Kemiripan program padat karya di kementerian dan lembaga berisiko membuat pelaksanaannya tumpang tindih. Padahal, padat karya diandalkan menyerap tenaga kerja dan memulihkan ekonomi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program padat karya menjadi salah satu strategi utama Pemulihan Ekonomi Nasional 2021. Namun, program yang tersebar di sejumlah kementerian/lembaga berisiko tidak efektif dan tumpang tindih.
Program padat karya 2021 yang dialokasikan pada sejumlah kementerian/lembaga belum termasuk usulan baru yang alokasinya lebih dari Rp 64,7 triliun, bantuan presiden produktif usaha mikro (BPUM) Rp 14,4 triliun, dan program peremajaan sawit rakyat yang didanai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Rp 5,56 triliun.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, yang dihubungi Jumat (12/2/2021), berpendapat, program padat karya sebenarnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta nilai aset usaha kecil dan menengah sehingga berkorelasi kuat dengan upaya pemulihan ekonomi.
Berdasarkan survei Core Indonesia, program padat karya berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat Rp 900.000-Rp 1,8 juta. Adapun nilai aset yang diukur dari potensi peningkatan nilai jual tanah naik 1,5-5 kali lipat. Survei dilakukan di Yogyakarta dan Palembang pada 2018.
”Namun, program padat karya yang kini tersebar di banyak kementerian/lembaga berisiko tumpang tindih jika sisi perencanaan tidak terkoordinasi dengan baik,” kata Yusuf.
Menurut Yusuf, ada kemiripan dalam program padat karya yang disalurkan kementerian/lembaga yang dicatat secara khusus. Ia mencontohkan kemiripan program operasi atau pemeliharaan irigasi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan program pengelolaan air irigasi oleh Kementerian Pertanian.
Selain tumpang tindih, penyaluran program padat karya ke daerah juga menjadi tantangan. Pemerintah daerah sampai ke tingkat desa berperan krusial untuk membagi atau memilah program padat karya yang paling dibutuhkan masyarakat. Program padat karya harus bisa mengurangi tingkat pengangguran.
”Program padat karya perlu disinergikan dengan program lain agar pendapatan masyarakat bisa berkelanjutan, tidak habis ketika program selesai,” katanya.
Menurut Yusuf, koordinasi perencanaan antarkementerian/lembaga berperan penting.
Ada kemiripan dalam program padat karya yang disalurkan kementerian/lembaga yang dicatat secara khusus.
Perihal koordinasi, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengakui, program penyediaan listrik di perdesaan dikerjakan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Oleh karena itu, dana desa yang digunakan untuk program ini hanya menjangkau bidang yang tidak dianggarkan Kementerian ESDM dan tidak dibiayai PLN.
Menurut Abdul Halim, penyediaan listrik di perdesaan menjadi salah satu kegiatan dalam program Padat Karya Tunai Desa (PKTD) tahun ini. Program strategis lainnya adalah pengembangan usaha ekonomi produktif. Adapun anggaran program PKTD dari dana desa pada tahun ini Rp 37,08 triliun.
”Dengan alokasi Rp 37,08 triliun dari total dana desa 2021 yang sebesar Rp 72 triliun, target serapan tenaga kerja di perdesaan 4,2 juta tenaga kerja,” kata Abdul Halim, saat dihubungi, Minggu.
Penyediaan listrik di perdesaan menjadi salah satu kegiatan dalam program Padat Karya Tunai Desa (PKTD) tahun ini.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan, program pengembangan energi terbarukan yang dapat menyerap tenaga kerja baru adalah pengadaan lampu penerangan jalan umum tenaga surya (PJUTS) sebanyak 22.000 unit pada tahun ini.
Dihubungi terpisah, Jumat, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan, pemerintah masih menghitung alokasi anggaran pemulihan ekonomi nasional, termasuk program padat karya dan dampaknya terhadap perekonomian.
Setidaknya ada enam usulan baru program padat karya 2021 berupa Banpres Produktif Usaha Mikro Rp 14,4 triliun; intensifikasi dan ekstensifikasi padat karya tunai; padat karya infrastruktur; padat karya pertanian; penambahan kapasitas pemeriksaan dini, pelacakan, dan perawatan; serta penguatan manufaktur padat karya.