Pemerintah tidak menggunakan skema subsidi upah lagi, tetapi fokus ke program Kartu Prakerja. Di situ ada juga insentif bagi penerima program, bukan hanya untuk peningkatan kompetensi pekerja.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah untuk menghentikan program Bantuan Subsidi Upah pada 2021 memberatkan pekerja dan pengusaha. Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih betul akibat terdampak pandemi Covid-19, bantuan sosial yang terarah dan terukur dari pemerintah tetap dibutuhkan untuk mencegah pemutusan hubungan kerja dan menjaga daya beli pekerja.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Rabu (3/2/2021), mengatakan, pemerintah tidak akan melanjutkan program Bantuan Subsidi Upah pada tahun ini karena memilih berfokus pada program Kartu Prakerja. Tahun ini, program yang sifatnya semibantuan sosial itu akan mendapat anggaran senilai Rp 20 triliun, sama dengan anggaran pada 2020.
Sampai sekarang, subsidi upah memang tidak dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021. ”Kami tidak menggunakan skema subsidi upah lagi, tetapi fokus ke program Kartu Prakerja. Di situ ada juga insentif bagi penerima program, bukan hanya untuk peningkatan kompetensi pekerja,” kata Ida saat berkunjung ke Kampoeng Djamoe Organik Martha Tilaar di Cikarang, Bekasi.
Kami tidak menggunakan skema subsidi upah lagi, tetapi fokus ke program Kartu Prakerja. Di situ ada juga insentif bagi penerima program, bukan hanya untuk peningkatan kompetensi pekerja.
Pada 2020, pemerintah menyediakan anggaran untuk program subsidi upah sebesar Rp 29,7 triliun. Bantuan itu diberikan kepada 12,4 juta pekerja dengan rata-rata besaran gaji Rp 3,1 juta per bulan di 413.649 perusahaan. Per 18 Januari 2021, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan sudah menyalurkan sebanyak 98,91 persen bantuan untuk pekerja itu.
Pekerja penerima subsidi adalah mereka yang terdaftar di BP Jamsostek sebagai peserta kategori penerima upah (PU) dengan gaji terdaftar di bawah Rp 5 juta. Pendaftaran dilakukan oleh perusahaan masing-masing, sementara bantuan tunai ditransfer langsung ke rekening para pekerja dengan nilai Rp 600.000 per bulan selama 4 bulan.
Program bantuan subsidi upah lebih terarah dan terukur dibandingkan dengan program Kartu Prakerja. Subsidi upah dilakukan dengan pendataan tertutup dan verifikasi berlapis oleh pemerintah dan BP Jamsostek. Sementara Kartu Prakerja melalui pendaftaran terbuka dan bukan hanya diberikan untuk pekerja yang terdampak pandemi atau bergaji kecil.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, meski sudah memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, kondisi perekonomian belum benar-benar pulih. Beberapa sektor dan perusahaan masih mempertimbangkan opsi pemutusan hubungan kerja (PHK).
KSPI menyoroti potensi PHK besar-besaran akan terjadi di sejumlah sektor, salah satunya industri baja yang saat ini mempekerjakan 100.000 orang di seluruh Indonesia. Industri baja dinilai tidak mampu bersaing dengan impor baja dari China sehingga terancam gulung tikar.
Berkaca pada kondisi ekonomi dan kinerja sejumlah sektor yang masih terancam itu, program bantuan subsidi upah seharusnya dilanjutkan untuk menjaga daya beli buruh dan menyangga buruh dan keluarganya jika suatu saat terkena PHK.
”Program subsidi ini sangat membantu menjaga daya beli buruh. Maka, seharusnya dilanjutkan, bahkan diperluas sasarannya, termasuk untuk buruh yang tidak terdaftar di BP Jamsostek. Dengan demikian, semakin banyak buruh yang menerima bantuan, bukan hanya peserta BP Jamsostek,” katanya.
Di sisi lain, di Bekasi, Jawa Barat, sebagai salah satu pusat industri terbesar di Indonesia, kebijakan PHK, pemotongan upah, penghapusan tunjangan, dan perumahan karyawan terus terjadi.
Sejumlah buruh bahkan di-PHK tanpa mendapat pesangon. Mereka hanya diberikan uang pisah yang jumlahnya jauh di bawah hak pesangon sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sektor yang paling terdampak adalah otomotif (Kompas, 3/2/2021).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit menuturkan, baru segelintir sektor yang sudah mulai stabil dan tumbuh positif. Sementara sebagian besar perusahaan masih terpuruk akibat tidak bisa beraktivitas secara maksimal.
Baru segelintir sektor yang sudah mulai stabil dan tumbuh positif. Sementara sebagian besar perusahaan masih terpuruk akibat tidak bisa beraktivitas secara maksimal.
Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, 82,85 persen perusahaan yang disurvei mengalami penurunan pendapatan. Hanya 14,6 persen perusahaan yang pendapatannya tetap dan 2,55 persen yang pendapatannya meningkat. Penurunan pendapatan itu terjadi baik di jenis usaha berskala besar maupun mikro dan kecil.
Akibat penurunan pendapatan itu, sebanyak 17,06 persen perusahaan merumahkan karyawan tanpa dibayar, 12,83 persen memberhentikan pekerja, dan 6,46 persen merumahkan pekerja dengan pemangkasan upah. Sementara Badan Pusat Statistik mencatat, per Agustus 2020, akibat pandemi, terjadi peningkatan pengangguran sebanyak 2,67 juta orang.
Menurut Anton, program subsidi upah secara tidak langsung banyak membantu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pekerja. Bantuan itu juga secara langsung menjadi bantalan finansial bagi pekerja. Oleh karena itu, program tersebut tetap dibutuhkan di tengah pandemi.
”Ada perusahaan yang sudah rebound di sektor-sektor esensial tertentu. Namun, pada umumnya, mayoritas perusahaan sebenarnya masih berat. Pengalaman di negara mana pun, yang bisa membantu di saat seperti ini hanya pemerintah,” katanya.
Terkait potensi PHK, Supit mengatakan, itu tetap menjadi pilihan terakhir pengusaha. ”Kalau PHK, berat juga karena ada pesangon. Merumahkan pekerja pun berat karena tetap harus membayar meski tidak 100 persen. Dalam kondisi seperti ini, dialog bipartit yang terbuka antara perusahaan dan pekerja harus dilakukan, mengingat kita tidak bisa bergantung terus pada pemerintah,” katanya.