Polemik soal cantrang belum menemui titik terang. Kini pemerintah akan mengkaji dan mengevaluasi lagi pelegalannya. Upaya berulang ini diharapkan berujung pada langkah konkret dan solutif. Jangan maju mundur lagi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berjanji akan mengevaluasi dan mengkaji kembali pelegalan cantrang sebagai alat tangkap kapal perikanan. Langkah menteri pada awal tahun 2021 ini menuai dukungan dari nelayan kecil. Namun, di sisi lain, menuai reaksi dari nelayan cantrang.
Langkah untuk mengevaluasi kebijakan itu hanya berselang dua bulan sejak pemerintah melegalkan penggunaan cantrang. Pelegalan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI dan Laut Lepas, November 2020.
Berdasarkan regulasi tersebut, beberapa alat tangkap yang sebelumnya dilarang kembali dilegalkan. Alat tangap itu antara lain pukat hela dasar (trawls) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets).
Selama lima tahun sebelumnya, tepatnya sejak tahun 2015, pemerintah melarang penggunaan cantrang. Larangan itu ditegaskan dalam Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Dalam Permen KP Nomor 71/2016, alat tangkap cantrang digolongkan sebagai alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
Ketika itu, kebijakan melarang penggunaan cantrang menuai penolakan dari sejumlah nelayan cantrang dan berujung aksi demo besar-besaran di depan Istana Merdeka, Februari 2015. Solusi berupa peralihan cantrang ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan tidak berjalan mulus. Proses transisi pergantian alat tangkap tidak optimal dan cantrang tetap beroperasi di beberapa wilayah.
Pelegalan kembali penggunaan cantrang menjelang akhir 2020 bak gayung bersambut. Kapal-kapal cantrang kembali beroperasi di sejumlah wilayah. Sejumlah industri pengolahan di Jawa mulai rutin menerima beragam jenis ikan, termasuk rucah, yang dipasok oleh kapal-kapal cantrang.
Akan tetapi, persoalan lain muncul. Benturan antara nelayan cantrang dan nelayan kecil mencuat. Protes antara lain disuarakan nelayan Kepulauan Riau yang datang ke Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka tidak ingin cantrang digunakan di Laut Natuna Utara karena dinilai memicu penangkapan ikan berlebih dan dikhawatirkan bakal menyebabkan perairan Kepulauan Riau akan bernasib sama dengan Laut Jawa yang sumber daya perikanannya terkuras habis.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah kapal cantrang mencapai 6.800 unit. Sebanyak 864 kapal di antaranya berukuran di atas 30 gros ton (GT). Penggunaan cantrang selama ini didominasi nelayan di Laut Jawa dan sebagian Sumatera.
Di depan Komisi IV DPR, Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta waktu satu bulan untuk mengevaluasi kembali kebijakan penggunaan cantrang yang terus menuai polemik. Salah satu opsi yang akan dikaji adalah pengaturan mata jaring dan ukuran jaring cantrang agar tidak merusak lingkungan serta pengaturan zona tangkapan.
Upaya pemerintah mengevaluasi cantrang untuk kesekian kali diharapkan berujung pada langkah konkret dan solutif. Polemik antarnelayan terkait cantrang sudah saatnya diakhiri dengan solusi berbasis data dan kajian ilmiah yang akurat. Pemerintah dapat becermin dari pelarangan total cantrang yang terbukti tidak efektif karena solusi yang ditawarkan tidak optimal.
Di sisi lain, membuka keran perizinan cantrang harus memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dalam jangka pendek hingga jangka panjang. Perlu kejelasan spesifikasi alat tangkap cantrang dan sejenisnya yang boleh digunakan untuk memastikan alat tersebut ramah lingkungan.
Hal yang tidak kalah penting adalah pengendalian dan penegakan hukum yang tegas di tingkat pusat ataupun daerah untuk mencegah manipulasi dan memastikan alat cantrang tidak lagi dimodifikasi sedemikian rupa dan berujung mengancam keberlangsungan sumber daya.
Pro dan kontra terkait isu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan cantrang tidak cukup diatasi hanya dengan membuka ataupun menutup perizinan cantrang. Konflik sosial antarnelayan yang muncul selama bertahun-tahun merupakan lampu kuning bagi pemerintah untuk cermat dalam proses evaluasi. Seluruh pemangku kepentingan perlu dilibatkan secara proporsional. Jangan ada pihak yang ditinggalkan.
Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan komitmennya untuk menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia. Saat inilah momentum berbenah. Harapannya, pemerintah tidak terus-terusan maju-mundur terkait legalisasi cantrang.