Tak Hanya Rasa, Visual Produk Juga Menentukan dalam Bisnis Kuliner
Visual kini menjadi daya tarik pertama dari industri kuliner yang dipasarkan melalui daring. Untuk itu, pembuatan konten visual yang menarik menjadi poin utama, selain dari rasa makanan dan minuman itu sendiri.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbisnis di industri kuliner kini tidak hanya soal rasa, tetapi visual juga harus bisa menjual. Pemanfaatan teknologi informasi dan internet menjadi upaya dari pelaku usaha untuk bertahan, bahkan meningkatkan penjualan di tengah pandemi Covid-19.
Hasil survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha Jilid II dari Badan Pusat Statistik yang terbit pada Desember 2020 menunjukkan, sebesar 56,58 persen responden dari total 7.907 responden di sektor akomodasi dan makanan-minuman mengalami kendala pemasaran. Pelaku usaha pun berupaya menghadapi kendala tersebut dengan mengubah model pemasaran.
Upaya yang paling banyak dilakukan perusahaan dalam menghadapi kendala usaha adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan internet. Sebesar 33,75 persen responden tercatat telah mengubah model pemasarannya.
Pemilik Sate Babi Bawah Pohon Jakarta, Alethea Alice, menyampaikan, pandemi Covid-19 memberinya kesempatan untuk berefleksi tentang proses bisnis yang dijalankan. Kini, bukan lagi konsumen yang mendatangi restoran, tetapi konsumen didatangi layanan restoran.
”Pada awal pandemi Covid-19 di 2020, bisa dibilang bisnis sangat sulit karena selain tidak ada yang datang ke restoran, saya punya utang Rp 60 juta. Saya tetap berusaha dan berefleksi, salah satunya melakukan efisiensi menu dari yang awalnya 30 menu kini lebih fokus pada menu-menu terbaik,” ujar Alice, Selasa (2/2/2021).
Diskusi ini mengemuka dalam webinar bertemakan ”Overcome the Challenges of the Culinary Business in New Normal” yang diadakan oleh Kreen. Hadir pula sebagai narasumber, pemilik OMIMA Indonesia, Rizky Nugroho, dan pemilik sekaligus juru masak Coquito, Alton Annar.
Alice melanjutkan, untuk mempertahankan bisnis, penjualan juga dilakukan dengan pengiriman langsung ke rumah konsumen tanpa biaya kirim. Pada akhir pekan, ia dapat mengirim hingga 16 alamat dalam satu kali pengiriman.
Selain itu, pengemasan dengan metode vacuum juga dilakukan untuk menjangkau konsumen di luar Jakarta. Pengiriman Sate Babi Bawah Pohon pun sudah mencapai Makassar, Semarang, Yogyakarta, Kalimantan, Medan, Palembang, bahkan Singapura.
”Vacuum pack ini menjadi strategi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Bisa dibilang, masa pandemi ini malah membuat bisnis saya lebih berkembang dan stabil karena saya bisa berfokus pada kekuatan yang ada serta mencoba berbagai opsi baru,” ujarnya.
Selain itu, kata Alice, pemilik bisnis harus mendengarkan keinginan pelanggan dan meminta masukan dari mereka. Pastikan juga ada sesuatu yang spesial dari produk yang dijual.
”Kita harus menyadari, pasar digital semakin besar setiap hari dan kalau mau bertahan di industri kuliner, harus melakukan branding, marketing, dan packaging yang menarik. Soalnya, konsumen sekarang akan makan pakai mata dulu baru pakai mulut,” tutur Alice.
Tantangan bisnis di masa pandemi juga dialami oleh pemilik OMIMA Indonesia, Rizky Nugroho, yang merintis usaha kuliner pada 2019 di Cilandak, Jakarta Selatan. Akibat Covid-19, usahanya harus tutup selama enam bulan dan mulai kembali dibuka pada Agustus 2020.
Saat OMIMA tutup, kata Rizky, pembenahan dilakukan untuk menyusun ulang strategi pemasaran, khususnya di berbagai platform digital. Ia kemudian mendaftarkan usaha kulinernya di setidaknya tiga platform perdagangan elektronik (e-commerce).
”Bisnis di pasar digital juga bukan tanpa kerja keras. Untuk bisa dilihat dan dipilih oleh konsumen, kita harus menampilkan visual yang menarik serta promo yang dapat membuat orang membeli produk kita,” ujar Rizky.
Terus bekerja
Tidak seperti pelaku usaha sebelumnya yang telah memulai bisnis sebelum pandemi Covid-19, Alton Annar memulai usaha Coquito setelah pandemi pada awal 2020. Dengan membawa konsep makanan Meksiko bercita rasa Asia, Coquito mendapat sambutan baik dari para konsumen.
”Kami mulai dengan modal awal Rp 300.000. Awalnya kami menerima 15 pesanan saat membuka PO (pre order) dan sekarang kami bisa mendapatkan hingga 120 porsi, bahkan 150 porsi setiap membuka PO,” ucapnya.
Kuncinya, menurut Alton, dalam memulai bisnis, setiap pelaku usaha harus menyadari tiga hal, yaitu execution (eksekusi), obstacles (tantangan), dan persistency (konsisten). Ketiga hal ini harus dilakukan untuk membuat usaha bisa berjalan, bahkan berhasil.
”Setelah kita eksekusi, biasanya banyak pelaku usaha yang tidak tahan ketika mendapatkan komplain. Padahal, kritik harus kita terima untuk menjadi perbaikan di masa mendatang,” ujar Alton.
Tantangan juga bisa hadir saat pesanan mulai turun atau tidak sebanyak sebelumnya. Maka, dibutuhkan konsistensi dalam menjaga semangat untuk tetap berusaha dan mencari strategi baru untuk mengembangkan bisnis.
”Saya pun sempat penjualan menurun, sempat mau buka restoran, tetapi tertunda. Dari semua yang saya alami, saya tetap jalan terus dan terus berharap nantinya akan semakin besar,” kata Alton.