Jangan Cuma Akhir Pekan, kalau Mau Karantina Wilayah Minimal 10 Hari
Wacana karantina wilayah atau ”lockdown” perlu dikaji mendalam. Karantina wilayah selama akhir pekan dinilai tidak akan berdampak signifikan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana karantina wilayah atau lockdown pada akhir pekan masih perlu dikaji secara mendalam. Dampak karantina wilayah tidak akan signifikan jika hanya berlaku beberapa hari. Jika gegabah, kebijakan itu berpotensi membuat usaha masyarakat kian terpuruk.
Karantina wilayah berarti melarang seluruh kegiatan sosial masyarakat. Publik diminta tidak bepergian dan tinggal di rumah. Selama itu, pemerintah wajib memasok kebutuhan harian warga, termasuk makanan.
Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono, Jumat (5/2/2021), opsi karantina wilayah harus mempertimbangkan banyak hal. Kemampuan pemerintah membiayai rakyat harus dipastikan. Kecukupan logistik dan kesiapan masyarakat menghadapi karantina pun perlu diperhatikan.
Lebih lanjut, ia menilai, karantina wilayah pada akhir pekan tidak efektif karena hanya berlaku 2-3 hari. Artinya, ada 5-4 hari lain dalam seminggu yang berjalan normal. Potensi kerumunan dan penularan Covid-19 tetap berlangsung selama itu.
”Karantina wilayah di akhir pekan sama dengan meniadakan kerumunan selama 2-3 hari. Karantina yang efektif memperhatikan masa inkubasi virus, yakni 3-10 hari. Jika karantina wilayah berlaku lebih dari 10 hari, itu sama dengan menyetop satu kali masa inkubasi virus. Itu yang harus dilakukan,” ujar Tri saat dihubungi dari Jakarta.
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sedang dan berat dinilai paling tepat untuk menekan laju penularan Covid-19 saat ini. PSBB sedang adalah ketika pemerintah membatasi kegiatan publik, kemudian memberikan sanksi bagi yang melanggar. PSBB berat ketika pemerintah dapat membatasi atau menghentikan seluruh kegiatan masyarakat.
”PSBB sedang dan berat itu harus. Tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujar Tri. ”Jika karantina wilayah jadi berlaku, masyarakat perlu diberi sosialisasi, termasuk konsekuensi kebijakan itu,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, karantina wilayah merupakan usulan dari DPR. Usulan ini muncul, antara lain, karena PPKM dinilai tidak efektif akibat mobilitas warga yang masih tinggi.
Karantina wilayah di akhir pekan sama dengan meniadakan kerumunan selama 2-3 hari. Karantina yang efektif memperhatikan masa inkubasi virus, yakni 3-10 hari. Jika karantina wilayah berlaku lebih dari 10 hari, itu sama dengan menyetop satu kali masa inkubasi virus. Itu yang harus dilakukan.
PPKM periode pertama berlangsung pada 11-25 Januari 2021 di Jawa dan Bali, kemudian diperpanjang ke periode kedua pada 26 Januari-8 Februari 2021. Per hari ini, ada 26.029 kasus Covid-19 aktif di DKI Jakarta. Ada 4.502 kematian dan 256.702 orang dinyatakan sembuh.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat mengatakan, pembatasan sosial membuat usaha terpuruk. Upaya untuk bangkit kembali sedang dilakukan. Namun, jika wacana karantina wilayah berlaku, upaya mereka untuk bangkit akan kembali ke titik nol.
”Selama 11 bulan pandemi, traffic (tingkat kunjungan) pusat perbelanjaan belum kembali normal. Traffic kami saat ini hanya 32 persen dari kondisi normal. Jika ada karantina wilayah, kami akan kembali lagi ke nol. Akan sulit sekali bagi kami untuk memulai (usaha) lagi,” kata Ellen.
Tingkat kunjungan pusat perbelanjaan di DKI Jakarta pada Desember 2020 rata-rata 40 persen. Angka itu turun menjadi 30 persen sejak PPKM tahap pertama berlaku.
Ia berharap pemerintah membuat aturan yang proporsional. Pusat perbelanjaan dinilai telah patuh pada semua peraturan dan protokol kesehatan. Ia berharap penertiban tidak hanya menyasar mal, tetapi juga permukiman, pasar tradisional, dan lainnya.
Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono, wacana karantina wilayah terlalu mendadak. Publik tidak siap merespons kebijakan itu, termasuk pelaku usaha. ”Kami harap pemerintah berdialog dengan pelaku usaha sebelum membuat suatu kebijakan. Hotel dan restoran saat ini sangat terpuruk,” ucapnya.
Wacana karantina wilayah terlalu mendadak. Publik tidak siap merespons kebijakan itu, termasuk pelaku usaha.
PHRI melakukan survei pada September 2020 terhadap lebih dari 9.000 restoran di Indonesia. Hasilnya, ada 1.033 restoran yang tutup permanen. Sejak Oktober 2020 hingga sekarang, diperkirakan 125-150 restoran tutup setiap bulan. Jika karantina wilayah berlaku, diperkirakan 750 restoran akan tutup permanen.