Indonesia kekurangan talenta dalam jumlah besar di bidang teknologi kecerdasan buatan. Indonesia membutuhkan 600.000 orang dalam setahun, tetapi hanya tersedia 100.000 orang.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Orang makin sering memperbincangkan teknologi kecerdasan buatan. Salah satu tulang punggung dari teknologi ini adalah algoritma atau deretan instruksi untuk memecahkan suatu masalah. Satu kelemahan kita adalah kekurangan talenta yang paham tentang masalah ini sehingga suatu saat kita bisa menjadi pasar algoritma bagi perusahaan luar negeri. Sebuah ketergantungan baru.
Sekian lama ekspor-impor lebih banyak dipahami sebagai jual-beli produk. Saat teknologi informasi ybergerak cepat, ekspor-impor kini juga menyentuh produk nonbenda, yaitu algoritma itu. Beberapa perusahaan asing telah menjual produk ini ke pasar Indonesia. Mereka hanya membutuhkan sedikit penyesuaian sehingga menjadi bisa diaplikasikan sebagai teknologi kecerdasan buatan di dunia bisnis Indonesia.
Kumpulan data yang sudah mendapat ”pelajaran” memang berasal dari Indonesia sehingga sistem bisa langsung bekerja untuk menyelesaikan berbagai masalah di dunia bisnis di Tanah Air. Mereka yang mengerjakan algoritma dan talenta yang terlibat tetap berada di negara asalnya. Ketergantungan ini makin nyata karena kita kekurangan talenta dalam jumlah besar di bidang ini. Setahun kita membutuhkan 600.000 orang, tetapi hanya tersedia 100.000 orang.
Ketergantungan ini makin nyata karena kita kekurangan talenta dalam jumlah besar di bidang ini. Setahun kita membutuhkan 600.000 orang, tetapi hanya tersedia 100.000 orang.
Seperti sejarah berbagai produk impor lainnya, pasar algoritma ini pelan-pelan masuk, tetapi suatu saat bakal membesar. Banyak perusahaan di Indonesia tertarik untuk menggunakannya. Sebuah ancaman pada masa depan, yaitu kita akan menjadi pasar bagi algoritma asing.
Tak sedikit perusahaan yang memilih jalan pintas dengan membeli algoritma itu sehingga seperti tinggal pasang saja. Kita kembali menjadi pasar seperti produk buah, mainan anak, dan makanan. Tidak hanya produk yang terlihat kasatmata, tetapi juga produk teknologi yang tidak terlihat dengan mata.
Perdagangan dunia sudah lama mencatat ekspor-impor algoritma. Akan tetapi, penjualan algoritma ini kadang dianggap merupakan produk yang biasa-biasa saja dan tidak terlalu penting sehingga tidak banyak negara yang peduli dengan produk teknologi ini. China adalah salah satu negara yang mengatur penjualan algoritma itu sejak beberapa tahun lalu. Mereka membolehkan penjualan algoritma yang telah berumur lebih dari 12 tahun.
Kementerian Perdagangan serta Kementerian Sains dan Teknologi China mengeluarkan katalog berisi daftar item yang boleh diekspor dan item yang dilarang. Contoh yang dilarang adalah algoritma yang dimasukkan dalam kategori produk teknologi informasi terpersonalisasi berbasis analisis data dan teknologi kecerdasan buatan untuk keperluan interaktif. Oleh karena itu, dalam penjualan aplikasi Tiktok Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, China agak berhati-hati dan tidak mudah memberi persetujuan.
AS juga telah membatasi penjualan perangkat lunak mereka melalui aturan bernama Export Control Reform Act. Tahun lalu, mereka melarang penjualan teknologi berbasis kecerdasan buatan ke beberapa negara. Mereka menyebut beberapa kategori yang dilarang. Salah satunya adalah kategori teknologi baru yang penting bagi keamanan AS, termasuk di dalamnya produk-produk berbasis kecerdasan buatan.
Namun, keputusan itu disambut berbeda oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Kecemasan Pemerintah AS itu membuat perusahaan teknologi sulit bergerak. Mereka telah terbiasa melakukan riset dan program antarnegara. Sejumlah proyek dikerjakan secara bersama dan tidak sedikit mengandalkan talenta dari luar negeri. Oleh karena itu, perusahaan teknologi di negara itu sempat mengatakan, pengembangan kecerdasan buatan bisa terganggu apabila ekspor algoritma dilarang sepenuhnya.
Akhirnya dipilih jalan tengah, produk yang dilarang adalah yang berbasis jaringan neural yang merupakan kunci dalam teknologi mesin pembelajaran. Mereka berusaha memastikan produk yang diekspor tidak mengancam keamanan AS.
Melihat perkembangan perdagangan algoritma ini, kita bisa kembali menjadi pasar jika bergantung pada perusahaan dari luar negeri. Kita akan lebih banyak membeli dibandingkan membuat sendiri. Kita mengulang kesalahan lama, yaitu bergantung pada produk dari luar negeri.
Lebih parah lagi, produk yang dijual dipastikan bukan merupakan produk terbaru dan penting karena produk yang terbaru dan penting tidak akan diperbolehkan keluar dari negeri asalnya. Kita benar-benar didikte para penjual algoritma. Belum lagi jika kita menimbang keamanan negeri yang bisa menjadi taruhan karena menggunakan teknologi dari luar.
Melihat perkembangan perdagangan algoritma ini, kita bisa kembali menjadi pasar jika bergantung pada perusahaan dari luar negeri. Kita akan lebih banyak membeli dibandingkan membuat sendiri.
Oleh karena itu, program percepatan yang menghasilkan talenta teknologi menjadi penting. Berbagai keahlian dibutuhkan dalam dunia kecerdasan buatan. Perusahaan teknologi, perguruan tinggi, dan pemerintah perlu berkolaborasi sehingga percepatan itu bisa terjadi.
Kita berharap industri kecerdasan buatan di dalam negeri berkembang cepat dan dikerjakan oleh talenta-talenta dalam negeri karena banyak hal dalam industri itu yang dipahami oleh orang-orang kita sendiri, bukan orang asing.