Peternak, pemerintah, dan perusahaan perunggasan terintegrasi perlu duduk bersama mencari solusi atas problem perunggasan. Tekanan berulang telah mengimpit dan mematikan usaha, khususnya peternak skala mikro dan kecil.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peternak unggas berharap problem harga jual dan ongkos produksi segera teratasi. Situasi berulang yang mendera peternak dua tahun terakhir ini telah mematikan usaha pelaku skala kecil dan berpotensi makin melemahkan industri perunggasan nasional.
Awal tahun ini peternak tertekan oleh anjloknya harga jual dan kenaikan ongkos produksi. Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi, Selasa (2/2/2021) menyebutkan, harga bibit ayam umur sehari (DOC) naik dari Rp 5.500-Rp 6.000 per ekor menjadi Rp 7.000 per ekor. Harga pakan juga naik dari Rp 6.800-Rp 7.300 per kilogram (kg) jadi Rp 7.000-Rp 7.500 per kg.
Akan tetapi, harga jual ayam hidup di tingkat peternak anjlok ke kisaran Rp 16.500 per kg. Padahal, ongkos produksinya setidaknya mencapai Rp 19.000 per kg. Situasi itu mendorong GOPAN dan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia menggelar rapat koordinasi di Bogor, Jawa Barat, Selasa sore.
Penyelenggara rapat turut mengundang perwakilan DPR RI, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Satuan Tugas Pangan, serta perusahaan peternakan unggar terintegrasi (integrator). Menurut Sugeng, salah satu hasil rapat itu adalah mengupayakan integrator meningkatkan penyerapan daging ayam dari peternak. Dengan demikian, harga ayam di tingkat peternak bisa terdongkrak dalam jangka pendek.
Dalam jangka panjang, peternak dan pemangku di ekosistem perunggasan dinilai perlu mencari strategi guna mengendalikan harga komponen produksi, khususnya bibit dan pakan ayam.
Terkait hal itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan berencana mengevaluasi struktur ongkos produksi ayam. Hasil evaluasi diharapkan berupa harga acuan yang lebih fleksibel terhadap pergerakan harga komponen produksi impor.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra yang turut hadir dalam rapat itu mengatakan, pihaknya tengah mengevaluasi struktur harga daging ayam secara mendasar, dari komponen masukan (input) hingga luarannya (output). Harapannya, permasalahan serupa yang mengimpit peternak tak berulang.
Gugus tugas
Menurut Syailendra, fleksibilitas harga acuan dibutuhkan mengingat komponen pakan dan bibit ayam berasal dari impor di mana ada faktor harga internasional, nilai tukar rupiah, dan ongkos transportasi yang berfluktuasi dan perlu diperhitungkan.
”Harga acuan berfungsi untuk mengendalikan serta menjaga harga pada tingkat yang wajar, baik bagi konsumen, pemasok, maupun produsen. Acuan ini membuat pelaku usaha terkait mengambil margin yang wajar,” ujarnya.
Saat ini aturan soal harga acuan merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Menurut aturan ini, harga acuan bibit DOC Rp 5.000-Rp 6.000 per ekor dan harga jual daging ayam di peternak Rp 19.000-Rp 21.000 per ekor.
Selain itu, rapat merumuskan rencana pembentukan gugus tugas yang terdiri dari peternak, pemerintah, dan integrator. Syailendra berharap gugus tugas itu dapat memberikan rekomendasi bagi desain kebijakan perunggasan yang disusun pemerintah.
Terkait kenaikan harga DOC, Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Achmad Dawami menyatakan, kenaikan DOC turut dipicu instruksi pemerintah guna mengurangi produksi. Produksi berkurang sehingga permintaan dan penawarannya tak seimbang.
Di sisi konsumsi, sejumlah pihak menyoroti perlunya promosi guna mendongkrak permintaan dan peralihan ke daging beku. Kenaikan konsumsi diharapkan menyerap kelebihan produksi dan menjaga harga daging dan telur ayam di tingkat peternak. Apalagi tahun ini produksi keduanya diperkirakan melebihi kebutuhan nasional.