Gresik dan Halmahera Jadi Opsi Lokasi Smelter Freeport
Pandemi Covid-19 di Indonesia menggeser waktu penuntasan pembangunan smelter di Indonesia. Freeport Indonesia berpeluang menggandeng mitra untuk membangun smelter tembaga.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gresik, Jawa Timur, dan Halmahera, Maluku Utara menjadi alternatif lokasi pembangunan smelter PT Freeport Indonesia. Namun, operasional smelter tembaga tersebut diperkirakan bakal molor dari jadwal lantaran pengaruh pandemi Covid-19. Pemerintah belum memutuskan untuk memberikan relaksasi pembangunan smelter Freeport.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Clayton Allen Wenas menyatakan, rencana pembangunan smelter di Gresik masih tetap berjalan dan capaian saat ini baru 6,1 persen atau setara dengan 315 juta dollar AS. Smelter tersebut mampu mengolah 2 juta ton konsentrat tembaga dengan nilai investasi sebesar 3 miliar dollar AS. Belakangan, ada opsi Freeport bisa bermitra dengan pihak lain untuk membangun smelter tembaga.
”Opsi tersebut adalah bermitra dengan Tsingshan Steel untuk membangun smelter di Halmahera. Menurut rencana, smelter tersebut nantinya berkapasitas 1,7 juta ton konsentrat tembaga. Dalam waktu dekat, sekitar dua bulan ke depan kami harap sudah ada keputusan (tentang rencana kerja sama tersebut,” kata Clayton di Jakarta, Kamis (18/2/2021).
Apabila rencana membangun smelter bersama Tsingshan terwujud, lanjut Clayton, praktis pembangunan smelter di Gresik bakal dibatalkan. Selain itu, untuk merealisasikan target kapasitas 2 juta ton konsentrat, ada kemungkinan kapasitas smelter yang dimiliki Freeport di Gresik, yakni PT Smelting, akan ditambah kapasitasnya pengolahannya sebanyak 300.000 ton.
Apabila rencana membangun smelter bersama Tsingshan tersebut terwujud, praktis pembangunan smelter di Gresik bakal dibatalkan.
Clayton mengakui bahwa dampak pandemi Covid-19 menyebabkan jadwal pembangunan smelter molor dari jadwal seharusnya pada akhir 2023. Beberapa pasokan material yang harus diimpor dari Jepang, Kanada, dan Finlandia menjadi tertunda lantaran ada pembatasan pegerakan barang selama pandemi pada 2020. Pihaknya telah mengajukan relaksasi kepada pemerintah selama 12 bulan.
”Kami sudah mengajukan perpanjangan waktu pengerjaan smelter selama 12 bulan kepada pemerintah. Pandemi Covid-19 menyebabkan sebagian besar kegiatan di lapangan menjadi terhambat,” ujar Clayton.
Dalam siaran pers, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, sampai 2024 ada 34 smelter yang ditargetkan rampung dibangun dan beroperasi. Smelter tersebut didominasi oleh smelter nikel dan bauksit yang masing-masing 17 unit dan 9 unit. Total investasinya lebih dari 9 miliar dollar AS.
”Pemerintah berusaha keras merealisasikan target pembangunan smelter tersebut. Namun, diakui bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan ada pergeseran target operasi dari smelter-smelter tersebut,” kata Ridwan.
Dalam telekonferensi pers beberapa waktu lalu, saat ditanya pergeseran jadwal pembangunan smelter Freeport, Ridwan mengakui bahwa pemerintah mempertimbangkan kendala yang dihadapi Freeport. Pemerintah tetap mendorong agar target pembangunan smelter bisa tepat waktu. Pemerintah juga mempersilakan Freeport menggandeng mitra untuk membangun smelter tersebut.
Sampai 2024, ada 34 smelter yang ditargetkan rampung dibangun dan beroperasi.
”Ada dua kalimat penting, Freeport harus membangun smelter dan membangun kerja sama. Silakan bekerja sama (dengan pihak lain untuk membangun smelter),” kata Ridwan.
Cadangan
Saat ini, Freeport berkonsentrasi penuh menambang di bawah tanah (underground mining) setelah penambangan di permukaan (open pit) tuntas pada 2019. Produksi bijih di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, saat ini rata-rata mencapai 180.000 ton per hari. Mulai 2022, produksi akan ditingkatkan menjadi 200.000 ton bijih per hari yang merupakan kapasitas normal perusahaan.
Dalam 1 ton bijih yang diproduksi Freeport mengandung 8,4 kilogram tembaga dan 0,93 gram emas. Setelah berubah status operasi dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), Freeport sekaligus mendapat perpanjangan operasi hingga 2041. Hingga berakhirnya izin operasi tersebut, masih ada sumber daya bijih sebanyak 2 miliar ton di bawah permukaan area operasi Freeport yang disebut Blok DMLZ.
”Di masa mendatang, produk tembaga akan semakin banyak dibutuhkan seiring dengan gencarnya pengembangan kendaraan listrik. Tembaga menjadi komponen penting dalam industri kendaraan listrik,” kata Wakil Presiden Direktur Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi.
PT Freeport Indonesia, resmi melepas sebagian sahamnya kepada pihak Indonesia hingga 51,23 persen, senilai 3,85 miliar (hampir Rp 60 triliun) pada 21 Desember 2018. Saham itu dibagi menjadi 41,23 persen milik PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan 10 persen milik Pemerintah Provinsi Papua bersama Pemerintah Kabupaten Mimika. Dengan demikian, Freeport McMoran Inc, selaku perusahaan induk PT Freeport Indonesia, memegang saham 48,77 persen.