Penggunaan uang kartal kian ditinggalkan dengan adanya uang digital. Namun berbagai pihak perlu menjaga kedaulatan rupiah sebagai mata uang NKRI
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Berbelanja atau membayar suatu tagihan tanpa uang tunai mungkin sudah jadi kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan. Penggunaan uang elektronik kian lumrah mengikuti perkembangan digital.
Meski demikian, ada sekelompok masyarakat yang masih menggunakan sistem barter untuk mendapatkan barang. Hal ini terjadi di Pasar Muamalah yang buka dua minggu sekali di Jalan Raya Tanah Baru, Beji, Depok, Jawa Barat. Pasar yang pertama kali muncul pada 2017 itu menyediakan belasan lapak pedagang yang siap melayani pembayaran dengan berbagai bentuk komoditas.
Yasser, salah satu pedagang yang biasa menjajakan makanan basah dalam kemasan di Pasar Muamalah, mengatakan bisa melayani pembayaran dengan berbagai alat tukar. Selain mata uang rupiah, ia juga pernah menerima paket bahan kebutuhan pokok untuk ditukarkan dengan barang dagangannya.
Tidak hanya itu, ia dan pedagang lain juga melayani pembayaran dengan logam emas dan perak, yang biasa disebut dinar dan dirham. Logam tersebut hadir dalam bentuk koin perhiasan, seperti yang biasa dikoleksi masyarakat sebagai barang investasi.
Logam tersebut dipakai sebagai alat tukar dengan menggunakan standar berat koin, dinar koin emas 4,5 gram 22 karat dan dirham 2.975 gram perak. ”Jadi, ini tidak merujuk pada mata uang negara mana pun,” katanya kepada Kompas, Selasa (2/2/2021).
Keberadaan pasar tersebut tidak semata untuk menghidupkan ekonomi rakyat lewat jual beli, tetapi juga menjadi sarana wakaf, sedekah, dan zakat. Sistem barter, termasuk dengan komoditas logam, diharapkan dapat memfasilitasi para penerima sedekah zakat atau mustahik untuk bisa mendapatkan barang yang dibutuhkan.
Suasana ini sama uniknya dengan aktivitas di Pasar Papringan yang berada di Desa Caruban, Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah (Kompas.com, 22/3/2016). Pasar itu menjajakan berbagai produk khas setempat dan daerah Jawa Tengah, mulai dari kuliner hingga barang kesenian. Pasar tersebut dibuka periodik, setiap Minggu Wage dan Minggu Pon.
Hal unik lain dari pasar tersebut adalah penggunaan alat tukar dari kepingan bambu. Sebelum berbelanja, pembeli bisa menukarkan uang kartal dengan uang yang memiliki nominal tersendiri, seperti 1 pring (setara Rp 1.000) dan 50 pring (setara Rp 50.000).
Penggunaan uang bambu menjadi penanda ciri khas pasar tersebut yang dibuka di tengah kebun bambu. Keberadaan pasar tersebut pun telah bertahun-tahun menjadi daya tarik pariwisata.
Terbatas
Ekonom dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, saat dihubungi Kompas, Selasa, menilai fenomena penggunaan alat tukar tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bermasalah. Hal ini karena penggunaan alat tukar dilakukan secara terbatas.
Alat tukar tersebut juga sama dengan penggunaan voucer, hasil penukaran rupiah, untuk bertransaksi dalam satu lokasi. Ini juga sama halnya dengan penggunaan uang elektronik seperti yang jamak dipakai saat ini.
”Saya kira, fenomena adanya sekelompok masyarakat kita yang bernostalgia dengan uang dirham emas zaman lampau adalah sebuah realitas yang tidak perlu ditanggapi terlalu serius, selama mereka tidak melanggar peraturan perundangan. Fenomena uang emas itu sama dengan uang bambu yang dipergunakan secara terbatas sekali di lingkungan mereka,” tuturnya.
Sementara itu, penggunaan mata uang tunai selain rupiah, seperti valuta asing, atau mata uang baru yang dipakai secara massal disebutnya baru menyalahi aturan. Fenomena penggunaan valuta asing sebagai alat pembayaran tunai pernah marak di lingkungan usaha dan perhotelan sebelum tahun 2010-an.
Pada saat itu, Bank Indonesia (BI) sampai mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penggunaan valuta asing. Hal itu bertujuan mengendalikan permintaan valuta asing yang bisa memengaruhi nilai tukar rupiah.
”Ketegasan untuk fenomena seperti itu memang harus diapresiasi. Wibawa rupiah harus dijaga dan rupiah harus digunakan sepenuhnya,” kata Piter.
Kedaulatan
Meski demikian, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono tetap memperingatkan masyarakat tentang kewajiban penggunaan uang rupiah di wilayah negara. Peringatan tertulis pada pekan lalu juga disampaikan kepada penyelenggara Pasar Muamalah yang sempat viral di media.
Mewakili BI, ia menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 23 B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 juncto Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2, Pasal 2 Ayat (1) serta Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Mata Uang, rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pasal 23 B dalam UUD 1945 menjelaskan, macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Sementara dalam Pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, antara lain, menjelaskan bahwa rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI.
Adapun soal sanksi dan ketentuan pidana penjara hingga denda atas pelanggaran pasal tersebut diatur dalam Pasal 33 pada undang-undang yang sama. Pelanggar bisa dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
”BI mengajak masyarakat dan berbagai pihak untuk menjaga kedaulatan rupiah sebagai mata uang NKRI,” ucapnya.
Semangat menjaga kedaulatan rupiah ini pernah juga dikeluarkan BI untuk menanggapi kehadiran mata uang digital, bitcoin. Mata uang yang dapat digunakan untuk membeli, menjual, dan menjadi ukuran nilai atau harga barang-barang tersebut cenderung menjadi alat spekulasi seperti emas dan perak.
Pada awal 2021, Pemerintah Indonesia pun hanya mengizinkan perdagangan mata uang digital (cryptocurrency) seperti bitcoin itu di bursa berjangka. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengakui 229 uang digital di Tanah Air.