Pemberantasan Korupsi Melemah, Indonesia Bakal Sulit Maju
Penurunan nilai Indeks Persepsi Korupsi 2020 menarik perhatian karena saat ini Indonesia tengah berada dalam situasi menantang. Indonesia tengah didera Covid-19 sekaligus tengah menuju cita-cita negara maju pada 2045.
Oleh
FX LAKSANA AS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya pemberantasan korupsi akan menjadi penghambat utama Indonesia dalam mencapai kemajuan. Anjloknya Indeks Persepsi Korupsi 2020 menjadi alarm bagi Presiden Joko Widodo dan para pemimpin di negeri ini untuk mengevaluasi sejumlah kebijakannya yang dinilai kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Demikian salah satu pesan dari webinar bertajuk, ”Turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK): Tantangan Investasi dan Ekonomi Indonesia”. Acara yang berlangsung pada Sabtu (13/2/2021) itu digelar Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi Ikatan Alumni Universitas Indonesia.
Pembicara dalam diskusi adalah pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Faisal Basri, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2002-2011 Yunus Husein, dan anggota DPR dari Fraksi PDI-P Johan Budi.
Setelah reformasi politik 1998, performa pemberantasan korupsi di Indonesia membaik. IPK Indonesia sebagai salah satu indikator menunjukkan perbaikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kondisi terkini menunjukkan skor IPK justru anjlok, dari 40 pada 2019 ke 37 pada 2020. Dari skala 0-100, makin besar skor, sebuah negara pun makin dipersepsikan bebas korupsi.
Penurunan nilai IPK ini menarik perhatian karena saat ini Indonesia tengah berada dalam situasi menantang, yakni didera Covid-19 sekaligus tengah menuju cita-cita menjadi negara maju pada 2045, saat usia emas kemerdekaan.
”Saya menduga persepsi berkaitan IPK dalam kenyataannya jauh lebih parah. Celakanya korupsi itu adalah kelindan antara empat pihak yang kemudian tidak bisa memperbaiki pemberantasan korupsi. Ada kerja sama antara penegak hukum, wakil rakyat, swasta, dan pejabat pemerintah,” kata Johan.
Anjloknya IPK 2020, menurut Johan, antara lain, disebabkan adanya sejumlah peristiwa penting yang memengaruhi. Di antaranya adalah adanya revisi Undang-Undang KPK dan pengesahan UU Cipta Kerja yang memantik banyak pro-kontra, serta skandal korupsi bantuan sosial dan korupsi izin ekspor benur.
”IPK 2020 anjlok karena ada peristiwa yang punya kontribusi besar. Namun, tentu itu bisa menjadi gambaran bahwa ini tidak main-main. Itu menunjukkan juga perilaku koruptif, siapa pun, semakin besar,” kata Johan.
Untuk itu, Johan merekomendasikan upaya pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ini meliputi aspek penegakan hukum, sumber daya manusia, serta sistem hukum dan politik. Sehubungan dengan sumber daya manusia, Johan berharap partai politik bisa memproduksi kader yang bisa memimpin. Untuk itu, perlu evaluasi mendalam terhadap partai politik dan sistem kepartaian.
”Komitmen ini perlu keteladanan. Sekarang ini kita haus keteladanan seperti Bung Hatta. Keteladanan semacam ini justru ditemukan di masyarakat bawah, bukan di pemimpin. Yang ada di pemimpin-pemimpin adalah bagaimana mencapai kekuasaan dengan cepat, bagaimana mendapat popularitas dengan cepat bagaimana mendapatkan kekayaan dengan mudah dan cepat,” tutur Johan.
Yunus menyatakan, korupsi terkait erat dengan integritas partai politik dalam menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah kaderisasi. Kader-kader partai pada gilirannya akan memegang kekuasaan dan memimpin lembaga eksekutif dan legislatif di daerah dan pusat.
”Kalau parpol tidak melakukan tata kelola yang baik, susah menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik. Kalau parpol melakukan tata kelola yang buruk, pemimpin-pemimpin yang merupakan kadernya juga akan mempraktikkan tata kelola buruk. Maka, kalau reformasi politik dan partai politik tidak pernah dilakukan, tidak akan pernah ada perbaikan substantif di negara ini,” katanya.
Upaya pemberantasan korupsi, Yunus menambahkan, selama ini juga mendapatkan perlawanan. RUU tentang Pembatasan Transaksi Tunai dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sudah ada sejak beberapa tahun lalu, misalnya, hingga kini tak kunjung dibahas DPR. Padahal, kedua aturan ini bisa mengurangi peluang korupsi.
RUU Pembatasan Transaksi Tunai antara lain membatasi transfer tunai maksimal Rp 100 juta. Sementara RUU Perampasan Aset Tindak Pidana memberi ruang penegak hukum untuk mengadakan pembuktian terbalik. ”Kalau demokrasi jelek, produk-produknya cenderung koruptif,” kata Yunus.
Faisal menyatakan, performa pertumbuhan investasi dan ekonomi suatu negara berbanding lurus dengan performa pemberantasan korupsi di negara itu. Berbagai kajian empiris telah membuktikan premis ini.
”Naik-turunnya investasi mirip-mirip dengan naik-turunnya IPK. Ternyata semakin tinggi IPK, semain marak investasi. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada keraguan. Tapi, sayangnya, orang-orang yang percaya bahwa itu (pemberantasan korupsi menghambat investasi) ada di Istana Kepresidenan. Ini menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi lemah di pusaran kekuasaan,” papar Faisal.
Korupsi, Faisal menekankan, juga membuat kualitas perekonomian negara, termasuk kualitas investasi, buruk. Maksudnya, sekalipun nilai investasi tinggi, hal itu tidak banyak memberikan manfaat ekonomi dan nilai tambah kepada kepentingan domestik. Bahkan, tidak menutup kemungkinan negara malah rugi.
Artinya, investasi yang datang melalui sistem korup, bukannya memberikan nilai tambah ke perekonomian domestik, melainkan justru mendatangkan kerugian. Itu semua, Faisal melanjutkan, bisa terjadi karena investasi tidak melalui perencanaan proyek, perencanaan keuangan, dan lelang terbuka. Ironisnya, investasi semacam ini justru banyak mendapat skema jaminan dari pemerintah.
”Kesimpulan sebenarnya ikan itu, kan, kalau busuk dari kepala. Kalau kepala kotor, busuk semuanya. Dimulai dari kepala. Saya tidak percaya komitmen pemberantasan korupsi yang disampaikan Presiden Jokowi. Lha, orang-orang di sekitarnya seperti itu. Tunjukkan komitmen itu dengan memilih orang-orang yang antikorupsi di sekitarnya dulu,” kata Faisal.
Rimawanmenyatakan, dunia akan mempunyai arah baru pascapandemi Covid-19. Sejauh ini, arah itu belum diketahui karena pandemi masih berlangsung.
”Pandemi belum selesai saja sudah mengubah lanskap. Kalau sudah, norma akan berubah. Diperlukan cara berpikir strategis. Apa yang dilakukan saat Covid tidak relevan pasca-Covid,” kata Rimawan.
Namun, situasi yang hampir pasti akan terjadi pascapandemi, menurut Rimawan, adalah bahwa semua negara sama-sama membutuhkan investasi secara serentak. Sementara modal tersedia di pasar internasional terbatas. Dalam kondisi ini, faktor yang menentukan arah aliran modal adalah kepercayaan. Ini hanya bisa diperoleh dari integritas dan transparansi.
Menurut dia, jika memiliki kepercayaan, Indonesia bisa memobilisasi sumber daya. Upaya untuk menangani pandemi Covid-19 dan korupsi haruslah melalui kebijakan berbasis fakta, integritas, dan transparansi.
”Jangan pernah berpikir transparansi jadi barang yang tidak kita suka. Kita harus terima. Karena kita butuh modal tinggi, tetapi langka. Kalau sudah seperti ini dan masih bermain-main dengan tidak meningkatkan intergritas dan transparansi, saya tidak tahu lagi harus bicara apa. Apakah kita berjalan ke arah yang benar. Menurut saya tidak,” kata Rimawan.