Pembangunan perdesaan di Indonesia dinilai membutuhkan paradigma baru. Pendekatan pembangunan mesti disesuaikan dengan tipologi desa yang memiliki variasi sektor ekonomi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor pertanian mendominasi aktivitas perekonomian di Indonesia. Meskipun demikian, banyak desa yang memiliki potensi lain di luar pertanian, seperti kerajinan, pariwisata, dan industri. Terkait hal itu, Indonesia dinilai membutuhkan paradigma baru pembangunan perdesaan.
Menurut Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB University Ernan Rustiadi, Senin (1/2/2021), pendekatan pembangunan perdesaan mesti disesuaikan dengan tipologi desa dengan keragaman sektor ekonominya.
”Paradigma baru pembangunan perdesaan tersebut mencakup antara lain pemberian stimulus produktif dan konsumtif,” kata Ernan pada acara The 17th Strategic Talk IPB University yang bertajuk ”Membangkitkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Perdesaan”.
Dia menuturkan, paradigma baru pembangunan perdesaan juga meliputi optimasi peran badan usaha milik desa, pengembangan konsep agropolitan, dan transformasi wilayah.
Selain itu, paradigma baru juga mencakup pengembangan sistem logistik elektronik, optimalisasi pengelolaan aset desa dan hasil usaha desa, pengembangan data desa yang presisi, serta sinergi dan koordinasi antarpemangku kepentingan.
Menurut Ernan, perdesaan di Indonesia selama ini masih menghadapi berbagai stigma, seperti identik dengan kemiskinan dan produktivitas rendah. Beragam permasalahan pun dihadapi perdesaan, semisal menyangkut kebocoran wilayah, terutama karena nilai tambah komoditas di perdesaan yang mengalir ke perkotaan.
Ia mencontohkan kebocoran ekonomi Nangroe Aceh Darusalam ke Sumatera Utara. Perdesaan di Aceh dalam hal ini merupakan penghasil gabah. Namun, usaha penggilingan, pergudangan, dan perdagangan itu banyak di Sumatera Utara.
”Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa perdesaan banyak mengalami kebocoran karena hilirisasi kegiatan pertanian banyak terjadi di perkotaan. Padahal, hilirisasi (produk pertanian) pun sebenarnya bisa dilakukan di perdesaan,” ujar Ernan.
Paradigma baru pembangunan perdesaan, lanjut Ernan, dibutuhkan untuk mendorong transformasi wilayah perdesaan. Perdesaan yang berbasis sektor produksi pertanian dapat diarahkan pula pada kegiatan kewirausahaan atau ekstraksi sumber daya alam.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Eddy Satria menuturkan, selain di sektor pertanian, banyak pula desa yang penduduknya mendapatkan penghasilan dari kegiatan industri. Industri di perdesaan tersebut berskala mikro dan kecil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di tahun 2018, ada 37.955 desa memiliki industri kayu, 36.374 desa memiliki industri makanan dan minuman, serta 19.063 desa yang mempunyai industri kain atau tenun.
Jumlah desa yang memiliki industri anyaman sebanyak 17.141 desa; industri gerabah, keramik, dan batu 15.139 desa; industri logam mulia dan bahan dari logam 7.670 desa; industri kulit 3.052 desa, dan industri lainnya 10.582 desa.
Eddy Satria menuturkan, sejak tahun 2013 hingga tahun 2019 telah dibangun Pusat Layanan Usaha Terpadu-Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PLUT-KUMKM). ”PLUT ini adalah lembaga yang memberikan pendampingan untuk meningkatkan nilai tambah produk KUMKM,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menuturkan, paradigma kebijakan publik, termasuk di sektor pertanian, adalah produk dari beberapa faktor variabel. Variabel dimaksud termasuk konstelasi kekuatan politik, teori dan kajian akademik, opini atau aspirasi publik, birokrasi, dan sektor swasta atau bisnis.