Biaya Ekspor dari Bitung Tinggi karena Mekanisme Pasar
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara mendesak pemerintah pusat untuk membuat regulasi tegas agar rencana menjadikan Bitung sebagai pelabuhan simpul untuk ekspor dapat terealisasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara mendesak pemerintah pusat untuk membuat regulasi tegas agar rencana menjadikan Bitung sebagai pelabuhan simpul untuk ekspor dapat terealisasi. Tiga tahun terakhir, para eksportir harus menanggung biaya pengiriman peti kemas yang terlampau tinggi akibat mekanisme pasar.
Dihubungi dari Manado, Rabu (10/2/2021), Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulut Darwin Muksin mengatakan, penghambat pelayaran ekspor langsung dari Bitung tak kunjung teratasi, yaitu biaya peti kemas yang terlalu mahal dan kurangnya muatan ekspor.
Biaya pengiriman peti kemas 40 kaki dari Bitung ke China, misalnya, berkisar 1.600 sampai lebih dari 2.000 dollar AS. Biaya tersebut terlampau mahal dibandingkan 500-700 dollar AS yang berlaku di pelabuhan di Jakarta dan Surabaya.
”Biaya peti kemas di Bitung jauh lebih mahal daripada di Makassar dan Surabaya, jadi semua lari ke sana (sebelum diekspor). Padahal, Bitung sudah ditetapkan menjadi international hub port (pelabuhan simpul internasional) menurut Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012. Jadi, harus ada perlakuan khusus dari Kementerian Perhubungan dan BUMN,” kata Darwin.
Perlakuan khusus ini, tambah Darwin, bisa diwujudkan dengan regulasi yang mewajibkan kapal-kapal pengumpan (feeder) domestik bermuatan ekspor singgah di Bitung. Dengan demikian, akan lebih banyak kapal induk (mother vessel) yang singgah di Terminal Peti Kemas Bitung dan berlayar langsung ke kawasan Asia Pasifik.
Menurut dia, Terminal Peti Kemas Bitung sudah dilengkapi fasilitas yang memadai layaknya di Makassar dan Surabaya. Kapasitas pelabuhan itu juga telah ditingkatkan sejak awal 2020, yakni dari 250.000 TEU (peti kemas 20 kaki) menjadi 750.000 TEU per tahun. ”Kenapa tidak bisa dibuka trayek feeder ke Bitung? Ada apa sebenarnya?” ujarnya.
Selama ini, Disperindag Sulut menduga biaya peti kemas terlampau mahal akibat PT Pelindo IV menetapkan tarif pelabuhan yang juga mahal di Terminal Peti Kemas Bitung. Namun, ternyata nominal tersebut adalah harga pasar yang umum di Bitung.
Muhammad Ikhlas, karyawan pemasaran di PT Mitra Intertrans Forwarding, salah satu penyedia jasa pelayaran ekspor (main line operator) di Bitung, mengatakan rata-rata harga sewa peti kemas untuk pelayaran ke China berkisar 1.600 dollar AS. Dengan harga tersebut, eksportir bisa menyewa peti kemas ekspor, tidak harus pindah muatan ketika kapal singgah di Makassar, Surabaya, ataupun Jakarta.
Sejak Desember 2020, biaya bahkan naik ke kisaran 2.300-2.700 dollar AS. Pelayaran ke Eropa bahkan mencapai 3.000 dollar AS per peti kemas. ”Karena Covid-19, muatan jadi sedikit. Kapal juga sedikit sehingga space (ruang untuk peti kemas) terbatas. Jadi, kalau bisa bayar mahal, ya, bisa dapat space,” katanya.
Hermanto, eksportir serat sabut kelapa dan cocopeat dari CV Puri Bitung Gemilang di Bitung, mengaku tak punya pilihan selain membayar mahal. Ia pernah putus hubungan dengan importir di China karena sabut kelapanya tiba dalam keadaan basah setelah transit dulu di Jakarta.
Kalau saja pemerintah memperhatikan itu, pasti cost (biaya) kami bisa turun.
”Saya lebih tenang kalau langsung pakai kontainer ekspor karena tidak harus bongkar muat lagi. Tetapi, harganya mahal sekali, November kemarin bisa sampai 2.275 dollar AS. Kalau saja pemerintah memperhatikan itu, pasti cost (biaya) kami bisa turun,” ujar Hermanto.
Ihwal dugaan Disperindag Sulut mengenai mahalnya biaya kepelabuhanan, Ikhlas menyebutkan biaya tersebut justru tidak berpengaruh. ”Harga dari PT Pelindo IV tidak pernah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, murni mekanisme pasar, apalagi saat Covid-19 begini,” katanya.
General Manager PT Pelindo IV di Terminal Peti Kemas Bitung M Ayub Rizal mengatakan, biaya bongkar muat masih sama, yaitu Rp 812.500 per peti kemas 20 kaki. Biaya itu sudah mencakup biaya tenaga kerja bongkar muat sebesar Rp 99.000. Adapun biaya penumpukan peti kemas hanya Rp 18.000 per peti kemas 20 kaki dan Rp 36.000 per peti kemas ukuran 40 kaki.
PT Pelindo IV mengklaim, biaya yang berlaku di 25 pelabuhan yang dikelolanya itu paling murah dibandingkan pelabuhan-pelabuhan daerah lain yang dikelola PT Pelindo I, II, dan III. Ayub menjelaskan, pihaknya masih memberikan stimulus berupa kelonggaran penggunaan lapangan penumpukan untuk transshipment dari tujuh hari menjadi 14 hari.
”Ada pula kenaikan potongan harga dari 10 persen menjadi 35 persen. Hanya itu yang berubah. Biaya lainnya tetap lama sejak dulu,” katanya.