Komponen Pesangon Berkurang, Daya Beli Pekerja Semakin Tertekan
Pekerja juga berperan penting sebagai penggerak konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi. Jika kompensasi bagi korban PHK diturunkan, daya beli pekerja akan menurun.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih lantaran imbas pandemi Covid-19, pemerintah menurunkan komponen pesangon bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Seiring dengan itu, program bantuan subsidi gaji juga tidak dilanjutkan tahun ini. Berbagai kebijakan itu dikhawatirkan semakin menekan daya beli pekerja dan melambatkan pertumbuhan ekonomi.
Ketentuan tentang pengurangan komponen pesangon diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu sudah rampung dibahas dan akan segera disahkan bersama peraturan lainnya dalam waktu dekat.
RPP itu mengatur, dalam beberapa kondisi, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak mendapatkan uang pesangon utuh. Secara umum, Pasal 39 Ayat (2) RPP mengatur, pemberian uang pesangon disesuaikan dengan masa kerja. Nilainya minimal sebesar satu bulan upah untuk masa kerja kurang dari satu tahun dan maksimal sembilan bulan upah untuk masa kerja delapan tahun atau lebih.
Namun, dalam tujuh situasi tertentu, pekerja yang di-PHK hanya berhak mendapat separuh uang pesangon atau sebesar 0,5 kali ketentuan yang ada tersebut. Pertama, ketika terjadi pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan perubahan syarat kerja dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Kedua, ketika perusahaan melakukan efisiensi akibat mengalami kerugian.
Ketiga, saat perusahaan tutup karena mengalami kerugian selama dua tahun (berturut-turut ataupun tidak). Keempat, ketika perusahaan tutup karena keadaan memaksa (force majeur). Kelima, ketika perusahaan sedang menunda kewajiban pembayaran utang akibat merugi. Keenam, ketika perusahaan pailit. Ketujuh, ketika pekerja melanggar peraturan kerja dan telah diberikan tiga kali surat peringatan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Selasa (2/2/2021), mengatakan, dalam menyusun peraturan turunan UU Cipta Kerja, pemerintah pada prinsipnya ingin memastikan hak-hak buruh tetap terpenuhi. Selama ini, hanya beberapa perusahaan yang membayar pesangon ketika perusahaan sedang dalam kondisi terpuruk.
Oleh karena itu, ketentuan pemberian pesangon tetap diatur, hanya saja dengan besaran komposisi yang berkurang dibandingkan sebelumnya. ”Dalam kondisi tertentu, memang seseorang tidak bisa mendapatkan keuntungan maksimal, seperti ketika perusahaan rugi, pailit. Namun, pegawai tetap harus selamat, tetap harus dapat pesangon,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Dalam kondisi tertentu, memang seseorang tidak bisa mendapatkan keuntungan maksimal, seperti ketika perusahaan rugi, pailit. Namun, pegawai tetap harus selamat, tetap harus dapat pesangon.
Penurunan komponen pesangon juga tampak pada Pasal 57 RPP yang mengatur bahwa iuran pensiun atau jaminan hari tua (JHT) yang dibayarkan perusahaan kini dapat dihitung sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban pesangon saat pegawai bersangkutan di-PHK. Dengan kata lain, sebagian kewajiban membayar pesangon bisa dikompensasikan lewat biaya pensiun.
Sebagai gambaran, besar pesangon yang seharusnya diterima pekerja sebesar Rp 15 juta dan besar manfaat pensiun yang bisa dicairkan menurut program adalah Rp 10 juta. Jika perusahaan telah membayarkan iuran pensiun sebesar Rp 6 juta, kewajiban pesangon yang harus dibayar saat pekerja di-PHK cukup Rp 9 juta, tidak lagi Rp 15 juta.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, pemerintah seharusnya menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha dan pekerja. Pekerja juga memainkan peran yang penting sebagai subyek penggerak konsumsi rumah tangga dan laju pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah menurunkan kompensasi bagi korban PHK, daya beli pekerja akan menurun.
Apalagi, mengingat program bantuan subsidi gaji dari pemerintah kepada pekerja juga tidak akan dilanjutkan pada tahun 2021 karena tidak mendapat alokasi anggaran di APBN 2021.
”Pekerja justru bisa membantu pemerintah jika daya belinya terjaga. Konsumsi pekerja yang terjaga secara agregat akan mendukung konsumsi sehingga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi meski di saat-saat seperti ini,” katanya.
Pekerja justru bisa membantu pemerintah jika daya belinya terjaga. Konsumsi pekerja yang terjaga secara agregat akan mendukung konsumsi sehingga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi meski di saat-saat seperti ini.
Menurut Timboel, kompensasi PHK yang memadai bahkan bisa digunakan pekerja sebagai modal kerja membuka usaha berskala mikro dan kecil ke depan, yang akan membantu menciptakan lapangan kerja baru. Peran pekerja yang beralih menjadi pelaku usaha skala kecil ini dapat menurunkan tingkat pengangguran terbuka dan membantu proses pemulihan ekonomi saat pandemi.
Tanpa kompensasi yang memadai, pekerja yang ter-PHK akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam jangka panjang, apalagi meningkatkan kualitas hidup. ”Jangan hanya melihat dari perspektif kemudahan bagi investor dan pengusaha saja, tetapi lihat juga pekerja sebagai subyek penting dalam pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Anwar berpendapat, meskipun komponen pesangon menurun, pekerja tidak akan dibiarkan. Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah memunculkan program baru di BP Jamsostek, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memberikan bantuan uang tunai, kelas pelatihan, dan akses informasi bursa kerja bagi korban PHK.
Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah memunculkan program baru di BP Jamsostek, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memberikan bantuan uang tunai, kelas pelatihan, dan akses informasi bursa kerja bagi korban PHK.
Saat ini masih ada persoalan terkait cakupan kepesertaan BP Jamsostek yang minim dan kendala akses pekerja untuk mendapa JKP. Berdasarkan data Kemenaker, akibat pandemi, jumlah peserta BP Jamsostek turun 2,69 juta orang, dari 54,45 juta orang pada 2019 menjadi 51,75 juta orang.
Sebagai perbandingan, total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2020 ialah 128,45 juta orang. Dengan demikian, kepesertaan BP Jamsostek saat ini baru mencakup sekitar 40 persen dari total penduduk bekerja.
Pemerintah bersama BP Jamsostek juga akan memperbaiki sistem kepesertaan serta memperkuat sanksi bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya di BP Jamsostek. Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker) juga akan dibuat lebih mutakhir agar pekerja memiliki basis data memadai terkait posisi program perlindungan ketenagakerjaan apa yang sudah ia ikuti, termasuk JKP.
”Pembenahan dan perbaikan akses kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan ini menjadi pekerjaan rumah dan tantangan kami ke depan setelah RPP selesai dibahas. Bukan hanya masalah akses, sanksi juga akan diterapkan. Dalam RPP Cipta Kerja ini, semua ada sanksinya,” kata Anwar.
RPP tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta PHK, hanya satu dari total 52 rancangan peraturan turunan UU Cipta Kerja yang dikebut pemerintah dalam waktu tiga bulan setelah UU sapu jagat itu disahkan. Pada Selasa (2/2/2021), semua RPP sudah dituntaskan sesuai dengan tenggat yang ditetapkan undang-undang. Meski satu hari sebelumnya, masih ada beberapa RPP yang belum tuntas.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Mugiharso mengatakan, semua RPP dan rancangan peraturan presiden (Rancangan Perpres) sudah selesai disusun. Setiap kementerian/lembaga terkait saat ini sedang dalam tahap memfinalisasi penyiapan dan pengajuan RPP dan Rancangan Perpres itu ke Presiden untuk ditandatangani.
”Sesuai arahan Presiden, hari ini (Selasa) sudah harus selesai semuanya,” katanya.