Peta Jalan Industri Pangan
Akibat pemutusan hubungan kerja selama pandemi, banyak yang terpaksa bermigrasi ke sektor pertanian. Beban sektor pertanian semakin terjepit dan produktivitas sektor pertanian terancam semakin menurun.
Sekalipun membaik, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2020 masih terkontraksi atau minus 2,19 persen. Penyebab utamanya, daya beli masyarakat yang masih lemah sehingga konsumsi rumah tangga masih minus 3,61 persen.
Hampir semua kelompok pengeluaran rumah tangga masih tumbuh negatif dan hanya dua kelompok pengeluaran yang tumbuh positif. Pertama, kelompok perumahan dan perlengkapan rumah tangga tumbuh 0,71 persen. Kedua, kelompok kesehatan dan pendidikan tumbuh 0,64 persen. Ironisnya, kelompok makanan dan minuman rumah tangga, selain restoran, minus 1,39 persen.
Padahal, di tengah pandemi Covid-19, mestinya kecukupan kebutuhan asupan pangan justru prioritas untuk meningkatkan imunitas tubuh melawan Covid-19.
Sayangnya, seiring penurunan pendapatan masyarakat, porsi permintaan terhadap pangan terpaksa dikurangi. Kendati ketersediaan pangan mencukupi, keterjangkauan berkurang karena penurunan daya beli. Akibatnya, ketahanan gizi rumah tangga dikorbankan. Ditambah lagi, dalam tiga bulan terakhir, terjadi tren kenaikan beberapa harga pangan pokok secara signifikan.
Angka inflasi pada Januari 2021 sebesar 0,26 persen, didominasi sumbangan inflasi kelompok bahan makanan 0,21 persen. Beberapa komoditas pangan, seperti cabai rawit, tahu, tempe, ikan segar, daging ayam ras, bayam, kacang panjang, dan kangkung, memberi andil dominan pada angka inflasi tersebut. Bahkan, kenaikan harga tahu-tempe dan daging sapi sehingga menyebabkan aksi mogok massal produsen tahu tempe dan pedagang daging sapi.
Potensi kenaikan harga pangan harus diantisipasi dan dimitigasi secara serius. Pasalnya, berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2020 indeks harga pangan naik drastis mencapai 97,9 poin. Bahkan, pada Desember 2020 mencapai level tertinggi hingga 107,5 poin. Apalagi, ketergantungan beberapa kebutuhan pangan Indonesia dari impor cukup besar, seperti kedelai, gula, gandum, dan daging.
Potensi kenaikan harga pangan harus diantisipasi dan dimitigasi secara serius.
Kompleksitas masalah
Di Indonesia, stabilitas harga pangan selalu menjadi isu krusial, bahkan jauh sebelum masa pandemi. Di satu sisi, fluktuasi harga pangan sangat sensitif, tidak hanya terhadap besaran angka inflasi, tentu juga langsung menekan daya beli. Terutama untuk kelompok berpendapatan rendah dengan 80 persen pengeluaran untuk pangan.
Di sisi lain, demi mengendalikan harga pangan, sering harus mengorbankan nasib petani atau peternak. Keberpihakan yang lebih condong mengamankan kepentingan konsumen, melalui penetapan harga eceran tertinggi, berisiko menekan pendapatan petani. Bak simalakama karena juga akan berdampak terhadap daya beli tenaga kerja di sektor pertanian yang mencapai 38,23 juta orang.
Baca juga: Sektor Pertanian, Penopang yang Rapuh
Di tengah pandemi, pada 2020, sektor pertanian masih tumbuh positif 1,75 persen, bahkan pada triwulan IV tumbuh 2,59 persen. Produksi palawija, seperti ubi kayu, tumbuh 1,72 persen dan kacang hijau 5,45 persen. Demikian juga hortikultura, seperti pisang, tumbuh 8,38 persen, mangga 2,86 persen, dan cabai rawit 12,33 persen. Sayangnya, meskipun sektor pertanian tumbuh positif, upah buruh sektor pertanian masih cukup rendah, yaitu Rp 1,91 juta per bulan pada Agustus 2020. Nilai ini di bawah rata-rata upah buruh nasional Rp 2,76 juta per bulan.
Akibat pemutusan hubungan kerja selama pandemi, banyak yang terpaksa bermigrasi ke sektor pertanian. Artinya, beban sektor pertanian semakin terjepit dan produktivitas sektor pertanian terancam semakin menurun. Belum lagi, menghadapi masalah klasik yang tak kunjung berakhir, yakni harga jual produk pertanian selalu anjlok di bawah ongkos produksi ketika panen. Surplus produksi lebih sering berubah menjadi musibah penurunan pendapatan daripada harapan keuntungan. Karakteristik produk yang mudah rusak dan keterbatasan fasilitas penyimpanan rantai dingin menyebabkan posisi tawar petani rendah. Akibatnya, petani hanya mampu menerima harga berapa pun yang ditentukan tengkulak.
Di tengah permasalahan dan keterbatasan sumber daya, kondisi semakin terjepit ketika harus berhadapan dengan persaingan terbuka produk impor.
Baca juga: Prioritas Pemulihan Ekonomi
Perlu peta jalan
Salah satu contoh kasus yang ironis adalah pada sektor perunggasan. Secara umum, produksi unggas dapat dikatakan swasembada, bahkan terindikasi kelebihan suplai. Idealnya, ketika terjadi kelebihan produksi, peternak bahagia dan Indonesia tidak perlu impor, bahkan mestinya justru mendapat kesempatan ekspor.
Nyatanya, industri perunggasan dalam negeri merasa ”terancam” akan masuknya impor daging ayam Brasil, Argentina, dan Amerika Serikat (AS). Usut punya usut, industri perunggasan dalam negeri belum efisien akibat harga pakan yang mahal dan kompleksitas industri perbibitan. Hal ini, antara lain, akibat kesulitan melaksanakan pengawasan agar keseimbangan tercapai dalam jumlah populasi, mulai dari grand parent stock (GPS) hingga day old chicken (DOC).
Permintaan yang turun di tengah pandemi memicu kelebihan produksi. Akibatnya, peternak menerima harga di bawah harga pokok produksi (HPP) sehingga peternakan rugi dan terpaksa ditutup. Sebagai alternatif solusi jangka pendek menyeimbangkan pasokan dan permintaan, pemerintah memutuskan mengurangi DOC ayam ras melalui cutting dan afkir dini parent stock.
Kebijakan itu hanya pintu darurat, bukan kebijakan yang tepat untuk jangka panjang. Nantinya, untuk menghilangkan informasi yang asimetris, perlu disediakan portal khusus berisi publikasi basis data yang transparan, seketika, dan daring.
Kebijakan itu hanya pintu darurat, bukan kebijakan yang tepat untuk jangka panjang.
Setidaknya, pemerintah dapat memulai dengan menata modernisasi rantai pasok. Contohnya, memberikan fasilitas kemudahan pembangunan gudang berpendingin agar tersedia fasilitas yang memadai untuk menampung kelebihan produksi. Selain itu, mendorong hilirisasi industri perunggasan melalui pertumbuhan industri pengolahan, termasuk meningkatkan efisiensi dengan memperpendek saluran pemasaran melalui e-dagang. Peran BUMN dan BUMD sebagai off taker langsung produksi peternakan dapat diaktifkan.
Hal yang tidak kalah penting, mendorong sisi permintaan masyarakat melalui promosi gerakan peningkatan konsumsi daging dan telur ayam ras. Termasuk, mengedukasi konsumen untuk membeli karkas ayam produk asuh rantai dingin dan penyediaan fasilitas gudang berpendingin di pasar tradisional.
Dengan demikian, sekalipun dalam kondisi musibah pandemi, senantiasa menumbuhkan berkah. Terutama peluang menata ulang dan transformasi sektor pertanian unggulan yang selama ini kehilangan daya saing.
Lebih afdol lagi jika pemerintah secara bersungguh-sungguh membuat peta jalan mengembangkan potensi unggulan sektor pertanian. Salah satunya, peta jalan industri perunggasan secara holistik atau menyeluruh dari hulu ke hilir. Tidak hanya menyelesaikan permasalahan krusial sektor pertanian, tetapi juga sekaligus mewujudkan industri perunggasan yang berdaya saing, efisien, tangguh, dan inklusif serta menjadi jalan keluar di tengah pandemi.
Lebih afdol lagi jika pemerintah secara bersungguh-sungguh membuat peta jalan mengembangkan potensi unggulan sektor pertanian.