Kontradiksi Pengubah Arah Permainan
Undang-Undang Cipta Kerja dan segenap aturan turunannya digadang akan mengubah arah permainan. Namun, permainan seperti apa, untuk siapa, dan dengan mengorbankan apa? Ada sederet kontradiksi yang menyertai prosesnya.
Dalam hitungan hari, seluruh rancangan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan segera disahkan. Hal itu berarti, dalam waktu dekat, regulasi ”sapu jagat” yang sejak lama memantik polemik itu akan resmi berlaku serentak.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menyebut Undang-Undang Cipta Kerja sebagai penentu arah permainan (game changer) dalam pemulihan dan transformasi ekonomi pascapandemi. UU itu diyakini akan mendongkrak investasi, menekan angka pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Harapan yang sangat besar, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi akibat dampak Covid-19 yang belum jelas titik akhirnya. Ibarat berjudi, UU Cipta Kerja mengandung risiko dan konsekuensi, bisa menguntungkan, bisa juga merugikan dan berbalik menjadi bumerang.
Di satu sisi, UU itu diyakini bisa membawa reformasi struktural untuk mendorong kemajuan perekonomian Indonesia. Di sisi lain, ada banyak kelemahan dan kontradiksi yang muncul akibat pembahasan yang kurang mendalam, kurang transparan, dan dengan substansi problematik di sana-sini.
UU Cipta Kerja diharapkan menyederhanakan dan memadukan regulasi, mengingat tumpang tindih regulasi adalah salah satu kendala utama investasi. Pekerjaan seperti itu seharusnya membutuhkan kajian mendalam dan matang, tidak seperti undang-undang biasa.
Akan tetapi, isu yang kompleks dan banyak itu dibahas dalam waktu sempit. Sebanyak 15 bab dan 186 pasal di UU Cipta Kerja dikebut dalam 9 bulan, sementara 52 rancangan peraturan pemerintah (RPP) dan rancangan peraturan presiden (RPerpres) dibahas dalam tiga bulan.
Pada awal Januari 2021, Tim Serap Aspirasi UU Cipta Kerja menemukan ketidakselarasan aturan di hampir semua rancangan peraturan turunan Cipta Kerja. Sejumlah RPP terkesan masih mengedepankan ego sektoral. Regulasi yang seharusnya lebih sederhana dan terpadu akhirnya tetap berakhir kompleks, parsial, dan menyulitkan iklim usaha.
Baca juga: Rancangan Aturan PHK: Hak Pesangon Buruh Berkurang
Di sisi lain, UU Cipta Kerja memang mengandung ketentuan yang positif dan memberi perhatian pada kelompok yang selama ini kurang diperhatikan, seperti pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Namun, tidak dinafikan, UU ini juga memuat peraturan kontroversial yang merugikan dan kontradiktif dengan cita-cita pemulihan dan transformasi ekonomi yang sehat.
Dari sisi kelestarian lingkungan, misalnya, Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengumumkan komitmen bertransformasi menuju ekonomi hijau, mengikuti perkembangan tren global—apalagi, setelah Amerika Serikat memutuskan kembali bergabung dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Namun, ketentuan perizinan berusaha berbasis risiko (risk-based approach) dalam UU Cipta Kerja yang melonggarkan perizinan usaha terkait analisis dampak lingkungan (amdal) serta meminimalkan keterlibatan pemerintah daerah dan masyarakat justru bertentangan dengan cita-cita industri ramah lingkungan dan ekonomi hijau itu.
Dari sisi ketenagakerjaan, standar upah murah, kemudahan pemutusan hubungan kerja dan pesangon di satu sisi memang bisa menarik investor yang kerap mengeluhkan biaya buruh Indonesia. Namun, dalam jangka panjang, ketentuan itu semakin tidak menyejahterakan buruh dan menekan daya beli. Padahal, konsumsi masyarakat adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Aspirasi Publik Terhambat karena Belum Semua RPP Bisa Diakses
Dari sisi investasi, capaian Indonesia sebelum UU Cipta Kerja sebenarnya tidak buruk. Survei Asia Business Outlook oleh The Economist pada 2019 menunjukkan, Indonesia masih masuk dalam tiga besar negara di Asia yang diminati investor yang menjadi responden.
Selama Covid-19 pun, realisasi investasi sepanjang tahun 2020 masih mencapai 101,1 persen dari target sebelumnya. Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat, realisasi investasi senilai Rp 826,3 triliun atau tumbuh 2,1 persen secara tahunan.
Artinya, persoalan investasi di Indonesia bukan dari sisi kuantitas, melainkan kualitas. Hal itu tecermin lewat incremental capital-output ratio (ICOR) yang tinggi pada angka 6,77 persen, jauh dari kisaran angka ideal sebesar 3 persen. Ini menunjukkan, investasi di Indonesia kurang efisien. Tak hanya itu, peningkatan investasi juga tidak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja.
UU Cipta Kerja tidak ada artinya jika tidak diiringi dengan strategi menarik investasi berkualitas yang mampu memberi efek pengganda untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Misalnya, investasi yang menciptakan lapangan kerja berkualitas, menghasilkan produk berorientasi ekspor, dan mendorong daya saing industri RI di kancah perdagangan global.
Hal ini tidak cukup dijawab lewat UU, tetapi memerlukan strategi investasi yang terkoordinasi lintas kementerian/lembaga dengan mengesampingkan ego sektoral atau kepentingan kelompok tertentu.
Korupsi
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya ICOR adalah maraknya korupsi sektor usaha yang menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Pemerintah menyebut UU Cipta Kerja sebagai solusi atas maraknya korupsi di sektor usaha, yang selama ini menjadi faktor utama kendala investasi.
Pemberian izin berusaha yang dipermudah dan disederhanakan diyakini akan menutup celah gelap praktik suap. Semua izin usaha, dari proses penerbitan izin hingga pengawasan, juga akan dilakukan daring lewat sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS).
Logika pemerintah, untuk menekan korupsi di sektor usaha, lebih baik izinnya dipermudah. Mengutip Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, pengusaha itu banyak akalnya. Kalau izin dipersulit, pengusaha akan mencari cara untuk menyiasati aturan dan menaklukkan pejabat.
Pembenahan sistem tentu diperlukan. Proses perizinan yang rumit dan berbiaya tinggi selama ini menjadi kendala investasi, sebagaimana salah satu poin utama yang digarisbawahi Forum Ekonomi Dunia dalam Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018.
Namun, mempermudah izin berusaha tidak akan serta-merta menutup praktik korupsi. UU Cipta Kerja belum tentu akan mengurangi korupsi, melainkan sekadar memindahkan celah korupsi dari perizinan usaha ke sektor lainnya, seperti pengawasan. Seperti disebut Bahlil, pengusaha banyak akalnya.
Baca juga: Petani dan Nelayan Berkeberatan dengan RUU Cipta Kerja
Terutama, jika sistem pengawasan dan kapasitas sumber daya manusia tidak diperkuat untuk mengimbangi kemudahan luar biasa yang didapat pengusaha. Kondisi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang tidak bertaji pasca-revisi UU KPK juga memunculkan pertanyaan, investor seperti apa yang akan masuk nanti? Pasalnya, negara yang korup akan menarik investor yang korup pula.
Pengorbanan
Perjuangan untuk menjadi negara ekonomi maju bukan tanpa pengorbanan. Sebelum kini menjadi negara dengan ekonomi terkuat kedua di dunia, dalam upaya transformasinya, China harus terlebih dahulu melalui sejumlah masalah serius.
Hal itu antara lain meningkatnya kesenjangan sosial-ekonomi, tingginya angka pengangguran, masalah lingkungan akibat eksploitasi industri, korupsi yang menjadi-jadi, serta gejolak dan tragedi sosial-politik yang selamanya menjadi noktah hitam rezim Deng Xiaoping—lepas dari kontribusi berharganya memajukan perekonomian China ke panggung global.
Indonesia tentu bisa belajar dari situ dan menghindari cara-cara transformasi dengan pola zero-sum game yang menguntungkan segelintir orang, tetapi mengorbankan aspek lainnya. Penguatan sistem pengawasan, kontrol, dan penegakan hukum mutlak diperlukan untuk mencegah ekses dari kebebasan dan kepercayaan luar biasa yang diberikan pemerintah ke pengusaha.
Undang-Undang Cipta Kerja dan segenap peraturan turunannya memang akan mengubah arah permainan di masa mendatang. Namun, permainan yang seperti apa, untuk kemenangan siapa, dan dengan mengorbankan apa? Waktu yang akan menjawab.
Baca juga: Karpet Merah Impor Pangan, Nasib Petani Jadi Taruhan