Lemahnya kinerja impor pada Januari 2021 menandakan menurunnya industri nasional. Saat ini, pemulihan industri masih terjadi secara spasial. Para pelaku industri tengah menunggu momentum bergeliatnya kembali konsumsi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketika kinerja ekspor Indonesia meningkat, impor justru melesu. Pelaku industri sulit menggenjot impor lantaran permintaan saat ini cenderung lemah sehingga menunggu momentum kenaikan konsumsi masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan pada Januari 2021 senilai 1,95 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Surplus ini terjadi karena kinerja impor masih lemah. Nilai impor pada Januari 2021 sebesar 13,3 miliar dollar AS, sedangkan ekspor 15,3 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/2/2021), mengatakan, nilai impor tersebut masih dalam tren menurun karena merosot 7,59 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Nilai impor itu juga lebih rendah 6,49 persen dibandingkan dengan Januari 2020.
”Angka ini menunjukkan, impor belum pulih. Hal ini berdampak pada geliat industri dan investasi,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Impor belum pulih. Hal ini berdampak pada geliat industri dan investasi.
Lesunya impor ini terjadi pada setiap kelompok barang berdasarkan penggunaannya. Dibandingkan dengan Januari 2020, impor bahan baku/penolong pada Januari 2021 turun 6,1 persen menjadi 9,9 miliar dollar AS; barang modal merosot 10,72 persen menjadi 1,99 miliar dollar AS; dan barang konsumsi melorot 2,92 persen menjadi 1,42 miliar dollar AS.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menilai, tekanan pada impor menandakan menurunnya kinerja industri nasional. Hal ini terjadi lantaran konsumsi dari dalam negeri melemah.
Pelaku industri tidak memiliki alasan untuk menggenjot impor jika pasar domestik tak berselera mengonsumsi akibat daya beli masih tertekan. ”Industri berpotensi meningkatkan impor menjelang masa Ramadhan-Lebaran 2021. Syaratnya, pandemi Covid-19 di Indonesia terkendali dan tidak ada kebijakan pengetatan yang berubah-ubah,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, penurunan impor justru terjadi untuk barang-barang pendorong produktivitas industri. Hal ini menunjukkan, proses pemulihan ekonomi Indonesia cenderung lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara tujuan ekspor.
Pemulihan industri baru terjadi secara parsial. Industri yang menghasilkan produk kebutuhan dasar sehari-hari, seperti barang konsumsi bergerak cepat (FMCG), cenderung lebih bergeliat. Sebaliknya, laju industri yang memproduksi barang tahan lama, seperti otomotif dan elektronik, cenderung lebih lambat.
”Pemerintah perlu memberikan stimulus secara spesifik bagi sektor-sektor industri yang pemulihannya lebih lambat. Bentuk-bentuk stimulus itu, antara lain, keringanan tarif listrik atau bantuan upah tenaga kerja,” katanya.
Pemulihan industri baru terjadi secara parsial. Industri yang menghasilkan produk kebutuhan dasar sehari-hari, seperti barang konsumsi bergerak cepat (FMCG), cenderung lebih bergeliat.
Di sisi lain, kinerja ekspor pada awal tahun masih ditopang oleh pergerakan positif harga sejumlah komoditas. Berdasarkan data BPS, harga batu bara pada Januari 2021 meningkat 4,58 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan melonjak 24,65 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Harga minyak kernel naik 11,98 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan meroket hingga 43,66 persen dibandingkan dengan Januari 2020.
Sementara harga minyak kelapa sawit dan karet secara berturut-turut turun 2,56 persen dan 1,28 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Namun, dibandingkan Januari 2020, harga kedua komoditas itu naik masing-masing 18,62 persen dan 43,66 persen.
Shinta menilai, kinerja ekspor Indonesia saat ini memang masih ditopang oleh pergerakan harga komoditas global. Namun, hal itu akan lebih baik jika kenaikan harga diikuti pula dengan peningkatan volume ekspor komoditas.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014 Bayu Krisnamurthi berpendapat, Indonesia mesti memperhatikan referendum Swiss lantaran Swiss merupakan anggota Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (European Free Trade Association/EFTA). Referendum ini juga menyangkut kelanjutan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia dan EFTA.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, 51 persen masyarakat Swiss akan mengatakan ”ya” pada kerja sama dengan Indonesia, sekitar 34 persen mengatakan ”tidak”, dan masih ada 15 persen yang belum memutuskan.
”Masyarakat yang menolak ini menekankan isu keberlanjutan lingkungan, salah satunya mengenai produk kelapa sawit Indonesia,” ujar Bayu.