Jalan Panjang UMKM untuk Kembali Bangkit
UMKM menjadi salah satu sektor yang diharapkan ikut menggerakkan kembali roda perekonomian di Indonesia. Sejumlah pelaku usaha masih berjibaku mengembalikan perputaran bisnis seperti sebelum pandemi.
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai cara dilakukan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mempertahankan bisnis. Mereka memperluas konsumen, mempertahankan karyawan, hingga mendaftarkan usaha di platform urun dana atau crowdfunding.
Pemilik toko pakaian dan merchandiseolahraga Genesa Sports, di Depok, Jawa Barat, M Bagus Aditya (26), berencana menambah enam pekerja untuk membidani pemasaran. Langkah ini ditempuh lantaran tren penjualan mulai naik meski belum sepenuhnya pulih.
Saat ini, omzet Genesa Sports sekitar Rp 65 juta sebulan. Kehadiran pekerja di bagian pemasaran diharapkan sanggup mengembalikan omzet seperti sediakala, yakni sekitar Rp 100 juta per bulan. ”Tahun ini rencananya ingin back to normal dengan pindah ke ruko (yang lebih besar) lagi dan mengembalikan karyawan yang dulu sempat dirumahkan,” katanya ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/2/2022).
Pada Oktober 2020, Genesa Sports pindah ke ruko yang lebih kecil. Hal ini karena pemilik ruko sebelumnya menaikkan harga sewa. Padahal, pandemi Covid-19 turut memengaruhi ambruknya pemasukan Genesa Sports. Akibatnya, di awal pandemi, Bagus mengurangi karyawan dari 12 orang menjadi 7 orang. Ketujuh karyawan itu masih bertahan hingga saat ini.
Baca juga : Iringi Bansos dengan Pembukaan Lapangan Kerja
Untuk pembiayaan pindah lokasi usaha dan perekrutan karyawan, Bagus sedang mendaftarkan usahanya di salah satu platform urun dana untuk UMKM. Dia akan melepas kepemilikan usaha sebesar 49 persen.
”Bisa dikatakan kondisi saat ini baru pulih sekitar 60 persen dibanding kondisi normal. Salah satu tantangannya, ya, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saja. Ketika PPKM berlaku, otomatis lapangan bola juga ditutup. Namun, saat ini, tren penjualan mulai pulih. Aku diskusi dengan pengusaha lain juga perlahan mulai normal penjualannya,” ujarnya.
Tahun ini rencananya ingin back to normal dengan pindah ke ruko (yang lebih besar) lagi dan mengembalikan karyawan yang dulu sempat dirumahkan.
Di Bekasi, Jawa Barat, pemilik usaha Labirin Sablon, Indra Cahya Purnama (28), harus ”jemput bola” untuk mempertahankan bisnis. Dia menelepon sejumlah orang dan komunitas yang dulu pernah jadi konsumen Labirin Sablon.
Selain itu, dia juga menjual mesin sablon digital Agustus tahun lalu. Mesin digital buatan lokal ini dia beli pada 2019 seharga Rp 25 juta. Kemudian mesin itu ia jual Rp 13 juta. ”Mesin digital ini perawatannya mahal. Kalau tak dipakai bisa rusak. Sementara orderan tak banyak yang masuk, makanya kujual,” ujarnya.
Di tahun ini, target Indra sederhana, yakni menjaga bisnis agar tak kolaps dan mempertahankan karyawan. Caranya adalah terus proaktif menjaring konsumen. Dia saat ini memiliki dua pekerja. Mereka berasal dari keluarga tak mampu. Berat baginya jika harus memberhentikan kedua pekerja itu. Para pekerja itu mengantongi Rp 5.000 dari setiap helai baju atau pakaian yang disablon.
”Sekarang itu, dengan aktif menelepon berbagai orang, ada saja, sih, orderan masuk, tetapi omzet masih anjlok. Belum seperti dulu,” katanya.
Sebelum pandemi, omzetnya mencapai Rp 80-an juta per bulan. Kini, omzet cuma sekitar Rp 20-an juta. Pembatasan aktivitas warga saat pandemi membuat dia kehilangan pelanggan tetapnya, yakni sekolah. Biasanya, Indra bekerja sama dengan beberapa sekolah menyediakan seragam olahraga. Selama pandemi, tak satu sekolah pun memesan seragam olahraga.
”Ini untung saja usahanya di rumah sendiri. Kalau tempat usahaku ngontrak, mungkin sudah gulung tikar,” tambahnya
Pemilik usaha Tipafood di Padang, Sumatera Barat, Pearly Nurhasnah (41), masih mengurangi produksi lantaran pasar belum pulih. Dia kini membuat risoles dan martabak tahu sebanyak 1.400 potong setiap hari. Semuanya dititipkan ke sekitar 90 warung. Setiap sore, dagangan bersisa sekitar 25 persen. Sebelum pandemi, dia bisa memproduksi lebih dari 2.000 risoles dan martabak tahu per hari.
Selama pandemi, Pearly melakukan berbagai manuver agar usahanya tetap sintas. Ketika Padang menerapkan PSBB, sekolah dan kampus ditutup. Padahal, warung di sekitar lokasi itu merupakan lapak andalan. Dia pun mencari warung-warung baru di pusat permukiman. Sementara warung-warung lama di sekitar sekolah dan kampus tetap dipasok, tetapi jumlahnya berkurang dari kondisi normal. Bagi Pearly, ini sekadar mempertahankan pelanggan.
Baca juga : Geliat Pengusaha Makanan di Tahun Baru
Dengan menjajakan dagangan ke permukiman, lanjutnya, penjualan sempat membaik lantaran hampir semua warga beraktivitas di sekitar rumah. Anak-anak pun tak sekolah. Jadi, potensi anak-anak untuk jajan di warung sekitar rumah tinggi dan turut mengerek penjualan risoles Tipafood.
Di awal 2021, pembelajaran tatap muka dimulai di Padang meski belum di semua sekolah. Menurut dia, ini turut membuat penjualan risoles melempem. ”Karena dengan dimulainya pembelajaran tatap muka, alokasi belanja ibu-ibu tentu lebih fokus untuk keperluan sekolah. Sekarang itu ada warung yang hanya saya isi dengan lima risoles, sekadar untuk mempertahankan pelanggan saja,” ujarnya.
Tipafood juga membuat tambahan produk untuk memperluas pemasukan, yakni keripik kentang dan serundeng. Saat ini, dia baru bisa menjual 15 kg keripik kentang per minggu. Sementara serundeng dipasok ke 30-an warung. ”Sebenarnya, serundeng ini lumayan bagus. Tetapi, dengan jumlah karyawan saat ini, saya tak bisa memproduksi lebih banyak,” katanya.
Selain itu, Pearly belum bisa memprediksi tren penjualan serundeng untuk jangka panjang. Dia akan melihat dulu penjualan perkembangan pasar selama beberapa bulan ke depan.
Baca juga : Bisnis Bunga Palsu Pun Layu
Tipafood saat ini memiliki dua karyawan. Mereka bekerja di bagian produksi risoles, martabak tahu, dan serundeng. Adapun distribusi produk ke warung-warung menjadi tugas Pearly, suami, dan anak sulungnya. Setiap karyawan menerima upah Rp 50.000-Rp 60.000 per hari.
Serapan tenaga kerja di sektor UMKM sangat ditunggu karena banyaknya penganggur di Indonesia. Pandemi membuat 2,56 juta orang kehilangan pekerjaan. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 9,77 juta per Agustus 2020.
Direktur Eksekutif Institute Development of Economics and Finance Taufik Ahmad berpendapat, sektor usaha bisa tumbuh dan siap menyerap tenaga kerja jika ada peningkatan konsumsi masyarakat. Untuk itu, konsumsi masyarakat harus terus didorong. Belanja pemerintah pun turut menggerakkan sektor produktif. Salah satu yang dia usulkan adalah pemerintah harus melibatkan UMKM lokal dalam pengadaan barang dan jasa agar ada efek pengganda atau multiplier effect (Kompas, 16/2/2021).