Tanda-tanda kegagalan merger sebenarnya mulai tampak ketika pascamerger karyawan mengalami demotivasi, konsumen merasakan penurunan kualitas produk, dan vendor juga bingung berhadapan dengan manajemen baru.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah perusahaan melakukan merger. Pandemi itu sendiri telah membuat perusahaan pusing, apalagi bila ditambah keharusan untuk merger karena berbagai alasan, maka sudah pasti mereka makin pusing. Namun, merger sebenarnya telah memiliki kerumitan tersendiri sekalipun tidak ada pandemi.
Tahun lalu sejumlah merger dilakukan perusahaan swasta. Sejak tahun lalu kita mendengar ada rencana merger antara Gojek dengn Grab dan awal tahun ini antara Gojek dengan Tokopedia. Kemudian kemarin, diresmikan merger tiga bank syariah badan usaha milik negara. Tahun ini kemungkinan masih ada lagi rencana merger meski belum diketahui dengan pasti.
Lantaran merger dan akuisisi makin sering terjadi, maka dalam setiap periode berbagai lembaga konsultan mengeluarkan kajian tentang proses merger dan akuisisi. Mereka menyurvei dengan mewawancarai sejumlah pimpinan puncak perusahaan untuk mengetahui rencana bisnis dan tanggapan mereka terhadap situasi terakhir yang memengaruhi merger dan akuisisi.
Dari berbagai cerita perusahaan yang telah dan hendak merger di Indonesia, keinginan dan motivasi yang kuat untuk merger sangat menjadi penentu keberhasilan aksi korporasi itu. Mereka yang sama-sama memiliki keinginan kuat dengan mudah melakukan kesepakatan. Sebaliknya, mereka yang sejak awal tidak memiliki niat, sekalipun didorong pemegang saham, prosesnya alot dan banyak yang buntu.
Alasan mengapa mereka merger menjadi sangat penting sehingga dari mulai pemegang saham, eksekutif perusahaan, dan karyawan mudah memahami rencana aksi koprorasi itu. Para ahli juga sepakat, kepastian alasan merger menjadi daya dorong yang tak akan habis ketika mereka melalui masa-masa berat di awal merger hingga menjalani penggabungan dua atau lebih entitas bisnis.
Dari berbagai cerita perusahaan yang telah dan hendak merger di Indonesia, keinginan dan motivasi yang kuat untuk merger sangat menjadi penentu keberhasilan aksi korporasi itu.
Meski proses awal merger mulus, ternyata hal itu tidak menjamin kesuksesan kelanjutan bisnis sebagai hasil merger. Sebuah artikel di Harvard Business Review menyebutkan, 70-90 persen merger ternyata gagal. Sebuah angka yang mencengangkan. Dari riset yang dilakukan ternyata kegagalan itu mengonfirmasi betapa penting alasan merger itu sendiri sehingga bisa diterima semua pihak di dalam dan luar perusahaan.
Sebagian besar kegagalan itu pada ujungnya adalah kegagalan para eksekutif perusahaan memandang konsumen, vendor, dan karyawan dalam proses merger. Mereka gagal memahami bahwa mereka adalah manusia yang tak sekadar angka di atas kertas dalam kesepakatan merger. Namun, mereka juga berhak mengetahui alasan dari merger dan juga peran mereka ketika kesepakatan merger terjadi.
Tanda-tanda kegagalan merger sebenarnya mulai tampak ketika pascamerger karyawan mengalami demotivasi, konsumen merasakan penurunan kualitas produk, dan vendor juga bingung berhadapan dengan manajemen baru. Mereka mendapat sinyal yang salah akibat eksekutif perusahaan tak berkomunikasi dengan tepat. Kegagalan itu sudah bisa dirasakan sejak awal bila para eksekutif perusahaan peka.
Tanda-tanda kegagalan merger sebenarnya mulai tampak ketika pascamerger karyawan mengalami demotivasi, konsumen merasakan penurunan kualitas produk, dan vendor juga bingung berhadapan dengan manajemen baru.
Dalam sebuah artikel di laman Forbes disebutkan, Cisco adalah salah satu perusahaan yang sukses dalam merger dan akuisisi perusahaan meski jumlahnya mencapai 200 buah. Orang mungkin menduga semua ini karena mereka superior di bidang teknologi. Namun, anggapan ini salah. Mereka berhasil karena di belakangnya terdapat tim dan orang-orang hebat. Orang yang kemudian ke luar dari perusahaan juga kecil pascamerger.
Ada beberapa tahapan kunci untuk sebuah merger dan akuisisi yang sukses. Mereka yang hendak melaksanakan aksi korporasi itu sudah barang tentu memahami perusahaan yang menjadi target. Di luar itu, salah satu saran yang diajukan ketika di dalam proses merger dan akuisisi adalah pemahaman tentang orang di dalam perusahaan. Mereka perlu paham tentang keyakinan, paham, dan perilaku orang di dalamnya.
Untuk mengetahui orang di dalam perusahaan yang menjadi target, kadang digunakan berbagai alat dan fasilitas deteksi di bidang pengelolaan sumber daya manusia. Pada saat yang bersamaan, mereka perlu mengetahui kelemahan-kelemahan orang di dalamnya. Mereka juga membutuhkan pengetahuan itu untuk merestrukturisasi organisasi dan bidang usaha begitu merger disepakati.
Tidak mengherankan bila merger yang sukses sudah diketahui sejak awal. Komunikasi di antara pimpinan perusahaan yang hendak merger tidak mengalami hambatan besar. Karyawan yang mendengar pun sebagian besar mendukung aksi korporasi itu. Oleh karena itu, untuk mengetahui keberhasilan perusahaan yang hendak merger cukup kita mendengarkan suara karyawan.
Semua itu melampaui pelaksanaan uji tuntas dan kerumitan masalah hukum dan finansial merger perusahaan. Ibarat sebuah orkestra semua alat musik, gedung pertunjukan, dan fasilitas pendukung sudah siap, tetapi pada ujungnya sangat bergantung kepada pemain dan konduktornya. Penonton akan paham apabila di dalam orkestra itu ada yang janggal sekalipun konser sudah disiapkan lama dan latihan mencukupi.