Dampak ekonomi selama pandemi masih dirasakan sejumlah pekerja di berbagai industri. Pencairan bantuan langsung tunai masih dinanti sebagai salah satu penopang kebutuhan harian para pekerja dan peningkatan daya beli.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak ekonomi selama pandemi masih dirasakan sejumlah pekerja di berbagai industri. Pencairan bantuan langsung tunai pun masih dinanti sebagai salah satu penopang kebutuhan harian para pekerja dan peningkatan daya beli.
Alvin (24), perantau di Depok, Jawa Barat, yang bekerja di perusahaan perjalanan, misalnya, kini bagai hidup segan mati tak mau. Di satu sisi, perusahaannya masih dapat bertahan dan mempertahankannya di tengah masih lemahnya industri pariwisata.
Di sisi lain, sejak pertengahan 2020, ia terpaksa dibayar setengah gaji normalnya yang hanya Rp 4 juta sebulan dengan waktu kerja yang belum penuh dalam seminggu. Hal itu dipertahankannya dengan alasan sulit beralih pekerjaan. Untuk menambah penghasilan, saat ini ia menyambi berdagang kecil-kecilan dengan penghasilan tak tentu.
Pada triwulan ketiga tahun lalu, ia mendaftarkan diri sebagai penerima bantuan subsidi upah yang disalurkan Kementerian Ketenagakerjaan sebesar Rp 2,4 juta per pekerja atau Rp 600.000 per bulan. Namun, subsidinya tidak kunjung cair.
”Padahal, kalau bisa dapat, lumayan untuk bayar sewa kos. Sejak gaji berkurang, saya turunin semua standar hidup saya. Contoh, kalau sebelumnya mampu sewa kos Rp 800.000 sebulan, sekarang saya tinggal di kos yang cuma Rp 400.000, yang serba kurang,” tuturnya kepada Kompas, Senin (22/2/2021).
Ia pun menyambut rencana pemerintah untuk kembali mencairkan bantuan subsidi upah (BSU). Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, akan mengusahakan pencairan bantuan langsung tunai tahun 2021. Namun, bantuan tersebut akan dilakukan secara terbatas.
Pada 2020, pemerintah telah menyalurkan BSU untuk pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta dalam dua gelombang. Pada gelombang pertama Agustus-September 2020, BSU disalurkan kepada 12.293.134 pekerja, sementara untuk gelombang kedua November-Desember 2020 disalurkan kepada 12.244.169 pekerja.
Pekerja terdampak pandemi yang belum pernah mendapatkan bantuan tersebut sedikit menyayangkan keputusan pemerintah untuk tidak lagi menyalurkan subsidi upah secara masif.
Guguh Putra (25), pekerja lepas di bidang wedding organizer di Jakarta, misalnya. Di tengah masih sulitnya mendapatkan proyek acara dan pekerjaan sampingan yang menjanjikan, ia berharap bisa mendapatkan bantuan pemerintah seperti beberapa teman seprofesi yang telah menikmati bantuan tersebut karena terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
”Bukannya saya manja, tetapi saya akui, nasib pekerjaan yang memang saya tekuni masih berat tahun ini, apalagi karena masih ada pembatasan sosial. Mau minta bantuan ke keluarga juga mereka berat (hidupnya),” tuturnya.
Klara (27), pekerja media yang terdampak pengurangan gaji, berharap pemerintah terus mendukung pekerja terdampak sepertinya. Pasalnya, tidak semua pekerja korporasi bisa mandiri mencari pemasukan tambahan dan menurunkan standar biaya hidup secara drastis untuk bisa bertahan.
Badan Pusat Statistik mencatat, per Agustus 2020, ada 29,12 juta pekerja di Indonesia yang terdampak pandemi. Sebanyak 2,56 juta orang kehilangan pekerjaan dan menganggur akibat Covid-19 serta 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, merekomendasikan Kementerian Ketenagakerjaan agar stimulus berupa subsidi upah bagi pekerja ditambah dan tidak dihilangkan.
”Idealnya per bulan pekerja mendapatkan tambahan subsidi Rp 1,2 juta dilakukan minimum 5 bulan ke depan atau Rp 6 juta per pekerja. Bantuan upah selama ini dianggap terlalu kecil karena banyak pekerja yang dirumahkan tanpa digaji,” tuturnya.
Masukan itu didasarkan pada tantangan tahun 2021 yang diproyeksikan akan lebih kompleks daripada 2020. Hal ini, antara lain, tren kenaikan inflasi karena faktor kenaikan harga pangan dan curah hujan tinggi yang mengganggu produksi domestik hingga bencana alam di beberapa daerah pada awal tahun.
Faktor bencana alam yang terbukti meningkatkan inflasi secara signifikan terlihat di daerah Mamuju, Sulawesi Barat, yang dilanda bencana gempa bumi, dengan inflasi pada Januari 2020 sebesar 1,4 persen.
”Inflasi yang meningkat akan melemahkan daya beli masyarakat. Semakin tinggi inflasi karena sisi pasokan, masyarakat semakin lama menahan belanja dan menabung untuk berjaga-jaga atas naiknya harga barang,” tutur Bhima.
Oleh karena itu, pekerja di sektor informal yang belum menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan juga perlu diprioritaskan mendapatkan bantuan subsidi upah. Pemerintah juga dinilai tidak tepat jika lebih fokus pada Program Kartu Prakerja yang melibatkan proses berbelit untuk mendapat bantuan tunai.
Menaker sebelumnya mengatakan, pada 2021, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 20 triliun untuk Program Kartu Prakerja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Program BSU justru tidak mendapat alokasi khusus.
Selama masa pandemi, Program Kartu Prakerja tidak hanya difokuskan pada pelatihan dan pengembangan keahlian, tetapi juga mengakomodasi penyaluran insentif bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau angkatan kerja baru.
Total bantuan yang didapat Rp 3,55 juta. Sebanyak Rp 2,4 juta dipakai untuk biaya pelatihan empat bulan Rp 600.000 per bulan, Rp 1 juta lainnya untuk insentif biaya pelatihan, dan Rp 150.000 sebagai biaya survei.