Minat Membeli Buku Fisik Terhambat Pandemi Covid-19 dan Penurunan Daya Beli
Pengetatan pembatasan sosial dan menurunnya daya beli selama pandemi Covid-19 menurunkan kemampuan masyarakat membeli buku fisik. Situasi ini pun berdampak pada industri ritel toko buku.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat masih lebih berminat untuk memiliki buku fisik daripada buku digital yang sedang berkembang saat ini. Namun, pengetatan pembatasan sosial dan menurunnya daya beli selama pandemi Covid-19 menurunkan kemampuan masyarakat membeli buku fisik.
Penggemar buku fiksi, Steffany Julian (24), misalnya, mengaku lebih menyukai membaca buku berhalaman banyak dari buku fisik daripada buku digital. Membaca buku digital melalui gawai dinilai melelahkan. Apalagi, selama masa pandemi, penggunaan gawai untuk aktivitas harian, seperti belajar dan berkomunikasi, semakin meningkat.
”Bisa dibilang, aku kapok membaca buku digital karena aku sering membaca buku yang halamannya banyak. Batas kejenuhan membaca buku digital sekitar 300 halaman. Lebih dari itu mending buku fisik,” kata mahasiswa magister di Jakarta tersebut kepada Kompas, Jumat (5/2/2021).
Meski demikian, selama pandemi ia tidak membeli buku fisik sebanyak masa normal. Tahun 2020, ia hanya mampu menambah tujuh buku ke koleksi perpustakaan kecilnya. Padahal, sebelumnya, ia biasa membeli belasan buku baru setahun. Minat bacanya diakui teralihkan sementara ke buku digital karena ia masih membatasi diri bepergian ke toko buku.
Minat Lilis Maryah (26) untuk membaca buku fisik selama pandemi juga masih tinggi. Penyuka komik tersebut juga suka membaca buku secara digital. Namun, ia mengaku masih berjuang untuk beradaptasi membaca buku digital, khususnya di telepon seluler yang biasa ia pakai untuk mengakses buku.
Gangguan iklan atau notifikasi aplikasi kerap kali mengganggu kenyamanan membaca komik digital. Meski demikian, selama pandemi, pekerja swasta di Tangerang itu juga mengaku tidak bisa membeli buku fisik sebanyak sebelumnya karena minimnya pameran atau bazar buku.
”Saya biasanya impulsif sekali beli buku ketika pergi ke pameran atau bazar buku diskon. Tapi, sekarang pameran fisik sudah jarang ada karena Covid-19, kan. Mau beli buku online pun agak susah karena harus tahu dulu apa yang mau dicari,” tuturnya.
Ketidaknyamanan membaca buku melalui gawai juga dirasakan Febriansyah (20). Mahasiswa semester akhir itu lebih mudah menderita kelelahan mata ketika terlalu asyik membaca novel dari gawainya. Namun, buku digital diakui masih menguntungkan karena ia tidak mampu membeli buku fisik sesering dulu.
”Beberapa bulan terakhir ini, orangtua saya udah ngurangin uang saku karena enggak ngekos lagi. Jadi, ya, enggak ada uang untuk belanja buku lagi kayak sebelumnya. Buku digital lebih murah, bahkan banyak yang gratis walau kadang ilegal,” katanya sambil terkekeh.
Penjualan
Corporate Secretary PT Gramedia Asri Media Yosef Adityo, kepada Kompas, menuturkan, penjualan buku fisik cetakan beragam penerbit di toko ritel Gramedia seluruh Indonesia bisa turun sampai 50 persen
selama pandemi. Kebijakan pembatasan sosial dirasakan sangat signifikan menurunkan permintaan buku di tengah gempuran buku digital.
”PSBB di awal pandemi kemarin sempat membuat penjualan turun sampai 50 persen karena banyak toko tutup berbulan-bulan. Pada November sempat naik seiring kebijakan pembukaan mal. Tapi, mulai Desember dan Januari, saat ada kenaikan kasus, penjualan buku fisik turun lagi,” tuturnya.
Sementara itu, penjualan buku fisik secara daring oleh Gramedia melalui berbagai kanal digital mengalami kenaikan hampir 200 persen walaupun tetap tidak menutup kerugian penjualan ritel.
Selain Gramedia, platform e-dagang seperti Tokopedia juga mencatatkan adanya kenaikan penjualan barang kategori buku selama masa pandemi 2020.
External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya mengatakan, peningkatan jumlah transaksi subkategori buku hampir dua kali lipat dibanding periode sama pada 2019.
”Jumlah penjual buku di Tokopedia pun tumbuh dua kali lipat dibanding sebelumnya,” tambah Ekhel.
Pada Juli 2020, perusahaan teknologi analisis data asal Perancis, Report Linker, menyebut, pandemi menyebabkan nilai pasar penerbit buku dunia turun. Pada 2019, pasar penerbit buku global bernilai 92,8 miliar dollar AS. Pasar ini didominasi kawasan Asia Pasifik dan Amerika Utara dengan kontribusi masing-masing sebesar 34 persen (Kompas, 5/2/2021).
Pada 2020, nilai pasar penerbit buku global diperkirakan turun menjadi 85,9 miliar dollar AS. Kondisi ini diharapkan bisa kembali pulih pada 2021 dengan pertumbuhan sekitar 2 persen. Pada 2023 nanti, nilai pasarnya diperkirakan bisa mencapai 91,4 miliar dollar AS.
Sementara pasar buku digital global diperkirakan akan terus tumbuh rata-rata 2 persen per tahun pada periode 2020-2027. Pada 2020, nilai pasar buku digital global sebesar 24,1 miliar dollar AS dan pada 2027 nanti bisa mencapai 27,7 miliar dollar AS.
Forbes, pada September 2020, menyebutkan, pasar buku digital global bernilai 18,13 miliar dollar AS pada 2019. Amazon menguasai 83 persen dari pangsa pasar AS, sedangkan sisanya diisi Apple Books, Barnes & Noble, Kobo, dan Google.
Pengunduhan aplikasi Libby, sebuah platform e-reading, misalnya, meningkat sebanyak 247.000 unduhan pada Maret 2020. Kontributor Forbes, Adam Rowe, melaporkan, sebanyak 10,1 juta buku digital dipinjam dari perpustakaan umum di seluruh dunia melalui Libby selama sepekan. Permintaan buku digital ini meningkat 30 persen dibandingkan dengan sebelum ada pandemi.
Beberapa tahun terakhir, Gramedia pun melaporkan akses buku digital terus meningkat. Selama pandemi, kenaikan penjualan layanan buku digital mereka naik 40-50 persen.
Peningkatan ini berhubungan dengan penambahan jumlah koleksi buku digital, yang saat ini mencapai 20.000 koleksi buku. Pada tahun ini, mereka bahkan menargetkan akan menambah 2.000 koleksi buku digital baru. Kerja sama dengan pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan untuk penyediaan pustaka digital juga terus dilakukan untuk memperluas pasar.
Untuk mengakses layanan tersebut, pembaca hanya perlu membayar biaya berlangganan untuk mencoba berbagai paket koleksi buku melalui aplikasi.
Ritel fisik
Dari sisi omzet penjualan buku, toko ritel fisik belum bisa tergantikan platform penjualan daring. Berdasarkan riset internal Gramedia, masyarakat cenderung membeli buku lebih banyak setelah melihat tampilan fisik dan mencoba membacanya sebelum membeli.
”Dari riset kami, pelanggan cenderung impulsif membeli buku setelah melihat cover buku, lalu membaca sekilas bagian dalam bukunya. Ini beda dengan membeli buku fisik secara daring karena orang cenderung harus tahu dulu apa yang mau dibeli,” kata Yosef.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, dalam keterangan tertulisnya kemarin, mengatakan, situasi pandemi yang berkepanjangan telah menekan pelaku industri ritel modern, termasuk mal.
Kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan pada peritel modern dinilai memperlambat pergerakan ekonomi, padahal toko ritel fisik cenderung membangkitkan kemampuan beli impulsif masyarakat.
”Industri ritel modern pun akhirnya mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2020. Data dari Bank Indonesia menunjukkan, Indeks Penjualan Riil sampai dengan Desember 2020 minus 13,4 persen secara tahunan,” kata Roy.