Dari ”Newsroom” Menuju ”Newsincorp”...
Pada gilirannya, pengelola media harus mampu menggabungkan seluruh potensi, peluang, publik, kompetitor, dan ekosistem yang ada untuk menjaga kehidupannya dan terus mengembangkan jurnalisme serta kepercayaan publik.
Dengan masih hidup, kita masih bisa bergulat, masih bisa bergerilya menegakkan demokrasi, asal kita tidak menggadaikan suara hati….” (Jakob Oetama (1931-2020), pendiri harian Kompas)
Selasa (9/2/2021) adalah Hari Pers Nasional. Namun, perayaan hari yang seharusnya menggembirakan pengelola media dan wartawan di negeri ini justru dimulai dengan suasana kelabu. Keprihatinan yang dalam. Pandemi Covid-19 melengkapi tantangan berat yang sejak sepuluh tahun terakhir ditebarkan oleh disrupsi digital, yang membuat sejumlah media di dunia tumbang.
Jelang perayaan HPN 2021, Januari, dua koran nasional, Koran Tempo dan Indopos mengumumkan tidak lagi memperpanjang penerbitan cetaknya. Awal Februari 2021, koran Suara Pembaruan menghentikan edisi cetaknya pula. Sejak 2015, sejumlah surat kabar di Nusantara berguguran. Ada yang menghentikan edisi cetak dan sepenuhnya beralih menjadi media online (daring), tetapi ada pula yang tidak terbit lagi.
Kondisi yang tidak lebih baik juga terjadi di tingkat global. Voice of America (VOA), mengutip data Associated Press (AP), pada 3 April 2020, menunjukkan, sekitar 2.100 kota di Amerika Serikat (AS) kehilangan korannya selama 15 tahun terakhir ini, terutama akibat disrupsi digital. Pandemi Covid-19 memperberat kehidupan media massa di AS, serta media di Australia, Eropa, sebagian besar di Asia dan Afrika pula. Pengelola media, termasuk kelompok media besar, juga kehilangan pendapatan, mengurangi staf, melakukan efisiensi, dan mencari sumber pendapatan baru untuk tetap hidup.
Dari negeri tetangga, Malaysia, tahun 2021 dimulai dengan kisah New Sabah Times, surat kabar yang pertama kali terbit pada 1949 menghentikan edisi cetaknya. Pada 2019, koran tertua di Malaysia, Utusan Melayu, yang pertama kali terbit tahun 1939, juga berhenti terbit. Selain terdisrupsi digital, harian yang terafiliasi dengan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), partai politik yang pernah lama berkuasa di Malaysia, itu juga mengalami persoalan dukungan politik.
Pengelola media, termasuk kelompok media besar, juga kehilangan pendapatan, mengurangi staf, melakukan efisiensi, dan mencari sumber pendapatan baru untuk tetap hidup.
Baca juga: Keberlanjutan Usaha Media Menjadi Tantangan
Selain mendisrupsi media cetak, digital sesungguhnya juga memengaruhi keberlangsungan hidup media elektronik dan daring. Di Indonesia, sepanjang 16 tahun terakhir, media daring pun berguguran, bergantian. Awal tahun 2000-an, portal berita Lippostar.com ditutup dan Astaga.com berhenti beroperasi pada 2006. Ribuan media daring baru pun bermunculan. Ada yang bertahan, tetapi tidak sedikit yang hanya seusia jagung.
Media daring perintis yang kini masih bertahan, kecuali Detik.com yang berdiri tahun 1998, sebagian besar adalah yang menjadi bagian dari kelompok usaha media atau surat kabar, seperti portal berita milik Republika dan Kompas yang dirintis tahun 1995. Namun, dengan kian menurunnya pendapatan kelompok usaha media itu, terutama dari iklan dan sirkulasi, kehidupan media daring dalam sebuah kelompok media pun tidaklah mudah.
Secara global, disrupsi digital dan pandemi membuat ribuan portal berita di dunia tidak beroperasi lagi atau mengurangi karyawannya. Sebelum pandemi, misalnya, pada 2019, portal berita yang kuat di AS, seperti Buzzfeed dan Huffington Post, mengurangi karyawannya. Televisi dan radio juga digerogoti disrupsi digital dan pandemi. Apalagi, media sosial dan mesin pencari semakin mengembangkan konten informasinya, dan memberikan kesempatan besar kepada masyarakat untuk menampilkan kreasinya.
Di sisi lain, jurnalisme warga semakin berkembang dan tidak terbatas melalui situs web pelaporannya. Tidak sedikit figur publik yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan dan kegiatan, yang sebagian di antaranya adalah konten jurnalistik, yang seperti mengambil alih fungsi pers untuk menyampaikan informasi, edukasi, kritik sosial, dan hiburan kepada masyarakat, seperti yang diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca Juga: Media Massa, Bisnis dengan Tanggung Jawab
Bukan hanya materi sajian media massa yang diambil alih media sosial dan personal serta mesin pencari dan produk digital lainnya, melainkan juga pendapatannya pun direnggut. Sebelum media baru yang berbasis internet berkembang, media arus utama, seperti radio-televisi, media daring, dan media cetak, menjadi penguasa dalam mendapatkan belanja iklan dari berbagai perusahaan dan lembaga. Namun, kini, sebagian belanja iklan itu diambil alih media baru, termasuk media sosial dan mesin pencari.
Nielsen Media, pada pertengahan 2020, melaporkan, dari keseluruhan belanja iklan perusahaan atau lembaga di Indonesia, televisi masih mendominasi dengan meraih sekitar 72 persen, diikuti digital (tidak terbatas media) 20 persen, media cetak antara 7 persen, dan yang lain 1 persen. Distribusi iklan di media itu turun lebih dari 30 persen.
Komposisi belanja iklan di media di negeri ini pada 2023 diperkirakan berubah. Televisi diperkirakan akan menguasai sekitar 66 persen, internet 24 persen, cetak tinggal 5 persen, dan yang lain-lain 3 persen. Lebih dari 70 persen pendapatan iklan yang muncul di internet masih saja dikuasai mesin pencari, media sosial, kanal digital lain, dan personal dari mancanegara.
Meskipun sudah banyak media yang berakhir hidupnya, mayoritas pengelola media percaya jurnalisme tidak akan mati.
Secara global, pendapatan media tradisional (arus utama) dari iklan pun menurun. WARC, lembaga riset pemasaran global, memperkirakan pada 2020 belanja iklan untuk media tradisional juga masih dikuasai televisi sebesar 192,6 miliar dollar AS, media luar ruang (43,5 miliar dollar AS), surat kabar (36,6 miliar dollar AS), radio (32,8 miliar dollar AS), majalah (15,2 miliar dollar AS), sinema (3,5 miliar dollar AS), dan lebih dari 600 miliar dollar AS lainnya tersebar di media daring, mesin pencari, dan media sosial.
Namun, penguasaan televisi itu diperkirakan hanyalah seperlima dari total belanja iklan secara global yang diperkirakan lebih dari 950 miliar dollar AS. Digital menguasai lebih dari setengah total belanja iklan itu. Dan, lebih dari 70 persen belanja iklan yang diraih ”media” digital itu dikuasai pemain digital global, seperti Google dan Facebook. Bahkan, Alphabet sebagai induk Google dan Youtube, pada 2020, diperkirakan menguasai sekitar 40 persen dari belanja iklan di platform digital.
Berbagai lembaga memperkirakan belanja iklan secara global pada 2020 turun antara 8-10 persen dibandingkan tahun 2019 ataupun perkiraan 2020. Zenith, yang bekerja sama dengan Statista, memperkirakan belanja iklan global pada 2020 menurun 9,1 persen dan tinggal sekitar 572 miliar dollar AS. Tahun ini, belanja iklan global diperkirakan tumbuh 5,8 persen menjadi sekitar 606 miliar dollar AS.
Adapun WARC memperkirakan belanja iklan global pada tahun lalu turun 8,1 persen dan akan kembali meningkat tahun ini. Namun, setengah lebih dari belanja iklan itu akan tertuju ke digital dan sekitar 20 persen yang mengarah ke televisi. Media tradisional lainnya, seperti radio, koran, dan media luar ruang, diperkirakan rata-rata menerima belanja iklan global kurang dari 7 persen.
Kembali pada publik
Pers adalah pilar keempat demokrasi. Media adalah cermin dari masyarakatnya dan berfungsi tidak hanya untuk menyebarkan informasi, tetapi juga edukasi, hiburan, dan mencerahkan masyarakat. Pers tumbuh untuk membangun harapan dalam masyarakat. Namun, jika media bertumbangan, siapa lagi yang bisa menyuarakan kepentingan masyarakat.
Baca Juga: Masa Depan Media Berbayar
Media Update dalam laporannya pada 19 Januari lalu memperlihatkan, sebagian besar pengelola media di dunia percaya bahwa masa depan kehidupan medianya sangat tergantung pada pembaca, audiens. Lebih luas lagi kembali kepada publik. Penerbit media konvensional dan penerbit daring tak akan bisa lagi mengandalkan pendapatan dari iklan karena tersedot oleh banyak platform. Keyakinan itu semakin menguat pada 2020, apalagi setelah disrupsi digital berpadu dengan pandemi Covid-19, yang membuat ratusan media tradisional dan media daring di dunia bertumbangan.
Sejak 2010, berkembanglah model bisnis media paid content (konten berbayar) pada media daring. Digital subscriptions. Dalam laporannya edisi 7 Januari 2021, Press Gazette menyebutkan, tiga dari empat penerbit (pengelola media) percaya, digital berbayar (berlangganan) adalah masa depan media. Laporan ini senada dengan temuan berbagai lembaga pengkajian pers, seperti Reuters Institute dan NeimanLab. Kedua lembaga ini juga menemukan tak kurang dari 75 persen pengelola media di dunia percaya bahwa masa depan media arus utama yang masuk ke daring atau media daring adalah konten berbayar, baik secara receh (mikro), urun dana atau crowd funding, ataupun berlangganan. Publik harus menghidupi medianya.
Keyakinan itu menguat setelah sejumlah koran atau kelompok usaha media yang mengembangkan digital berbayar itu menuai hasil yang memuaskan. The New York Times (NYT), misalnya, pada 2020, berhasil membukukan pendapatan dari langganan digitalnya melebihi dari langganan cetaknya. Di Jerman, Bild juga membukukan pelanggan digitalnya mencapai lebih dari satu juta, melebihi dari pelanggan cetaknya.
Selain NYT dengan jumlah pelanggan digital saat ini sebanyak 6,2 juta dan Bild, tercatat The Wallstreet Journal, The Washington Post, dan USA Today yang mempunyai pelanggan digital lebih dari sejuta. Data pelanggan itu tentu saja bisa menjadi sumber baru pendapatan. The Guardian berhasil dalam mempertahankan penerbitannya melalui strategi pengumpulan dana warga.
Seperti diingatkan pendiri Kompas, Jakob Oetama, tahun 1978, media sebagai wahana perjuangan dan idealisme harus tetap hidup sehingga masih bisa bergulat, bisa bergerilya menegakkan demokrasi, tanpa menggadaikan suara hati. Apalagi, masyarakat masih mempercayai media arus utama sebagai rujukan dalam mencari informasi dan rujukan bagi kebenaran informasi.
Baca Juga: Kolaborasi Menjadi Kunci agar Jurnalisme Bertahan
Media tidak bisa lagi mengandalkan pendapatannya dari iklan dan sirkulasi. Tanpa menggadaikan idealisme, pengelola media harus mencari sumber pendapatan baru. Tak hanya bertumpu pada dua kaki: iklan dan sirkulasi atau konvensional dan digital. Pendiri Kompas PK Ojong (1920-1980) pada 1970-an pernah mengingatkan, ”Pers yang tidak mendapat subsidi hanya bisa berkembang kalau di samping redaksinya, kepandaian tata usahanya, dan kebaikan percetakannya, daya beli rakyat, ada di faktor lain. Faktor lain itu ialah kepercayaan terhadap harian ini.”
Untuk tetap bisa bertahan, tidak bisa lain, media harus menjaga kepercayaan masyarakat, serta tata usahanya harus pandai mencari dan menangkap peluang untuk mengembangkan usaha dan menopang redaksi menampilkan konten yang bisa menjadi rujukan masyarakat. Konten yang dipercaya masyarakat, yang berkualitas. Tata usaha itu pada masa kini bisa diartikan tak saja bagian bisnis dan marketing, tetapi juga teknologi informasi dan penelitian-pengembangan (litbang).
Saat terdisrupsi digital, media arus utama memiliki tiga kompetitor, yakni media lain, mesin pencari dan produk digital lain, serta media sosial (media baru) dan personal. Kondisi ini memengaruhi perkembangan media, baik dari sisi konten maupun bisnisnya.
Pers yang tidak mendapat subsidi hanya bisa berkembang kalau di samping redaksinya, kepandaian tata usahanya, dan kebaikan percetakannya, daya beli rakyat, ada di faktor lain. Faktor lain itu ialah kepercayaan terhadap harian ini.
Pada masa lalu kehidupan pers sangat ditentukan newsroom, ruang redaksi. Bahkan, perkembangan sebuah negara atau publik sangat diwarnai oleh kebijakan redaksional dari sebuah media yang berpengaruh di negeri itu. Namun, pada perkembangannya, redaksi juga menyadari bergantung pada bisnis untuk bisa melahirkan konten yang berkualitas. Berita yang dipercayai masyarakat.
Di sisi lain, bagian bisnis juga menyadari pengaruh dan posisi yang kuat dari newsroom bisa mendatangkan pendapatan sehingga melahirkan newsbrand. Nama (brand) newsroom pun dipakai sebagai nama produk, termasuk produk baru yang dilahirkan sebuah kelompok usaha media. Pengaruh newsroom juga dipakai untuk mendatangkan pendapatan.
Namun, newsbrand yang berkembang pada pertengahan tahun 1990-an dirasakan tak memadai lagi sehingga pengelola media untuk tetap bisa bertahan hidup harus kembali kepada publik, yang tetap percaya pada pers. Hingga hari ini, seperti dilaporkan Edelman Trust Barometer 2021, tingkat kepercayaan masyarakat di 27 negara yang disurvei, termasuk Indonesia, kepada media konvensional masih tetap tinggi, yakni 53, dibandingkan dengan media sosial yang hanya bernilai 35.
Tingkat kepercayaan tertinggi masih dipegang mesin pencari dengan nilai 56. Tingkat kepercayaan itu turun dibandingkan dengan tahun 2020. Tahun 2018 dan 2019, tingkat kepercayaan masyarakat pada media sebagai sumber informasi sempat mengalahkan mesin pencari dan tidak pernah lebih rendah dibandingkan media sosial.
Masa depan kehidupan dan perkembangan media adalah pada publik. Oleh karena itu, media tidak boleh jauh dari masyarakat, termasuk melahirkan komunitas pembaca dan bekerja sama dengan komunitas yang ada. Pers memang harus hidup dan menghidupi komunitasnya. Komunitas itu termasuk dunia usaha dan aktivitasnya sehingga melahirkan news community dan news commerce. Berita yang lahir dan dekat dari interaksi pers dengan komunitas, serta konten media yang ramah dengan dunia usaha. Namun, dengan tetap tidak meninggalkan idealisme, independensi, dan suara hati dari anggota redaksinya.
Di tengah perkembangan teknologi digital, keterbatasan media, dan persaingan dengaan media lain, media sosial dan personal, serta mesin pencari dan produk digital lain, pengelola media tak dapat meninggalkan pesaingnya itu. Sebuah media bahkan harus hidup dan bekerja sama dengan pesaingnya. Kondisi ini memunculkan news collaboration. Kolaborasi yang berbasiskan kepentingan konten (news), pengembangan jurnalisme, dan pengembangan bisnis media. Beberapa kasus kolaborasi dari dua atau lebih entitas yang sebenarnya berkompetisi ini sudah banyak terjadi.
Di Inggris, misalnya, The Guardian mempercayakan pencetakan dan distribusi koran kepada pesaingnya, Trinity Mirror, yang sejak 2018 bergabung dalam kelompok usaha Reach Plc. Berbagai portal berita pun bekerja sama dengan Google, sebagai mesin pencari, dan bahkan mengizinkan kontennya dibajak. Media daring yang mengembangkan digital subscription di dunia pun bekerja sama dengan mesin pencari, media sosial, dan personal yang menonjol di dunia digital (influencer dan buzzer) untuk menambah pelanggan dan mendistribusikan kontennya. Pada 2020, Google mengumumkan menyiapkan dana 1 miliar dollar AS, sekitar Rp 14,7 triliun, untuk dapat menampilkan konten yang baik, konten berkualitas di platformnya, bekerja sama dengan 200 media di seluruh dunia.
Tak bisa lain, untuk bisa bertahan dan berkembang, media memang harus berkolaborasi dengan berbagai kalangan, baik dunia usaha, pemerintah, media yang lain, masyarakat, dan pesaingnya.
Masa depan kehidupan dan perkembangan media adalah pada publik.
Pada gilirannya pengelola media harus mampu menggabungkan seluruh potensi, peluang, publik, kompetitor, dan ekosistem yang ada untuk menjaga kehidupannya, dan terus mengembangkan jurnalisme serta kepercayaan publik. Inilah kondisi news incorporations (newsincorp). Gabungan berbagai hal, bahkan yang saling berlawanan, untuk menumbuhkembangkan media dan jurnalisme. Tidak mudah, tetapi tak ada pilihan lain….