Rendahnya inflasi bukan semata karena faktor daya beli. Keberhasilan menangani pandemi Covid-19 jadi kunci pendorong masyarakat, khususnya kelas menengah atas, untuk meningkatkan konsumsi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan dan konsumsi masyarakat diperkirakan akan tetap rendah selama penanganan pandemi Covid-19 belum menunjukkan perbaikan. Perlambatan indeks harga konsumen atau inflasi masih membayangi tahun ini.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menetapkan sasaran inflasi 2021 pada kisaran 2-4 persen. Adapun inflasi sepanjang 2020 mencapai 1,68 persen atau terendah selama kurun waktu 2011-2020.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam, yang dihubungi Minggu (14/2/2021), berpendapat, perekonomian dan inflasi sangat dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Dengan asumsi Covid-19 baru mereda paling cepat pada paruh kedua 2021, perekonomian diperkirakan belum akan pulih sepenuhnya pada 2021.
”Ketika perekonomian terbatasi oleh pandemi Covid-19, permintaan dan konsumsi juga masih akan rendah sehingga inflasi diperkirakan belum meningkat,” ujar Piter.
Perekonomian akan membaik pada semester II-2021. Syaratnya, kasus positif Covid-19 tidak meningkat lagi dan program vaksinasi berjalan efektif. Oleh karena itu, inflasi kemungkinan berada di kisaran sasaran pemerintah dan BI, yakni 2-3 persen.
Menurut Piter, secara teori, inflasi yang rendah membuka peluang bagi pemerintah dan BI untuk melancarkan kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif guna meningkatkan permintaan. Implikasinya, kredit akan tumbuh tinggi sehingga mendorong investasi dan konsumsi. Namun, kondisi saat ini tidak sesuai dengan teori.
”Inflasi yang rendah justru disebabkan oleh permintaan yang ekstrem rendah akibat pandemi Covid-19. Kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif tidak mampu mendorong pertumbuhan kredit. Investasi dan konsumsi juga tidak bisa dipacu karena mobilitas terbatas,” kata Piter.
Di sisi lain, konsumsi yang turun bukan semata-mata karena faktor daya beli. Penurunan konsumsi utamanya disebabkan oleh kelompok kelas menengah atas yang menahan konsumsi dan belanja karena khawatir akan kesehatan dan keselamatan di tengah pandemi Covid-19.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menambahkan, pemerintah dan BI harus mengantisipasi risiko arus modal keluar dan tekanan nilai tukar jika tren inflasi dan lapangan kerja di negara-negara maju meningkat lebih dahulu.
Langkah strategis
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulis, Minggu, menyatakan, pemerintah dan BI telah menyusun lima langkah strategis pengendalian inflasi 2021. Langkah itu dibutuhkan untuk menjaga inflasi dalam sasaran 2-4 persen.
Lima langkah itu adalah menjaga inflasi kelompok bahan pangan bergejolak di kisaran 3-5 persen, memperkuat koordinasi pemerintah pusat dan daerah terkait pengendalian inflasi, serta mempererat sinergi antarkementerian/lembaga dengan dukungan pemerintah daerah.
Selain itu, pemerintah juga memperkuat ketahanan pangan nasional dengan peningkatan produksi melalui program food estate dan kelancaran distribusi serta menjaga ketersediaan cadangan beras pemerintah. Inovasi program juga akan diarahkan untuk menjaga stabilitas pasokan dan kelancaran distribusi selama pandemi Covid-19.
Airlangga menambahkan, pemerintah dan BI juga menyepakati sasaran inflasi untuk tiga tahun mendatang sebagai tindak lanjut berakhirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124 Tahun 2017 tentang sasaran inflasi tahun 2019, 2020, dan 2021. Sasaran inflasi tahun 2022-2024 akan ditetapkan melalui PMK.
Sasaran inflasi tahun 2022 dan 2023 disepakati 2-4 persen, sementara tahun 2024 kisaran 1,5-3,5 persen. Inflasi yang rendah dan stabil diharapkan mendukung pemulihan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.