Pelaku Pasar Mulai Lirik Saham Sektor Pertambangan
Meskipun volatilitas harga saham emiten tambang tinggi, secara rata-rata nilai saham diproyeksi akan lebih baik dibanding tahun 2020. Kenaikan harga batubara akan menjadi katalis positif bagi kinerja emiten batubara.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski tidak luput dari volatilitas, saham emiten pertambangan tetap menarik perhatian investor dan pelaku pasar. Situasi ini sejalan dengan harga komoditas tambang, terutama batubara, yang bergerak prospektif. Dalam jangka menengah, emiten pertambangan diyakini akan melaju di jalur optimisme.
Harga acuan batubara periode Februari 2021 melonjak menjadi 87,79 dollar AS per ton dari Januari 2021 yang senilai 75,84 dollar AS per ton. Pada Desember 2020, harga acuan batubara 59,65 dollar AS per ton. Secara rata-rata, harga batubara sepanjang 2020 adalah 58,17 dollar AS per ton atau yang terendah sejak 2015.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Stefanus Darmagiri, Kamis (11/2/2021), mengatakan, sejumlah katalis positif yang memicu tren kenaikan harga batubara sejak Oktober 2020. Katalis itu, antara lain, adalah sentimen siklus super komoditas dan geliat ekonomi China.
”Kenaikan harga batubara global turut mengerek harga batubara domestik. Saham batubara di dalam negeri juga ikut menguat. Komoditas nikel dan timah juga turut terdongkrak akibat sentimen pemulihan ekonomi China,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (11/2/2021).
Kenaikan harga batubara global turut mengerek harga batubara domestik. Saham batubara di dalam negeri domestik juga ikut menguat. Komoditas nikel dan timah juga turut terdongkrak akibat sentimen pemulihan ekonomi China.
Namun, lanjut Stefanus, ramainya transaksi saham-saham emiten pertambangan akibat kenaikan harga batubara berpotensi juga membuat saham-saham emiten tersebut akan memasuki tren bearish atau penurunan harga dalam beberapa periode ke depan.
Berdasarkan catatan RTI Infokom, dalam tiga bulan terakhir hingga penutupan perdagangan Kamis, saham PT Aneka Tambang Tbk yang berkode ANTM melonjak hingga 155,11 persen ke level Rp 2.870 per lembar saham. Lonjakan juga terjadi pada saham PT Timah Tbk (TINS) yang naik 141,86 persen pada periode yang sama ke level Rp 2.080 per lembar saham.
Meskipun volatilitas harga saham emiten tambang tinggi, secara rata-rata nilai saham diproyeksi akan lebih baik dibandingkan dengan tahun 2020. Kenaikan harga batubara akan menjadi katalis positif bagi kinerja keuangan dan bisnis dari emiten pertambangan dan pergerakan sahamnya.
”Apalagi, saat China memboikot produk batubara Australia karena berseteru membuat konsumen batubara terbesar di dunia itu semakin condong ke Tanah Air,” ujar Stefanus.
Sementara itu, analis RHB Sekuritas, Fauzan Luthfi, menilai, secara keseluruhan antusiasme pasar terkait pulihnya harga komoditas sesungguhnya sudah berlangsung sejak akhir tahun lalu. ”Jadi, wajar kalau nanti ada aksi ambil untung,” ujarnya.
Kendati begitu, lanjut Fauzan, pulihnya harga komoditas ini masih akan menjadi sinyal koreksi yang positif. Selain China, permintaan batubara dari Jepang dan Korea Selatan juga diproyeksi akan melonjak. Hal ini akan menjadi katalis positif bagi profitabilitas emiten pertambangan Tanah Air.
Berbeda dengan emiten pertambangan, harga saham emiten perkebunan sedang berada dalam tren stagnansi, bahkan cenderung terkontraksi. Hal ini disebabkan terkoreksinya harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai, sentimen penekan utama sejumlah saham emiten perkebunan adalah harga CPO yang terus terkoreksi dalam beberapa waktu terakhir. Meskipun begitu, tren pelemahan harga yang membayangi emiten-emiten CPO tersebut merupakan hal wajar.
”Sektor ini adalah sektor tertinggal, akan tetapi karena statusnya yang sempat rebound, emiten-emiten sawit menjadi layak diperhatikan,” kata William.
Koreksi itu hanya bersifat teknikal karena secara fundamental harga CPO masih tercatat cukup baik.
Mengutip data Trading Economics, harga kontrak CPO berjangka di Bursa Malaysia untuk Maret 2021 pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu terkoreksi menjadi 3.423 ringgit Malaysia (RM) per ton dari awal Januari 2021 yang senilai 3.750 RM per ton. Namun, harga kontrak komoditas berjangka CPO untuk pengiriman April 2021 yang aktif ditransaksikan di Bursa Malaysia naik tipis 8 RM ke RM 3.580 per ton.
Dalam sebulan terakhir, harga saham PT Astra Argo Lestari Tbk berkode AALI anjlok 8,67 persen. Adapun sejak awal tahun, harga saham AALI anjlok 10,65 persen.
Menurut William, koreksi itu hanya bersifat teknikal karena secara fundamental harga CPO masih tercatat cukup baik. ”Jika dilihat secara pendekatan teknikal, masih ada peluang dari harga saham perkebunan naik secara terbatas dalam waktu dekat,” ujarnya.