Distorsi Politik dan Literasi Jadi Tantangan Wakaf Uang
Inisiatif pemerintah menggalakkan wakaf uang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Padahal, potensi wakaf uang untuk meningkatkan kesejahteraan dan menggerakkan ekonomi sangat besar.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inisiatif pemerintah menggalakkan wakaf uang
menimbulkan kontroversi di masyarakat. Distorsi politik dan rendahnya literasi wakaf dinilai jadi penyebabnya. Padahal, potensi wakaf uang untuk meningkatkan kesejahteraan dan menggerakkan ekonomi sangat besar.
Pasca-peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Joko Widodo, akhir Januari 2021, pemerintah mendapat banyak tudingan dari masyarakat (Kompas, 30/1/2021). Pemerintah dinilai memanfaatkan potensi besar wakaf uang untuk menambah pendapatan negara.
Fenomena tersebut pun dibahas dalam diskusi virtual bertajuk ”Gerakan Nasional Wakaf Uang: Antara Cita-cita dan Realita” yang diselenggarakan
Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Selasa (9/2/2021).
Hadir pada acara tersebut, Urip Budiarto dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Mohammad Nuh selaku Kepala Badan Wakaf Indonesia, Bayu Taufiq dari Indonesia Waqf Institute, Bambang Suherman dari Dompet Duafa, dan Ebi Junaedi dari Core Indonesia.
”Kenapa gerakan wakaf uang ini kontroversial karena ada distorsi politik dan rendahnya literasi wakaf di masyarakat kita,” ujar Mohammad Nuh di tengah diskusi.
Padahal, wakaf uang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 2002. Wakaf sebagai istilah ekonomi Islam adalah salah satu bentuk sedekah untuk kepentingan masyarakat dalam jangka panjang.
Wakaf kerap diasosiasikan dengan sedekah aset, seperti tanah, bangunan, mesin, ataupun peralatan yang digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan. Namun, pewakaf juga bisa menyerahkan wakaf dalam bentuk uang untuk membeli aset atau peralatan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dan investasi.
Pada kesempatan sama, Bayu Taufiq menilai, distorsi politik yang menyebabkan resistensi kebijakan wakaf uang di masyarakat terjadi karena ada masalah ketidakpercayaan kepada kebijakan publik.
Situasi ini tergambar dari nilai Demokrasi Index 2020 versi The Economist Intelligence Unit yang terendah dalam 14 tahun terakhir. Selain itu, Indonesia dalam Indeks Kemajuan Sosial (SPI) tahun 2019 dari lembaga nirlaba Social Progress Imperative tidak masuk 35 negara utama karena menduduki posisi 85 dari 149 negara.
Ditambah, skor indeks persepsi korupsi Indonesia 2020 yang dirilis
Transparency International Indonesia (TII) turun menjadi 37 dari skor 40 pada 2019. Sementara itu, indeks literasi wakaf Indonesia masih terbilang rendah karena hanya 50,48.
”Kalau wakaf jadi kebijakan publik, ini harus berhadapan dengan persepsi masyarakat. Pasti ada pandangan berbeda dari setiap kebijakan yang diambil. Ini tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Sementara itu, rendahnya literasi wakaf, menurut Kepala Divisi Dana Sosial Syariah KNEKS Urip Budiarto, perlu diatasi dengan membenahi setidaknya empat aspek dalam pengelolaan wakaf uang yang saat ini masih kurang.
Pertama, meningkatkan pemanfaatan teknologi serta optimalisasi riset-riset dalam bidang wakaf. Kedua, mengoptimalkan regulasi kelembagaan wakaf agar lebih mengikuti perkembangan zaman.
Ketiga, menguatkan dukungan dan peran BWI agar kinerjanya lebih optimal dalam mengelola uang wakaf. Keempat, meningkatkan kompetensi nazir sebagai pihak penerima dan pengelola harta wakaf.
”Insiatif GNWU dari pemerintah juga jadi momentum untuk meningkatkan kemudahan berwakaf, profesionalisme pengelolaan wakaf, dan pemanfaatan wakaf untuk umat,” kata Urip.
Kemudahan dan profesionalisme pengelolaan wakaf uang yang transparan dapat diwujudkan dengan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, pengadaan proyek wakaf yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat akan lebih meningkatkan kepercayaan.
Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 188 triliun per tahun. Nilai itu masih sebagian kecil dari potensi aset wakaf aset per tahun yang bisa mencapai Rp 2.000 triliun.
Namun, menurut catatan KNEKS, pengumpulan wakaf uang baru Rp 819,36 miliar dari 92 nazir di 264 lembaga yang terdaftar di BWI. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 580,53 miliar merupakan wakaf melalui uang berbasis proyek, sedangkan Rp 238,83 miliar lainnya merupakan wakaf uang.