Perilaku Konsumsi dan Tabungan
Sebagai unit ekonomi, keluarga besar dan komunitas lokal di daerah semi perkotaan dan perdesaan juga digunakan sebagai penyangga penurunan pendapatan.
Seperti halnya saat depresi besar di Amerika Serikat sesuai resep dari The General Theory of Employment, Interest, and Money dari John Maynard Keynes (1936), pengeluaran pemerintah menjadi andalan ketika hampir semua komponen sisi permintaan konsumsi, investasi, dan ekspor-impor lumpuh akibat pandemi.
Namun, sebesar apa pun pengeluaran pemerintah, dampak akhir pada perekonomian sangat tergantung dari daya ungkit. Padahal, daya ungkit ditentukan tidak hanya oleh proporsi pendapatan yang dibelanjakan, tetapi juga dipengaruhi berbagai faktor sosio-ekonomi dan budaya.
Daya ungkit
Daya ungkit dalam perekonomian dapat terlihat dari rata-rata proporsi pendapatan yang dikonsumsi (average propensity to consume/APC) sebesar 68,3 persen yang dapat dianggap sebagai kecenderungan rata-rata konsumsi jangka panjang marginal (marginal propensity to consume/MPC). Dengan besaran MPC ini, daya ungkitnya diperkirakan secara kasar sebesar 3,15 atau setiap rupiah pengeluaran eksogen seperti pengeluaran pemerintah akan menghasilkan dampak Rp 3,15 pada pendapatan nasional.
Daya ungkit ditentukan tidak hanya oleh proporsi pendapatan yang dibelanjakan, tetapi juga dipengaruhi berbagai faktor sosio-ekonomi dan budaya.
Pandemi Covid-19 tidak serta-merta menurunkan APC bulanan. Prospek penurunan pendapatan dihadapi dengan menggunakan tabungan dan penurunan cicilan pinjaman. Menurut survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia, cicilan pinjaman pada Agustus 2020 masih 12,2 persen dari pendapatan. Proporsi ini turun menjadi 10,2 persen pada Desember 2020.
Bantuan sosial mempunyai dua efek. Pertama, mempertahankan APC kurang lebih pada tingkat historisnya untuk tetap memberikan daya ungkit yang cukup. Kedua, meningkatkan proporsi tabungan terhadap pendapatan karena kekhawatiran terhadap pandemi dan kesempatan kerja. Keduanya cenderung menurunkan daya ungkit.
Pada awal pandemi, Maret 2020, proporsi yang dibelanjakan untuk konsumsi 69 persen dan tidak berubah pada Desember 2020. Sementara, pada periode yang sama, porsi tabungan malah meningkat dari 18,6 persen ke 20,8 persen.
Pertumbuhan negatif tahunan konsumsi masyarakat minus 5,52 persen dan minus 4,04 persen pada triwulan II dan III-2020 sebagian besar disebabkan penurunan APC dari kelompok berpendapatan di atas Rp 5 juta, dari 64,5 persen pada Maret 2020 ke 63,4 persen pada Desember 2020. Pada umumnya kelompok ini mengurangi pengeluaran untuk leisure sehingga mengurangi daya ungkit perekonomian.
Baca juga: Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Berita baiknya, sudah mulai terjadi peningkatan kecenderungan mengonsumsi pada kelompok berpendapatan hingga Rp 3 juta per bulan sebagai dampak dari bansos. Angka APC untuk kelompok ini 70 persen dari pendapatan pada Desember 2020. Akibatnya, angka APC untuk semua kelompok pendapatan dapat dipertahankan pada 69 persen atau sama dengan besarannya di awal pandemi, Februari atau Maret 2020.
Perbaikan APC kelompok ini terjadi karena indeks ketersediaan kesempatan kerja pada Desember membaik, walaupun masih jauh di bawah 100, sebagai batas antara pesimistis dan optimistis. Akibatnya, indeks pembelian barang tahan lama untuk kelompok pendapatan hingga Rp 5 juta per bulan turut membaik, dari 68,7 persen pada Juli ke 79,7 persen pada Desember atau naik 20 persen. Memang masih di bawah batas optimistis 100, tetapi sudah cukup untuk mendongkrak angka indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) sektor manufaktur ke zona ekspansi di atas angka 50 untuk November, bahkan Desember sudah mencapai 51,3.
Perilaku kekerabatan
Peningkatan proporsi pendapatan yang ditabung tersebut tidak menutup kemungkinan berasal dari usaha mengumpulkan sumber daya pada tingkat keluarga besar. Hal ini mirip jaring pengaman sosial pada saat situasi sedang tidak menentu. Eratnya semangat kekerabatan (extended family) memungkinkan mereka berbagi bansos dan sumber pendapatan lain ala Household Altruism Model (Becker [1974 dan 1981]) untuk mempertahankan kesejahteraan bersama.
Peningkatan proporsi pendapatan yang ditabung tersebut tidak menutup kemungkinan berasal dari usaha mengumpulkan sumber daya pada tingkat keluarga besar.
Liburan Lebaran, Natal, dan Tahun baru digunakan sebagian pekerja migran untuk kembali ke daerah asal sebagai ”pertahanan terakhir” menggunakan jaringan kekerabatan sebagai modal sosial (social capital) untuk bertahan dari dampak ekonomi dari pandemi. Walaupun secara perseorangan masing-masing anggota keluarga dewasa masih mempunyai tabungan, fungsinya berubah menjadi instrumen pengumpulan sumber daya (resource pooling) pada tingkat keluarga besar ala intra household allocation model (Behrman [1992] dan Haddad et,al [1994]) untuk berjaga-jaga menghadapi ketidakpastian kesempatan kerja.
Baca juga: Vaksin dan Pemulihan Ekonomi
Implikasi kesehatan
Perilaku mikro di atas juga mempunyai implikasi kesehatan. Definisi keluarga besar adalah keluarga inti ditambah keluarga yang lain yang bukan inti dan makan dari satu dapur. Hal ini juga memungkinkan timbulnya kluster penularan pada tingkat keluarga. Sebagai unit ekonomi, keluarga besar dan komunitas lokal di daerah semi perkotaan dan perdesaan juga digunakan sebagai penyangga penurunan pendapatan. Lonjakan kasus baru positif yang tinggi di beberapa provinsi di Jawa sangat mungkin disebabkan fenomena kedua model ekonomi rumah tangga berbagi itu.
Hanya beberapa negara yang dapat mempertahankan keseimbangan mencegah penyebaran pandemi, mempertahankan kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan. Salah satunya Vietnam yang mempunyai karakter mirip Indonesia dengan populasi penduduk perdesaan yang cukup besar, mobilitas kota-desa sebagai pekerja migran, dan hubungan kekeluargaan yang erat. Vietnam dapat mempertahankan pertumbuhan positif 2,62 persen pada triwulan III-2020, salah satunya dengan memanfaatkan perilaku kekerabatan, tetapi pada saat yang sama juga berusaha menekan penyebaran pandemi.
Lonjakan kasus baru positif yang tinggi di beberapa provinsi di Jawa sangat mungkin disebabkan fenomena kedua model ekonomi rumah tangga berbagi itu.
Menggunakan pengalamannya dalam perang semesta selama konflik dengan AS pada 1960-an dan 1970-an, Vietnam menggunakan 3T (testing, tracking, dan treatment) pada tingkat mikro, selain juga menegakkan disiplin 3M (memakai masker, mencuci tangan menggunakan sabun, dan menjaga jarak) pada tingkat komunitas kecil.
Indonesia dapat menjalankan konsep intervensi mikro komunitas yang sudah ada. Tentunya dengan sumber daya yang ada akan menjadi tidak efektif jika semuanya disebar secara merata di setiap daerah. Untuk itu, konsep penggelaran berdasarkan potensi ancaman, peningkatan kasus positif secara drastis, daerah pekerja migran, dan lain-lain dapat digunakan pada tingkat komunitas kecil seperti RT, RW, kelurahan, dan kecamatan.
Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia.