Indeks harga konsumen pada Januari 2021 turun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencerminkan rendahnya permintaan di tengah pandemi. Penanganan Covid-19 krusial untuk membangkitkan kepercayaan konsumen.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren perlambatan indeks harga konsumen atau inflasi membayangi perekonomian Indonesia triwulan I-2021 lantaran tekanan akibat pandemi Covid-19 belum usai. Pemulihan keyakinan konsumen menjadi kunci mendorong permintaan yang tecermin dalam belanja masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Januari 2021 secara bulanan mencapai 0,26 persen, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 0,45 persen. Kelompok pengeluaran makanan dan minuman memberi andil terbesar, yakni 0,21 persen, terhadap inflasi Januari 2021, terutama didorong oleh kenaikan harga beberapa komoditas seperti cabai rawit, tahu, tempe, dan daging sapi.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, data menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 masih menekan laju inflasi awal tahun ini. ”Sepanjang triwulan-I 2021, inflasi bulanan diperkirakan berada di bawah 0,5 persen,” ujarnya saat dihubungi, Senin (1/2/2021).
Pemulihan keyakinan konsumsen dapat memantik belanja masyarakat di tengah proyeksi perlambatan tersebut. Saat ini, pemulihan keyakinan konsumen bergantung pada pengendalian pandemi Covid-19 dan kelancaran proses vaksinasi di Indonesia.
Berdasarkan survei konsumen yang dirilis Bank Indonesia pada Januari 2021, indeks keyakinan konsumen Indonesia pada Desember 2020 berada di posisi 96,5, lebih tinggi dibandingkan indeks bulan sebelumnya yang 92. Namun, posisi itu masih di zona pesimis atau indeksnya di bawah 100.
Ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan juga membaik, tecermin dalan indeks ekspektasi konsumen yang meningkat dari 123,9 pada November 2020 menjadi 124,3 pada Desember 2020. Namun, sejumlah komponen indeks melemah, seperti ekspektasi terhadap penghasilan yang turun dari 131,2 menjadi 130,2 dan ekspektasi kegiatan usaha turun dari 122,8 menjadi 121,2.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Latif Adam, berpendapat, cara pemerintah menangani dan mengendalikan pandemi memengaruhi keyakinan konsumen. ”Semakin tinggi angka kasus Covid-19, konsumen makin tidak yakin untuk berbelanja. Mereka lebih memilih berjaga-jaga karena masih menghadapi ketidakpastian,” katanya.
Menjaga keyakinan konsumen penting untuk mencegah tren perlambatan inflasi berubah jadi deflasi atau bahkan situasi deflationary spiral. Kondisi ini dapat melemahkan kinerja pertumbuhan ekonomi nasional, apalagi konsumsi menjadi penyokong utamanya.
Mengutip publikasi lembaga riset BBVA Research, deflationary spiral merupakan periode panjang deflasi (upah beserta harga barang, jasa, dan aset menurun) yang terjadi terus-menerus dan meluas beserta dengan perlambatan atau stagnansi perekonomian. Istilah ini diperkenalkan oleh Irving Fisher, akademisi ekonomi dari Amerika Serikat, sekitar 1930.
Guna memulihkan keyakinan konsumen, kata Latif, pemerintah perlu menunjukkan upaya dalam pengendalian pandemi yang tecermin dari penurunan kasus Covid-19. Selain itu, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan pendapatan usaha.
Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, daya beli masyarakat belum pulih. Menurut dia, suplai tersedia, tetapi permintaan masih lemah. Belum pulihnya daya beli masyarakat tampak dari pergerakan inflasi inti.
Inflasi inti pada Januari 2021 secara bulanan mencapai 0,14 persen dan 1,56 persen secara tahunan. Angka inflasi inti tahunan cenderung melambat sejak Maret 2020.