Kontroversi Gaji Ratusan Juta Cermin Ketimpangan Ekonomi
Beberapa hari terakhir, topik mengenai gaji Rp 250 juta ramai diperbincangkan di media sosial. Situasi ini menggambarkan sensitivitas masyarakat tehadap ketimpangan ekonomi dan pekerjaan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Beberapa hari terakhir, topik mengenai gaji Rp 250 juta ramai diperbincangkan di media sosial, berawal dari topik yang dibahas penulis skenario Tanah Air, Jenny Jusuf, di akun Twitter @JennyJusuf. Pada Sabtu (13/2/2021), ia melakukan survei kecil mengenai kriteria penghasilan minimal calon pasangan.
Salah seorang pengikut sekaligus influencer media sosial, Andrea Gunawan, dengan akun @catwomanizer ikut menanggapi cuitan tersebut. Ia melontarkan pendapat pribadinya, ”250jt per bulan minimal dan udah siapin dana pensiun juga, kalau nggak, jomplang nanti,” tulisnya sambil menambahkan emoticon pesalto.
Pernyataan itu lantas ditanggapi banyak pengguna akun Twitter lain. Sampai berita ini ditulis pada Selasa (16/2/2021) siang, cuitannya dibalas 552 komentar, dicuit ulang 2.400 kali, dan disukai 881 orang. Sebagian menimpali secara terbuka dan positif, sebagian lain menilainya tidak realistis.
”Dari kalimat ’jomplang nanti’ bisa disimpulkan kalau Mbak Catwomanizer penghasilannya di atas Rp 250 juta per bulan. Ya, wajar cari pasangan yang gajinya minimal Rp 250 juta. Kenapa yang lain pada nyinyir?” kata pemilik akun @dedewdewita yang membalas cuitan tersebut.
”Nggak kebayang bagaimana cara dapetinnya sebulan harus segitu,” ujar pemilik akun @amelyunip. ”Harus jadi artis atau aktor dulu sepertinya. Itu pun kalau rutin main filmnya.” Komentar itu pun dijawab Andrea dengan saran menjadi content creator atau pembuat konten.
Topik gaji Rp 250 juta pun kian bergulir di luar cuitan awalnya. Kontroversi gaji besar itu tidak hanya menyorot pekerjaan influencer atau pemengaruh media sosial, yang marak menggantikan peran media iklan konvensional, tetapi juga realitas ketimpangan gaji di Indonesia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Kompas, berpendapat, kontroversi ini mengindikasikan fenomena ketimpangan yang cukup lebar. ”Ada yang gajinya Rp 250 juta per bulan, tetapi juga ada yang kehilangan pekerjaan selama hadapi resesi ekonomi,” ujarnya.
Fakta tersebut baru-baru ini ditunjukkan laporan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Laporan itu, antara lain, mencatat tingkat pengangguran terbuka yang naik 1,84 persen poin dari Agustus 2019 menjadi 7,07 persen per Agustus 2020.
Indikator lain dari laporan tersebut adalah rasio gini yang menggambarkan ketimpangan pengeluaran penduduk. Per September 2020, rasio gini penduduk sebesar 0,385 atau lebih tinggi dari 0,380 pada September dan 0,382 pada Maret 2019. Dari rentang 0-1, semakin mendekati angka 1 berarti ketimpangan semakin lebar.
Pada 2019, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyurvei, 10 persen keluarga kaya di Indonesia menguasai 70 persen aset nasional, sedangkan 30 persennya diperebutkan 90 persen dari sekitar 270 juta penduduk. Indonesia pun berada pada urutan keempat di dunia sebagai negara dengan ketimpangan tertinggi setelah Rusia, India, dan Thailand.
Jurang antarpekerjaan
Ketimpangan kekayaan juga kerap berkaitan dengan pekerjaan. Survei internasional YouGov pada 13 November-1 Desember 2020 menunjukkan, pekerjaan seperti ilmuwan, dokter, bahkan influencer media sosial lebih disenangi dan dihormati.
Survei yang dilakukan di sejumlah negara itu mencari tahu respons masyarakat mengenai persepsi mereka terhadap beragam pekerjaan. Senang dan tidak senangnya responden kemudian dituangkan dalam bentuk skor plus dan minus yang menentukan kualitas satu pekerjaan.
Di Indonesia, skor tertinggi didapatkan profesi ilmuwan (+75). Disusul manajer senior di perusahaan besar (+74), arsitek (+73), dokter medis (+68), desainer grafis (+66), guru sekolah (+54), manajer media sosial (+48), atlet (+46), artis (+43), pengacara (+39), musisi (+38), perawat (+37), dan influencer (+34).
Adapun pekerjaan yang mencatatkan skor terendah antara lain buruh pabrik (-12), petambang (-19), tukang bangunan (-24), dan sopir truk (-38).
Sementara itu, survei ini juga mencari tahu apakah responden senang atau tidak senang jika anak mereka memiliki pekerjaan tertentu, dengan mengabaikan faktor pandemi Covid-19. Hasilnya, pekerjaan ilmuwan, manajer senior di perusahaan besar, influencer media sosial, dan manajer media sosial ada di urutan teratas pekerjaan paling disenangi.
Bhima menimpali, saat ini, tenaga kerja di sektor digital banyak memenangi pasar tenaga kerja, termasuk influencer dan pembuat konten. Sementara itu, profesi di sektor digital masih dianggap sektor yang mewah bagi kebanyakan anak muda.
”Mau belajar teknik informatika untuk jadi pengembang program, misalnya, harus punya pengalaman training atau pendidikan tinggi. Modalnya juga nggak sedikit, mulai dari punya gawai canggih, komputer dengan sistem yang cepat, dan sebagainya,” kata Bhima.
Dengan semakin sulitnya mencari pekerjaan dan faktor kesulitan ekonomi di kala pandemi, pekerjaan atau profesi itu akan semakin sulit digapai.
BPS melaporkan, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 sebesar 10,19 persen. Indonesia kembali ke tingkat kemiskinan dua angka yang telah ditinggalkan sejak Maret 2018. Jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 27,55 juta orang. Jumlah ini naik 1,13 juta orang dari Maret 2020 dan naik 2,76 juta orang dari September 2019.
Kemiskinan bertambah, antara lain, akibat 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi, termasuk 2,56 juta orang menjadi penganggur. Akibatnya, per Agustus 2020 ada 9,77 juta penganggur di Indonesia.
Dari 128,45 juta penduduk bekerja per Agustus 2020, sebanyak 29,76 persen di antaranya atau 38,23 juta orang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.