Pertamina Tepatkan Sasaran Premium di Sulut dengan Pendataan Konsumen
Pertamina mendata kendaraan-kendaraan pembeli bahan bakar premium di berbagai stasiun pengisian bahan bakar di Sulawesi Utara. Ini adalah sebagian upaya menepatkan sasaran bahan bakar bersubsidi serta mengurangi polusi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pertamina mendata kendaraan-kendaraan pembeli bahan bakar premium di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar di Sulawesi Utara, terutama yang dimiliki dan dioperasikannya. Langkah ini adalah sebagian upaya menepatkan sasaran bahan bakar bersubsidi serta mengurangi polusi udara.
Hal tersebut diungkapkan Sales Branch Manager III Pertamina Wilayah Sulut dan Gorontalo Sandi Saryanto, Rabu (10/2/2021), dalam diskusi kampanye penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan di Manado. Nomor polisi kendaraan serta nomor ponsel pengendara yang membeli premium akan dicatat saat mereka mengantre.
”Nanti kami akan menelusuri, apakah kendaraan tersebut memang berhak mendapat premium atau tidak. Program ini sudah kami jalankan di Sulut, dan nanti akan kami konsultasikan dengan pemerintah daerah, apa diperlukan tindakan tertentu,” kata Sandi.
Pada 2021, Pertamina mendapat penugasan memenuhi kuota 10 juta kiloliter (kl) premium, bahan bakar minyak bernomor oktan (RON) 88 tersebut, lebih rendah ketimbang 11 juta kl pada 2020. Premium—yang dijual seharga Rp 6.450 per liter, sekitar Rp 1.000-Rp 2.000 di bawah harga keekonomian—ditargetkan untuk petani, nelayan, dan masyarakat miskin.
Saat ini, konsumen bahan bakar di Sulut lebih banyak membeli pertalite yang bernomor oktan 90 dengan tingkat pembelian 60,19 persen. Namun, tingkat pembelian Premium ia sebut masih cukup tinggi, yaitu 36,35 persen. Artinya, masih ada warga yang membeli BBM bersubsidi meski tak berhak.
Nanti akan menelusuri, apakah kendaraan tersebut memang berhak mendapat premium atau tidak. Program ini sudah dijalankan di Sulut, dan dikonsultasikan dengan pemerintah daerah apakah diperlukan tindakan tertentu. (Sandi Saryanto)
Sementara itu, proprosi konsumsi Pertamax (RON 92) sekitar 3 persen dan Pertamax Turbo (RON 98) sebanyak 0,46 persen. ”Semakin tinggi nilai oktannya, emisi gas buangnya semakin baik karena pembakaran lebih sempurna. Polusi udara juga bisa dikurangi. Ini tanggung jawab kita semua untuk menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan,” kata Sandi.
Selama ini, Pertamina berupaya mendorong penggunaan bahan bakar beroktan tinggi, terutama pertamax, dengan memberikan insentif. Pengguna aplikasi MyPertamina berpeluang mendapatkan hadiah, dari kendaraan bermotor hingga paket liburan.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Marly Gumalag mengatakan, kualitas udara di Sulut masih tergolong baik. Indeks Kualitas Udara (IKU) di Sulut sepanjang 2020 lalu adalah 92,5, di dalam kisaran 80-100 untuk kategori yang baik. ”Tetapi, kita pernah lebih baik di indeks 95,” katanya.
Masih rendah
Menurut Marly, zat-zat berbahaya dalam udara di Sulut masih rendah, seperti nitrogen dioksida, sulfur dioksida, ozon, hingga partikel halus berukuran particulate matter (PM) 2,5 dan PM 10. Namun, udara indeks tersebut tidak bisa mewakili Sulut secara keseluruhan karena hanya ada satu alat air quality monitoring system (AQMS) yang terpasang di Manado.
”Alat itu terpasang di kantor Dinas Lingkungan Hidup Sulut dan hanya bisa mengukur sampai radius 500 meter-1 km, tergantung arah angin juga. Jadi, mungkin tidak bisa mewakili keramaian kendaraan bermotor yang ada di Boulevard atau di Jalan Sam Ratulangi,” katanya.
Menurut dia, ada beberapa sumber polusi udara di Sulut, salah satunya adalah yang bergerak, seperti kendaraan bermotor. Menurut Marly, warga bisa berkontribusi menurunkan potensi pencemaran udara dengan menggunakan BBM beroktan tinggi.
”Dinas Lingkungan Hidup bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi, antara lain mengawasi gas emisi industri dan kualitas udara di lingkungan. Kami tidak bisa mencegah masyarakat untuk membeli mobil. Di Eropa dan di Jepang, contohnya, banyak mobil, tetapi udara tetap bersih karena penggunaan BBM ramah lingkungan,” ujar Marly.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Sulut Debbie Kalalo mengatakan, belum ada penelitian yang membuktikan adanya korelasi angka kematian di Sulut dengan kualitas udara yang buruk akibat polusi dari kendaraan. Namun, ancaman itu tetap ada. Sebab, data Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan 543.000 anak di bawah 5 tahun meninggal setiap hari karena penyakit pernapasan yang disebabkan polusi udara.