Pekerja Informal Berharap Dapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Tak hanya untuk pekerja di sektor formal, program jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP dalam UU Cipta Kerja juga diharapkan bisa menyasar pekerja formal yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jamsostek.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pekerja informal berharap turut mendapat jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP dari pemerintah. Sebab, selama pandemi Covid-19, mereka merasa paling berisiko kehilangan pekerjaan.
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menambahkan JKP sebagai salah satu program jaminan sosial, selain jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) berhak mendapat JKP.
Pekerja yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) secara otomatis menjadi peserta JKP. Manfaat JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 6 triliun sebagai modal iuran awal program itu.
Fajar Shohibu (29), pemilik rumah produksi Bineka Sinema, Minggu (14/2/2021), menuturkan, JKP juga dibutuhkan oleh pekerja di sektor informal. Dia saat ini memiliki dua karyawan yang berstatus sebagai pekerja lepas. Dua karyawannya itu belum terdaftar di BP Jamsostek. Otomatis, mereka tidak termasuk penerima JKP.
Fajar menjelaskan, dua karyawannya itu dibayar per proyek. Pada tahun lalu, usahanya turut terdampak pandemi. Kas perusahaan terkuras. Tahun ini, perusahaan mulai bangkit dengan masuknya berbagai pesanan. Dia pun berencana mendaftarkan dua karyawannya itu ke BP Jamsostek agar yang bersangkutan bisa mendapat JKP.
Menurut dia, salah satu tantangan di industri kreatif adalah kesinambungan pekerjaan. Ini karena pola pekerjaan yang bersifat per proyek. Tak ada jaminan proyek tahun lalu bisa didapat lagi tahun ini.
Ditambah lagi, pemberi proyek dalam proses tender kian selektif dalam memilih mitra. Untuk itu, JKP menjadi penolong pekerja kreatif saat tak bekerja sama sekali.
Fremia Famela (26), karyawan tempat pangkas rambut (barbershop) di Padang, Sumatera Barat, juga belum terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek. Sedari awal, memang tak ada perjanjian dari pemilik usaha untuk mendaftarkan Fremia di BP Jamsostek.
Dengan adanya JKP, dia akan mengusulkan kepada pemilik usaha agar mendaftarkan semua karyawan di BP Jamsostek. Dia pun siap membayar iuran dengan nominal maksimal Rp 100.000 per bulan.
JKP, lanjutnya, sangat bermanfaat, terutama bagi pekerja dengan upah pas-pasan seperti dia. Setiap bulan, dia menerima Rp 2,5 juta. Dengan penghasilan sebesar itu, tak banyak yang bisa dia simpan. Ditambah lagi, mencari pekerjaan sangat susah di Padang. Oleh sebab itu, butuh semacam dana transisi sembari mencari pekerjaan baru.
Dengan penghasilan sebesar itu, tak banyak yang bisa dia simpan. Ditambah lagi, mencari pekerjaan sangat susah di Padang. Oleh sebab itu, butuh semacam dana transisi sembari mencari pekerjaan baru.
Melalui JKP, pekerja atau buruh yang terkena PHK akan mendapat uang tunai selama 6 bulan. Selama 3 bulan pertama setelah dikenai PHK, mereka akan menerima uang 45 persen dari upah per bulan yang terdaftar (dengan plafon maksimal Rp 5 juta per bulan). Sementara untuk 3 bulan sisanya, buruh akan mendapat manfaat JKP sebesar 25 persen dari upah per bulan.
Sementara syarat untuk pekerja yang menerima JKP adalah sudah terdaftar sebagai peserta selama 24 bulan dengan masa iur 12 bulan dan telah membayar iuran program berturut-turut selama 6 bulan sebelum PHK terjadi. Buruh yang mengalami PHK karena mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun, atau meninggal dunia, tidak mendapat manfaat JKP.
Ketentuan detail mengenai penyelenggaraan program JKP diatur dalam RPP yang sudah rampung disusun pemerintah awal bulan ini. Kini, RPP itu sedang menunggu diundangkan.
Meski berstatus pekerja formal, Yulvia (30), dosen tetap di salah satu kampus swasta di Bekasi, Jawa Barat, masih belum terdaftar di BP Jamsostek. Bahkan, bayaran yang dia terima per bulan kadang kala tak sesuai dengan kontrak. Pemberi kerja, dalam hal ini yayasan yang menaungi kampus tersebut, beralasan keuangan yayasan belum stabil.
Menurut dia, pemerintah harus tegas. Sekiranya diperlukan, beri sanksi kepada pemberi kerja yang masih belum mendaftarkan karyawannya ke BP Jamsostek.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, peserta BP Jamsostek pada 2020 berjumlah 51,75 juta orang. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2020 ialah 128,45 juta orang. Dengan demikian, kepesertaan BP Jamsostek saat ini baru mencakup 40 persen dari total penduduk bekerja.
Oleh sebab itu, Menteri Ketenagakerjaan, beberapa waktu lalu, menyatakan, sosialisasi terkait kepesertaan BP Jamsostek terus digencarkan. Sosialisasi ini tak hanya menyasar pencari kerja, tetapi juga ke para pekerja mandiri yang statusnya bukan penerima upah.
Khusus untuk perusahaan, Ida mewajibkan setiap karyawan harus terdaftar di program JKP dan program Jamsostek lainnya. Perusahaan tidak perlu menanggung iuran bulanan JKP karena akan dibayarkan pemerintah lewat APBN dan BP Jamsostek lewat rekomposisi iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) serta dana operasional.