Pandemi Covid-19 berdampak terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita negara-negara berkembang.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 diperkirakan akan menurunkan pendapatan per kapita di lebih dari 90 persen negara ekonomi berkembang. Pendapatan per kapita negara bisa turun ke level pada satu dekade lalu.
Country Director for Indonesia and Timor Leste Satu Kahkonen menuturkan, pandemi Covid-19 diperkirakan menghapus setidaknya 10 tahun perolehan pendapatan per kapita negara-negara berkembang. Bahkan, pendapatan per kapita pada dua per tiga kelompok negara berkembang pada 2022 akan lebih rendah dibandingkan dengan 2019.
Bank Dunia memproyeksi, pertumbuhan ekonomi kelompok negara berkembang rata-rata 5 persen pada 2021 kemudian tumbuh moderat menjadi 4,2 persen pada 2022. Penurunan produk domestik bruto (PDB) dipengaruhi perlambatan ekonomi China yang diperkirakan rata-rata 3,5 persen pada 2021-2022.
”Pandemi telah menyebabkan pendapatan per kapita turun di mayoritas kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia, dan membuat jutaan orang kembali masuk ke jurang kemiskinan,” ujar Kahkonen dalam seminar proyeksi ekonomi Indonesia 2021, Senin (8/2/2021).
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi RI secara kumulatif pada Januari-Desember negatif 2,07 persen. Kondisi perekonomian membaik secara triwulanan, dari negatif 5,32 persen pada triwulan II-2020 menjadi negatif 3,49 persen pada triwulan III-2020, lalu negatif 2,19 persen pada triwulan IV-2020.
Pandemi telah menyebabkan pendapatan per kapita turun di mayoritas kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kontraksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 berdampak ke penurunan produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia menjadi 3.911,7 dollar AS atau setara Rp 56,9 juta. Sebelumnya, PDB per kapita Indonesia sebesar 4.174,5 dollar AS pada 2019 dan 3.927,3 dollar AS pada 2018.
Kahkonen menekankan, penurunan pendapatan per kapita berdampak signifikan terhadap penurunan pendapatan tenaga kerja yang berimplikasi ke konsumsi rumah tangga dan laju pemulihan ekonomi. Pandemi Covid-19 akan menghambat prospek penanggulangan kemiskinan masa depan dan pertumbuhan produktivitas jangka panjang.
Dari kajian Bank Dunia, dampak pandemi Covid-19 tidak sama rata. Di mayoritas negara, pandemi Covid-19 paling berdampak pada perempuan dan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Mereka kehilangan mata pencarian karena mayoritas bekerja di sektor industri dan jasa perkotaan.
”Perempuan dan penduduk berpendidikan rendah paling banyak kehilangan pekerjaan karena penerapan kebijakan bekerja dari rumah,” kata Kahkonen.
Dari kajian Bank Dunia, dampak pandemi Covid-19 tidak sama rata. Di mayoritas negara, pandemi Covid-19 paling berdampak pada perempuan dan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah
Penurunan ditahan
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah berupaya menahan laju penurunan pendapatan per kapita nasional. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke trajektori positif pada 2021 menjadi kisaran 4,5-5,5 persen.
”Pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi dan reformasi struktural tahun 2021,” kata Airlangga.
Pada 2021, lanjut Airlangga, strategi akan difokuskan pada pemulihan kepercayaan masyarakat melalui program vaksinasi dan penanganan Covid-19 lebih optimal, peningkatan alokasi anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) menjadi Rp 619,3 triliun, serta penciptaan lapangan kerja melalui implementasi UU Cipta Kerja.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, paling tidak ada tiga faktor penentu pemulihan ekonomi atau game changer pada tahun ini, yakni protokol kesehatan ketat, fleksibilitas anggaran, dan reformasi struktural. Instrumen fiskal masih menjadi salah satu penopang utama pemulihan ekonomi tahun ini.