele dan nila. Kami kemudian bekerja sama dengan kelompok lele dan nila lain di desa ini guna memenuhi permintaan pembeli yang sangat banyak dan sampai tidak bisa kami penuhi,” kata Arifin.
Di Desa Sitirejo, ada tiga kelompok ikan lele dan nila seperti milik Arifin. Usaha Arifin dan anaknya cukup sukses karena kini keduanya punya sepuluh kolam dengan hasil panen 1-2,5 kuintal per kolam. Mereka sudah empat kali panen. ”Pembeli nila sangat banyak. Warung dan restoran bahkan sudah inden. Kami sampai menolak karena tidak bisa memenuhi tingginya kebutuhan itu,” kata Arifin.
Tiga hari sekali Arifin kedatangan pembeli dengan pembelian mencapai 70 kilogram. Lele dan nila dijual di rentang harga Rp 16.000-Rp 27.000 per kilogram.
Usaha lele dan ikan nila di Sitirejo bermula dari keluh kesah warga desa yang terkena PHK. Keluh kesah itu sampai ke kepala desa. ”Mereka awalnya kumpul-kumpul dan mengeluh terkena PHK. Lama-lama mereka punya niat membuat usaha sendiri dan kami sebagai pemerintah desa mendukung niat baik itu,” kata Buwang Suharja (49), Kepala Desa Sitirejo.
Bentuk dukungan itu antara lain dengan menyuntikkan dana pengembangan usaha dan mencarikan bibit ikan di awal usaha. Dukungan pemerintah desa jadi salah satu kunci kesuksesan usaha masyarakat untuk bangkit. Di sini, sumber resiliensi I have (daya dukung) kelihatan bekerja.
Selain ternak ikan, warga Sitirejo juga mengembangkan kreativitas dengan membuat bonsai kelapa. Purwadi (43), misalnya, membuat bonsai kelapa untuk menyambung hidup. Akibat pandemi, kerjanya sebagai sopir antar jemput anak sekolah terhenti karena siswa belajar di rumah.
Di tempat terpisah, tepatnya di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, warga RT 013 RW 003 menjadikan pandemi sebagai momen perekat hubungan bertetangga sekaligus membangun usaha bersama. Mereka patungan untuk membangun ternak lele. Pengurus RT menyumbang dana untuk membeli terpal, komunitas pemuda menyumbang dana untuk membeli bibit dan pakan, dan warga lain meminjamkan lahan.
Mereka yang terlibat antara lain pekerja serabutan, pelajar, dan pemuda desa. Beberapa orang yang dikenal sebagai preman pun ikut mewujudkan usaha itu. ”Dari usaha ini yang terpenting adalah perubahan sikap warga. Warga jadi lebih peka dengan tetangganya yang menghadapi masalah. Ternak ini magnet perekat hubungan antarwarga,” kata Iman, salah satu penggerak usaha bersama itu.
Kini ternak itu sudah berjalan hampir sebulan. Dalam 2-3 bulan lagi warga akan panen. Mereka mengatakan sudah bersiap belajar lebih lanjut soal pemasaran dan pengolahan pascapanen. Warga menunjukkan bahwa mereka bisa bekerja sama membangun usaha bersama demi kebaikan. Di sini, sumber resiliensi I can tampak bekerja.
Dana desa
Warga Desa Tlangoh, Kecamatan Tangjungbumi, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, bangkit dengan mengembangkan usaha pendukung wisata Pantai Tlangoh. Obyek wisaya ini belakangan ramai pengunjung. Pemerintah desa mendukung dengan membangun sarana. Menurut Kepala Desa Tlangoh Kudratol Hidayat, jalan pantai dan saluran sepanjang 2 kilometer dibangun dengan dana desa.
Dengan anggaran Rp 72 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 2021 yang Rp 120 triliun, dana desa memiliki porsi 58 persen anggaran 74.961 desa di seluruh Indonesia. Jelas peran dana desa bagi urat nadi ekonomi desa. Dalam situasi pandemi, dana desa diandalkan untuk memulihkan ekonomi.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, modal di perdesaan, seperti lahan pertanian, perkebunan, dan keindahan alam, menjadi modal untuk menggerakkan ekonomi desa. Budaya gotong royong yang masih kuat juga mempermudah pelaksananaan program Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Dari Rp 72 triliun dana desa tahun ini, alokasi untuk PKTD mencapai Rp 37,08 triliun dengan target serapan tenaga kerja 4,2 juta orang.
Program padat karya dinilai efektif menekan angka pengangguran di desa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pengangguran di perdesaan naik 0,79 persen pada Agustus 2020, jauh lebih rendah dari kenaikan angka pengangguran di perkotaan yang mencapai 2,69 persen.
”Dana desa juga dijadikan bagian dari program jaminan sosial lewat penyaluran bantuan langsung tunai (BLT). Sepanjang 2020 sudah tersalurkan BLT dana desa Rp 23,6 triliun bagi lebih dari 8 juta keluarga penerima manfaat,” ujar Abdul Halim.
Terlepas dari peran dana desa, daya lenting sebagaimana ditunjukkan warga Desa Sitirejo menjadi kunci untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Sumber-sumber resiliensi, antara lain sikap dan kepercayaan diri serta daya dukung, nyata ada di desa.