Suku Bunga Kredit yang Tinggi Hambat Pemulihan Ekonomi
Suku bunga kredit yang masih relatif tinggi di Indonesia dikhawatirkan dapat menghambat pemulihan ekonomi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Utang yang ditarik pemerintah selama pandemi mayoritas merupakan surat utang negara. Agar menarik investor, suku bunga yang ditawarkan pun relatif tinggi. Rezim suku bunga tinggi di Indonesia dikhawatirkan dapat menghambat pemulihan ekonomi.
Sampai akhir 2020, total utang pemerintah mencapai Rp 6.074,56 triliun.
Sebanyak 86 persen utang tersebut berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN), yang mencapai Rp 5.221,65 triliun. Sisanya merupakan pinjaman luar negeri. Mayoritas SBN diterbitkan dalam mata uang domestik senilai Rp 4.025,62 triliun.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, agar menarik investor, pemerintah harus menawarkan bunga SBN yang relatif tinggi. Akibatnya, suku bunga acuan tidak bisa diturunkan lebih rendah lagi meskipun inflasi dan daya beli domestik amat rendah.
”BI enggak bisa menurunkan lebih jauh karena perlu untuk menopang surat utang agar imbal baliknya menarik bagi investor. Di sisi lain, suku bunga yang relatif tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Forum Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (FAPI), Kamis (4/2/2021).
Ia pun membandingkan tingkat suku bunga acuan di negara tetangga, seperti Singapura di level 0,25 persen, Thailand 0,50 persen, dan Malaysia 1,75 persen. Tingkat suku bunga tersebut dinilai lebih bisa mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi.
Di sisi lain, suku bunga pinjaman komersial di Indonesia juga masih tinggi, yakni di atas 10 persen. Tingkat suku bunga pinjaman tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Thailand.
Suku bunga kredit yang tinggi membuat masyarakat akhirnya enggan mengajukan pinjaman, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif, sehingga menghambat pemulihan ekonomi. ”Kebijakan moneter kita kalau bisa saya bilang tersandera kebijakan fiskal. Kondisi ini akan menghambat pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Pengembangan industri
Menurut Anthony, kemampuan membayar utang pemerintah yang bergantung pada utang bukan solusi terbaik di tengah pelemahan fiskal yang sudah kronis. Pemerintah dinilai harus berani mengambil langkah cepat untuk meningkatkan pendapatan, salah satunya dengan pendekatan industrial.
Dalam jangka pendek, menurut dia, pemerintah bisa menstimulus sektor industri mana pun untuk memulihkan ekonomi dan perlahan memperbaiki kondisi fiskal. Namun, pemerintah harus mengevaluasi industri apa yang mesti dikembangkan ke depan.
”Industri bisa memberi efek berganda besar pada pemulihan ekonomi. Tapi, perlu dipastikan lagi, industri apa yang harus dikembangkan,” katanya.
Mengurangi ketergantungan pada impor penting untuk menahan defisit transaksi berjalan. Anthony mencatat, sejak 2012, neraca transaksi berjalan sudah negatif dan semakin dalam selama lima tahun terakhir. Sebagai contoh, neraca transaksi berjalan tahun 2005-2009 mencapai 31 miliar dollar AS, sementara tahun 2015-2019 minus 112 miliar dollar AS.
Selain itu, industri berbasis komoditas, seperti kelapa sawit dan batubara, juga dinilai perlu dievaluasi. Pasalnya, fluktuasi harga komoditas sangat berpengaruh pada pendapatan negara. Karena itu, negara perlu fokus untuk kembali mengembangkan industri berbasis manufaktur.
Jika pemerintah tidak mengambil strategi lain selain meningkatkan utang, Anthony memprediksi, utang pemerintah pada 2022 bisa menembus Rp 8.669 triliun, dengan rasio utang lebih dari 52 persen. Nilai itu diproyeksikan dari tren rasio pendapatan per pendapatan domestik bruto (PDB) yang turun, rasio belanja terhadap PDB yang tetap, serta rasio utang terhadap PDB yang naik.
Pada akhir 2020, rasio utang terhadap PDB mencapai 38,68 persen. Utang meningkat tajam karena pendapatan negara turun drastis akibat pandemi, sementara kebutuhan belanja meningkat untuk pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, realisasi pendapatan negara hingga 31 Desember 2020 sebesar Rp 1.633,6 triliun atau 96,1 persen dari target perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, yaitu Rp 1.699,9 triliun. Nilai itu terkontraksi 16,7 persen secara tahunan dibandingkan 2019 yang sebesar Rp 1.960,6 triliun.
”Tadinya Rp 2.233,2 triliun, kita revisi ke Rp 1.699,9 triliun, dan realisasinya Rp 1.633 triliun,” katanya, awal Januari lalu.
Penurunan pendapatan negara terjadi karena penerimaan pajak terkontraksi hingga 19,7 persen secara tahunan menjadi Rp 1.070 triliun atau 89,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres No 72/2020 sebesar Rp 1.198,8 triliun.