Mendesak, Kajian untuk Hentikan Kisruh soal Cantrang
Agar konflik antarnelayan tidak terus berlarut, pemerintah didesak segera melakukan kajian mendalam terhadap alat tangkap baru modifikasi yang diberi nama jaring tarik berkantong.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Kepulauan Riau meragukan modifikasi cantrang oleh nelayan pantai utara Jawa dapat mengubah karakteristik pukat tarik itu menjadi ramah lingkungan. Agar konflik antarnelayan tidak terus berlarut, sejumlah kalangan mendesak pemerintah segera melakukan kajian mendalam terhadap alat tangkap baru yang diberi nama jaring tarik berkantong tersebut.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Kamis (18/2/2021), mengatakan, modifikasi alat tangkap cantrang menjadi jaring tarik berkantong itu hanya kedok untuk mempercepat turunnya izin bagi kapal-kapal cantrang dari pantura Jawa untuk beroperasi di Laut Natuna Utara. Ia meminta pemerintah melibatkan nelayan tradisional saat melakukan uji petik untuk membuktikan klaim ramah lingkungan tersebut.
”Menurut kami, pergantian nama cantrang itu tidak menyelesaikan persoalan. Lagi pula akan sangat sulit memastikan seluruh kapal dari pantura Jawa akan benar-benar memodifikasi cantrang menjadi jaring tarik berkantong itu,” kata Hendri.
Pada 15 Februari lalu, nelayan di Kota Tegal, Jawa Tengah, mendeklarasikan pergantian alat tangkap dari cantrang ke jaring tarik berkantong yang diklaim lebih ramah lingkungan. Alat tangkap baru itu sebenarnya cantrang yang dimodifikasi.
Mereka mengurangi panjang tali selambar yang tadinya 1.000 meter (m) ke atas, kini menjadi maksimal 900 m. Selain itu, mata jaring cantrang yang bentuknya segitiga juga diubah menjadi persegi.
Dengan sejumlah ubahan tersebut, nelayan di pantura Jawa meyakini cantrang akan menjadi lebih ramah lingkungan. Dengan memperpendek tali selambar, alat tangkap itu tidak akan menyapu laut sampai ke dasar. Mereka juga mengklaim, dengan ubahan bentuk mata jaring, maka ikan-ikan kecil tidak akan ikut tertangkap.
Upaya mendorong nelayan pantura untuk mengganti alat tangkap cantrang sudah dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) sejak 2015. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal Riswanto mengatakan, kini nelayan cantrang pantura akhirnya bersedia beralih karena solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dapat diterima nelayan.
”Dulu, kami hanya sekadar dilarang menggunakan cantrang tanpa diberi solusi atau didengar kami maunya bagaimana. Sekarang, kami diberi usulan alat tangkap pengganti yang kemungkinan pendapatan ikannya tidak beda jauh dengan cantrang,” kata Riswanto.
Sementara itu, Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto mengatakan, alat tangkap modifikasi cantrang yang dinamai jaring tarik berkantong itu sedang diuji coba di Pati. Uji coba tersebut dimulai pada akhir Januari dan diikuti oleh 30 kapal. Mereka diperkirakan kembali ke Pati pada Maret.
”Sebelum diuji coba, kapal-kapal tersebut dipastikan sudah menggunakan alat tangkap baru yang sesuai dengan standar pemerintah. Kementerian KP juga menempatkan satu personelnya di setiap kapal untuk mengawasi dan memberikan penilaian terkait penggunaan alat tangkap tersebut,” kata Heri.
Heri juga menambahkan, harga satu set alat tangkap jaring berkantong relatif lebih mahal daripada cantrang. Harga satu set alat tangkap cantrang sekitar Rp 15 juta per kapal. Adapun harga alat tangkap jaring tarik berkantong sekitar Rp 20 juta per kapal.
Di Pati, ada 215 kapal cantrang dengan berbagai ukuran. Sedikitnya 4.300 nelayan bekerja di kapal-kapal tersebut.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menilai, butuh kajian panjang untuk membuktikan klaim bahwa modifikasi cantrang secara parsial bisa mengubah alat tangkap itu menjadi ramah lingkungan. Sebelum klaim itu bisa dibuktikan, pemberian izin penggunaan alat tangkap modifikasi cantrang yang rencananya dinamai jaring tarik berkantong itu sebaiknya ditunda dulu.
Langkah pemerintah mengizinkan operasi cantrang di Laut Natuna Utara itu, selain mengabaikan kelestarian sumber daya ikan, juga melupakan kesejahteraan sosial nelayan tradisional setempat. (Abdul Halim)
Abdul juga menyoroti pemicu polemik soal cantrang, yakni terbitnya Peraturan Menteri KP Nomor 59 tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Dalam Pasal 23 Ayat (4) disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton (GT) diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Sebelumnya, penggunaan cantrang yang merupakan modifikasi trawl itu dilarang berdasarkan Permen KP No 71/2016. Alat tangkap itu sifatnya eksploitatif mengeruk segala jenis ikan sampai ke dasar, dan mengakibatkan kerusakan pada karang. Selain itu, nelayan cantrang sering kedapatan memalsukan ukuran kapal serta melanggar zona tangkap.
Menurut Abdul, langkah pemerintah mengizinkan operasi cantrang di Laut Natuna Utara itu, selain mengabaikan kelestarian sumber daya ikan, juga melupakan kesejahteraan sosial nelayan tradisional setempat. Permen KP No 59/2020 yang dibuat tanpa mempertimbangkan peraturan lain yang terbit sebelumnya itu dikhawatirkan pada akhirnya akan mengebiri akses nelayan tradisional memanfaatkan sumber daya perikanan karena kalah bersaing dengan kapal-kapal besar.