La Nina Berpotensi Turunkan Kualitas Produk Pertanian
Sektor pangan tumbuh positif pada 2020 sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun ini, pemerintah perlu mengantisipasi dampak La Nina di sektor tersebut.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi salah satu sektor yang tumbuh positif di tengah kontraksi perekonomian sepanjang 2020. Kinerja tersebut kini menghadapi dampak La Nina yang dapat menurunkan kualitas produksi.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia sepanjang 2020 terkontraksi atau tumbuh minus 2,07 persen. Berdasarkan lapangan usaha, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 1,75 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sepanjang 2019 yang mencapai 3,61 persen.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, Senin (8/2/2021), mengatakan, kinerja ekonomi di sektor pertanian belum berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. Pertumbuhan sektor ini yang tidak dirasakan produsen pangan di hulu mungkin disebabkan oleh tata niaga pangan yang panjang.
”Ini mesti diatasi agar pertumbuhan pertanian tak hanya dirasakan oleh perantara,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Kinerja ekonomi di sektor pertanian belum berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. Pertumbuhan sektor ini yang tidak dirasakan produsen pangan di hulu mungkin disebabkan oleh tata niaga pangan yang panjang.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 Bayu Krisnamurthi mengemukakan, tumbuhnya kinerja sektor pertanian di saat ekonomi terkontraksi disebabkan konsumen lebih memprioritaskan pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu, tren harga sejumlah komoditas pertanian di kancah global, terutama minyak kelapa sawit, meningkat.
Subsektor tanaman pangan pada 2020 tumbuh 3,54 persen secara tahunan. Adapun subsektor hortikultura dan perkebunan masing-masing tumbuh 4,17 persen dan 1,33 persen. Hanya subsektor peternakan yang tumbuh negatif 0,33 persen.
Sepanjang 2020, nilai ekspor pertanian mencapai 4,12 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Nilai tersebut meningkat 13,98 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,81 miliar dollar AS.
Walaupun demikian, Bayu mengatakan, fenomena La Nina pada tahun ini menjadi tantangan bagi kinerja lapangan usaha pertanian secara makro. Kualitas hasil panen sejumlah komoditas akan menurun akibat kandungan kadar air yang tinggi, seperti tebu, kelapa sawit, dan padi.
Oleh sebab itu, Indonesia mesti mewaspadai situasi tersebut karena berdampak pada produksi sejumlah komoditas pertanian dan pangan strategis. Apabila ada kebijakan pengadaan yang hendak diambil, keputusan mesti diambil dalam waktu dekat.
”Selain pandemi Covid-19, kondisi permintaan dan penawaran di tingkat dunia perlu menjadi perhatian,” kata Bayu.
Guntur menambahkan, La Nina yang meningkatkan intensitas hujan menyebabkan banjir di sejumlah lahan pertanian di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dia berharap sawah tak tergenang dalam waktu yang lama sehingga masih bisa dipanen.
Untuk mempersiapkan panen, kelompok tani akan mencoba bermitra dengan pabrik-pabrik pengolahan beras di wilayah setempat. Biasanya, pabrik tersebut sudah memiliki mesin pengering dan penggilingan, serta sistem penyimpanan yang mumpuni.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University dan juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengemukakan, organisme pengganggu tanaman dan iklim berdampak signifikan pada produksi pertanian. Luas tanam sepanjang 2021 berpotensi naik karena dapat mengoptimalisasi sawah dengan sistem irigasi tadah hujan.
Walaupun demikian, kesejahteraan petani masih membutuhkan perbaikan pada tahun ini. ”Apalagi, terdapat tren turunnya harga gabah di sentra produksi. Kecenderungan ini bisa menekan pendapatan petani,” ujarnya.