Efektivitas stimulus fiskal tahun ini dipertaruhkan karena tingginya kasus positif Covid-19. APBN bisa semakin terbebani akibat lonjakan belanja dan utang pemerintah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelontoran stimulus fiskal tidak akan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi selama kasus infeksi Covid-19 terus meningkat. Ketidakefektifan stimulus fiskal hanya akan menambah beban APBN masa depan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menuturkan, realisasi pertumbuhan ekonomi 2020 meleset dari baseline pemerintah kisaran 0 persen. Padahal, anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020 terealisasi Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen pagu.
”Realisasi anggaran PC-PEN yang lebih dari Rp 500 triliun harus diakui belum nendang. Pertumbuhan ekonomi 2020 masih terkontraksi kendati secara triwulanan ada perbaikan,” ujarnya dalam telekonferensi pers, Minggu (7/2/2021).
Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi RI secara kumulatif Januari-Desember 2020 minus 2,07 persen. Kontraksi ekonomi ini memang membaik secara triwulanan dari minus 5,32 persen pada triwulan II-2020 menjadi minus 3,49 persen (triwulan III-2020) dan minus 2,19 persen (triwulan IV-2020).
Realisasi anggaran PC-PEN yang lebih dari Rp 500 triliun harus diakui belum nendang. Pertumbuhan ekonomi 2020 masih terkontraksi kendati secara triwulanan ada perbaikan.
Menurut Rizal, gelontoran stimulus fiskal tidak akan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi selama kasus infeksi terus meningkat. Penyebaran Covid-19 yang masih sulit dikendalikan akan memengaruhi perbaikan sisi permintaan dan penawaran. Akibatnya, stimulus fiskal yang diberikan hanya menambah beban APBN.
Kondisi ini tecermin dalam realisasi kinerja APBN 2020. Di satu sisi, realisasi belanja pemerintah naik 12,2 persen. Di sisi lain, lonjakan belanja pemerintah meningkatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2020 menjadi 39,1 persen dan rasio beban utang terhadap PDB menjadi 2 persen.
”Akibatnya, instrumen fiskal sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi akan semakin berat pada 2021,” katanya.
Pada 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran PC-PEN sebesar Rp 557,3 triliun. Dari jumlah itu, untuk bidang kesehatan Rp 109,7 triliun, perlindungan sosial Rp 148,66 triliun, program prioritas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 141,36 triliun, serta dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan korporasi Rp 157,57 triliun.
Rizal menambahkan, alokasi anggaran PC-PEN cukup besar ditambah uang beredar juga banyak. Namun, dampak terhadap produktivitas sektoral, terutama dari sisi permintaan, tidak signifikan. Kondisi ini menyiratkan pentingnya insentif bagi pelaku UKM tidak hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi juga menciptakan nilai tambah.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pemerintah harus mengambil risiko di tengah krisis Covid-19. Instrumen fiskal dimanfaatkan untuk menstimulasi dunia usaha kembali berproduksi dan rumah tangga berbelanja. Meskipun beban APBN makin berat, pengelolaannya akan sangat hati-hati dan pruden.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, dukungan bagi UKM sebaiknya menyasar sektor industri pengolahan. Paling tidak ada lima industri yang mesti diprioritaskan, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, kimia dan obat-obatan tradisional, barang logam, serta alat angkut dan transportasi.
”Industri pengolahan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain karena memiliki efek pengganda yang besar,” ujarnya.
Menurut Andry, dukungan bagi industri pengolahan harus dibarengi dengan keselarasan kebijakan. Peraturan pembatasan aktivitas ekonomi sebaiknya tidak berlaku sama rata untuk semua sektor usaha. Imbauan pembatasan kapasitas beroperasi di Jawa dan Bali menjadi 25 persen, sama seperti penutupan industri pengolahan.
Pemerintah sebaiknya tidak memberlakukan pembatasan kapasitas sama rata di semua sektor. Khusus sektor manufaktur, misalnya, protokol kesehatan saja yang perlu diperketat dan dimonitor ketat. Penerapan protokol kesehatan juga mesti dibarengi dengan peralihan ke digital.
”Jangan sampai satu kebijakan berlaku untuk seluruh sektor ekonomi yang ujung-ujungnya menjadi bumerang,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani berpendapat, efektivitas stimulus tidak akan optimal sepanjang dampak Covid-19 masih dibebankan ke dunia usaha. Contohnya, mayoritas pengusaha sektor pariwisata sudah menerapkan protokol kesehatan ketat. Namun, pada saat yang sama, pembatasan kegiatan kembali diterapkan karena kasus Covid-19 melonjak.
”Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat seharusnya berbagi beban agar ekonomi segera pulih. Jangan sampai pembatasan kegiatan berulang kali diterapkan akibat masyarakat lalai menerapkan protokol kesehatan dan pemerintah tidak tegas menindak yang lalai,” kata Hariyadi.