Indeks Persaingan Usaha pada 2020 termasuk kategori sedikit tinggi. Skor pada 2020 sebesar 4,65 atau turun dibandingkan dengan skor pada 2019 yang sebesar 2,72.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Persaingan Usaha Indonesia turun dari 4,72 pada 2019 menjadi 4,65 pada 2020. Penurunan indeks terjadi di dimensi penawaran, permintaan, perilaku, dan kelembagaan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengembangkan indeks sejak 2011 di 34 provinsi di Indonesia memperkirakan penurunan pada dimensi penawaran dan permintaan terjadi akibat pandemi Covid-19.
”Terkait penurunan di dimensi perilaku dan kelembagaan, kami masih mencari penyebabnya,” kata Direktur Ekonomi KPPU Zulfirmansyah di forum jurnalis secara dalam jaringan, Selasa (2/2/2021).
Indeks Persaingan Usaha merupakan ukuran persaingan usaha komprehensif yang dapat mengindikasikan suatu sektor atau daerah tertentu memiliki tingkat persaingan usaha tinggi atau rendah. Ukuran dilakukan pada tujuh dimensi, yakni struktur industri, perilaku industri, kinerja industri, regulasi industri, faktor permintaan, faktor penawaran, dan kelembagaan.
”Untuk tahun 2020, skor dimensi secara keseluruhan di angka 4,65 yang kalau dikategorikan termasuk persaingan sedikit tinggi,” katanya.
Persaingan sangat tinggi pada rentang skor 6,51-7, sementara persaingan sangat rendah pada rentang skor 0-1,5. Adapun persaingan cukup tinggi pada skor 5,51-6,5; sedikit tinggi 4,51-5,5; moderat 3,51-4,5; sedikit rendah 2,51-3,5; serta cukup rendah 1,51-2,5.
Zulfirmansyah menambahkan, penurunan di dimensi perilaku diduga karena peningkatan perilaku antipersaingan.
Dari 15 sektor usaha yang diukur KPPU, persaingan tiga sektor usaha di antaranya sedikit tinggi. Ketiga sektor itu adalah akomodasi, makanan, dan minuman; sektor reparasi mobil dan motor; serta sektor perdagangan besar dan eceran.
Tekanan
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, saat terjadi tekanan ekonomi dan resesi akibat pandemi Covid-19, perusahaan berskala dan bermodal besar relatif mampu bertahan. Sebaliknya, perusahaan kecil atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) relatif lebih rentan.
”Pantas kalau kemudian ada gap (kesenjangan) yang melebar. Kemampuan bersaing di bawah menurun, tetapi yang di atas mampu bertahan karena punya modal, jaringan, dan sebagainya,” kata Faisal.
Faisal berpendapat, penurunan skor indeks perilaku, antara lain, menunjukkan kondisi setahun terakhir mendorong aksi korporasi lebih tidak kompetitif. Ia mencontohkan, aksi korporasi berupa merger antarperusahaan semakin sering terjadi. Merger mendorong efisiensi penawaran dan permintaan sehingga harga barang dan jasa akan lebih murah.
Namun, semua hal tetap dilihat secara seimbang. Oleh karena itu, perilaku bisnis dijaga agar mendorong iklim usaha yang kompetitif dan adil.
”Dari sudut pandang konsumen, sebetulnya tidak merugikan karena konsumen dapat menikmati barang atau jasa dengan lebih murah,” katanya.
Sementara skor dimensi regulasi yang naik menggambarkan regulasi yang mengatur persaingan usaha lebih baik, lebih ketat, atau lebih lengkap. Namun, hal ini perlu disandingkan dengan indeks persaingan usaha secara keseluruhan.
”Kalau dimensi regulasi membaik, tetapi dimensi secara keseluruhan menurun, berarti ada kondisi yang tidak selalu sejalan. Artinya, ada faktor lain, selain regulasi, yang memengaruhi iklim usaha,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, persaingan yang tinggi di sektor makanan-minuman menuntut pelaku usaha berinovasi untuk memenangi persaingan.
Kalau dimensi regulasi membaik, tetapi dimensi secara keseluruhan menurun, berarti ada kondisi yang tidak selalu sejalan.