Tren kenaikan harga di tengah pandemi Covid-19 menguji daya tahan pangan global. Bagi Indonesia, tantangannya kini bukan soal ketersediaan, melainkan keterjangkauan dan ketahanan gizi, khususnya bagi masyarakat miskin.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2020 mencapai level tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Indeks mengukur perubahan bulanan harga internasional sejumlah komoditas pangan. Secara keseluruhan, indeks harga pangan tahun 2020 mencapai 97,9 poin, terutama disumbang oleh kenaikan indeks tujuh bulan berturut-turut hingga mencapai level tertinggi pada Desember 2020, yakni 107,5 poin.
Semua subindeks mencatat kenaikan moderat pada Desember 2020, kecuali gula, dengan subindeks minyak nabati yang mencatat kenaikan paling tinggi, yakni 127,6 poin, dan menandai level tertinggi sejak September 2012. Selain minyak nabati, kenaikan indeks harga juga terjadi pada subindeks produk susu, daging, dan sereal menurut data yang dirilis badan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 12 Januari 2021 tersebut.
Situasi harga pangan di pasar internasional itu tergambar di Tanah Air. Mogok massal produsen tahu dan tempe nasional pada tiga hari pertama tahun 2021 merupakan respons atas lonjakan harga kedelai impor. Dengan porsi impor mencapai 90 persen dari total kebutuhan kedelai yang diperkirakan mencapai 2,8-3,5 juta ton per tahun, lonjakan harga di pasar internasional berdampak signifikan bagi pasar kedelai di dalam negeri.
Tiga pekan kemudian, giliran pedagang daging sapi yang mogok berjualan secara massal selama tiga hari hingga Jumat (22/1/2021). Para pedagang yang terutama dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang itu merespons kenaikan harga daging sapi dan sapi bakalan impor yang menekan margin.
Gejolak harga kedelai dan daging sapi terekam dalam data inflasi Januari 2021. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), bersama beberapa komoditas pangan, seperti cabai rawit, ikan segar, daging ayam ras, bayam, kacang panjang, dan kangkung, kenaikan harga tahu-tempe dan daging sapi memberi andil dominan dalam inflasi Januari 2021. Sumbangan kelompok bahan makanan mencapai 0,21 persen dari 0,26 persen inflasi bulan lalu.
Menurut laporan sejumlah lembaga dunia, ketersediaan pangan global 2020/2021 relatif aman meski rasio stok diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan 2019/2020. Pasokan pangan global dan nasional juga mampu bertahan dengan harga yang sebagian besar stabil selama pandemi Covid-19. Namun, tak sedikit rumah tangga mengalami kekurangan pangan karena pendapatannya berkurang atau bahkan hilang karena pekerjaan dan sumber penghidupannya terdampak Covid-19.
Survei Bank Dunia bertajuk "Indonesia High-frequency Monitoring of Covid-19 Impacts" menunjukkan, 22 persen rumah tangga melaporkan peningkatan pasokan makanan pada rentang Mei 2020 dan Agustus 2020. Namun, 13 persen rumah tangga melaporkan kekurangan makanan yang lebih buruk, terutama akibat guncangan pendapatan. Pengurangan pendapatan dibandingkan sebelum pandemi, menurut survei itu, berkisar 35-50 persen di seluruh sektor dengan kerugian terbesar terjadi antara lain di sektor transportasi dan pergudangan.
Sebanyak 13 persen rumah tangga melaporkan kekurangan makanan yang lebih buruk, terutama akibat guncangan pendapatan.
Data BPS menegaskan gambaran dampak Covid-19. Sebanyak 29,12 juta orang atau 14,28 persen penduduk usia kerja terdampak Covid-19. Upah buruh turun rata-rata 5,18 persen dari Rp 2,91 juta per bulan pada Agustus 2019 jadi Rp 2,76 juta per bulan pada Agustus 2020. Pandemi juga mendongkrak kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan, tingkat kemiskinan akan berkisar 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 26,2 juta-27,5 juta orang pada akhir 2020.
Situasi itu melemahkan daya tahan pangan kelompok rentan. Dalam laporan ”Prospek Ekonomi Indonesia” (Desember 2020), Bank Dunia mengingatkan, tantangan ketahanan pangan struktural utama bagi Indonesia akan berhubungan dengan peningkatan keterjangkauan dan ketahanan gizi, terutama bagi masyarakat yang lebih miskin. Apalagi, harga pangan di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan.
Selain biaya produksi, tingginya harga pangan disebabkan oleh faktor-faktor di luar pertanian, seperti pembatasan perdagangan domestik dan internasional serta tingginya biaya pemrosesan, distribusi, dan pemasaran. Selain itu, pola makan di Indonesia menunjukkan diversifikasi dan ketersediaan mikronutrien yang terbatas.
Segenap survei, kajian, dan laporan mengulang-ulang pentingnya memprioritaskan perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan miskin. Kenaikan harga pangan di tengah guncangan pendapatan merupakan problem yang krusial bagi mereka. Apalagi, pengeluaran pangan mengambil porsi yang dominan bagi kelompok ini. Sekali lagi, problemnya kini bukan soal pasokan dan ketersediaan, melainkan soal keterjangkauan dan ketahanan gizi.