Alternatif Moda dan Simpul Transportasi Jaga Konektivitas
Upaya meminimalkan risiko bencana di jalur akses dan simpul transportasi dibutuhkan untuk menjaga konektivitas. Langkah ini diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mitigasi bencana di sektor transportasi dinilai penting untuk menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan. Ketersediaan moda dan simpul transportasi alternatif dapat menjadi solusi ketika ada gangguan konektivitas akibat bencana di suatu wilayah.
Dampak bencana terhadap simpul transportasi antara lain terlihat dari terganggunya operasional bandara dan stasiun di Semarang, Jawa Tengah, akibat banjir akhir pekan ini. Bandara Ahmad Yani pada Sabtu (6/2/2021) ditutup seharian karena landasan pacu tergenang air.
Stasiun Tawang, Semarang, dan beberapa jalur kereta api di lintasan utara Jawa yang tergenang banjir juga mengganggu perjalanan kereta api. Hingga Minggu (7/2/2021), Stasiun Tawang belum beroperasi.
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, ketika dihubungi, Minggu, mengatakan, ketersediaan layanan berbagai moda transportasi dapat dimanfaatkan sebagai opsi pilihan untuk menjaga konektivitas saat terjadi gangguan di suatu moda. Simpul-simpul transportasi yang berdekatan juga dapat digunakan untuk saling menopang konektivitas ketika salah satu simpul mengalami gangguan operasional.
”Ketika layanan bandara di Semarang terganggu, bandara terdekat, semisal di Solo, dapat menjadi salah satu alternatif. Apalagi, akses menggunakan moda transportasi darat Semarang-Solo sudah bagus,” katanya.
Ketersediaan layanan berbagai moda transportasi dapat dimanfaatkan sebagai opsi pilihan untuk menjaga konektivitas saat terjadi gangguan di suatu moda. Simpul-simpul transportasi yang berdekatan juga dapat digunakan.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menuturkan, selama ini sebenarnya sudah ada pemikiran untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak bencana terhadap insfrastruktur transportasi. Namun, belum semua pemikiran itu terealisasi.
”Stasiun Tawang, misalnya, sudah dirancang untuk dibangun menjadi stasiun layang. Namun, sampai sekarang belum terealisasi,” ujarnya.
Menurut Darmaningtyas, antisipasi dampak bencana terhadap infrastruktur transportasi dibutuhkan untuk menjamin keselamatan pengguna. Kebutuhan ini mendesak, terlebih di daerah rawan bencana. Upaya antisipasi yang bisa dilakukan, misalnya, membangun tanggul penahan di daerah rawan longsor, dan penyediaan jalur alternatif pendukung.
”Saya berharap pemangku kepentingan terkait tidak menyalahkan faktor cuaca ekstrem ketika kemudian terjadi bencana. Jika setiap kali menyalahkan cuaca, itu sama artinya dengan menghindari pencarian solusi secara ekologis,” katanya.
Sebenarnya sudah ada pemikiran untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak bencana terhadap insfrastruktur transportasi. Namun, belum semua pemikiran itu terealisasi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, Kementerian Perhubungan terus berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan pihak terkait untuk menangani simpul-simpul transportasi di Semarang yang terganggu banjir.
”Stasiun Tawang merupakan bangunan heritage atau peninggalan bersejarah sehingga tidak bisa begitu saja diubah atau dirombak dalam rangka manajemen air untuk menanggulangi genangan,” ujarnya dalam siaran pers saat meninjau Stasiun Tawang.
Menurut Budi, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah memiliki sistem manajemen air di sekitar stasiun dan meminta bantuan Kementerian PUPR untuk mengoptimalkannya. Langkah lain yang dinilai dapat dilakukan adalah menaikkan ketinggian jalur sepanjang 500 meter.
Sementara PT Angkasa Pura I akan menginventarisasi sistem pengendalian air, menambah kapasitas pompa air untuk mempercepat penyedotan genangan, serta mengoptimalkan saluran pipa dan tanggul di Bandara Ahmad Yani.
Sebelumnya, ekonom transportasi dan energi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Alloysius Joko Purwanto mengatakan, orientasi perencanaan infrastruktur ke depan mesti mengantipasi dampak cuaca ekstrem. Apalagi, cuaca ekstrem berpotensi semakin sering terjadi seiring kian cepatnya perubahan iklim.
”Cuaca ekstrem yang berpotensi semakin sering terjadi ini menuntut perubahan paradigma dalam perencanaan infrastruktur. Perencanaan yang bersifat reaktif harus berganti menjadi antisipatif terhadap dampak cuaca ekstrem di masa mendatang,” tuturnya.