Berinvestasi di Pasar Modal, Pahami Risiko dan Jangan Sekadar Ikut-ikutan
Kaum milenial kini dinilai sebagai pendorong kebangkitan pasar modal. Namun, berinvestasi di pasar modal perlu pengetahuan dan pemahaman terkait bagaimana menganalisis pergerakan pasar serta memahami tingkat risiko.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski kinerja pasar modal Indonesia sepanjang 2020 tertekan akibat pandemi Covid-19, jumlah investor kian meningkat. Sejalan dengan itu, para investor pemula didorong untuk bijak dalam berinvestasi, khususnya memahami risiko investasi.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat, per 30 Desember 2020, jumlah investor pasar modal Indonesia mencapai 3,88 juta investor, naik 56,45 persen dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 2,48 juta investor. Peningkatan jumlah investor di masa pandemi didominasi oleh investor domestik berusia di bawah 30 tahun atau kaum milenial sehingga kini jumlahnya mencapai 54,8 persen dari total investor.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen menyampaikan, fenomena peningkatan jumlah investor di pasar modal merupakan hal yang membanggakan. Meski begitu, OJK akan terus senantiasa mewaspadai fenomena peningkatan jumlah investor, apakah murni karena masyarakat sudah mulai ”melek” informasi di pasar modal atau sekadar ikut-ikutan.
”Yang paling dikhawatirkan, jika sumber dana yang digunakan untuk berinvestasi bukan berasal dari hasil simpanan, melainkan pinjaman, baik secara daring atau kredit langsung. Ini akan menjadi ’bom waktu’ bagi investor itu sendiri,” tutur Hoesen dalam laporan OJK berjudul ”Perlunya Pengetahuan dalam Berinvestasi di Pasar Modal” yang dirilis pekan lalu.
Hoesen menegaskan, pada prinsipnya, kegiatan investasi harus didasarkan pada sumber dana investasi yang cukup di luar kebutuhan pokok ataupun dana cadangan kebutuhan mendesak. Arah investasi pun harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup, bukan ikut-ikutan.
Seiring dengan itu, Satuan Tugas Waspada Investasi OJK mengumumkan, pada Januari 2021, terdapat 14 entitas investasi ilegal yang telah dihentikan. Kegiatan usaha yang dilakukan para entitas ini mulai dari penawaran investasi tanpa izin, penjualan langsung, cryptocurrency, hingga koperasi simpan pinjam tanpa izin.
Selain itu, satgas menemukan 133 perusahaan teknologi finansial (tekfin) peer to peer lending (layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi) ilegal. Para calon investor pun didorong untuk mengetahui apakah perusahaan tersebut legal dengan mengontak Whatsapp OJK di nomor 081-157-157-157.
Secara terpisah, Ketua Harian Asosiasi Financial Technology (Aftech) Mercy Simorangkir menyampaikan, dengan adanya peningkatan jumlah investor di pasar modal, artinya literasi keuangan digital pun perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, Aftech akan berkolaborasi dengan otoritas serta berbagai pemangku kepentingan lainnya.
”Kami juga menyelenggarakan berbagai aktivitas untuk meningkatkan pengenalan terhadap tekfin. Pengenalan yang kami lakukan termasuk manfaat dan risiko penggunaannya serta berinvestasi melalui platform tekfin,” kata Mercy.
Pahami risiko
Perencana Keuangan Oneshildt Financial Planning, Andoko, menyampaikan, memulai investasi di pasar modal artinya mulai belajar memahami cara menganalisis saham serta risiko berinvestasi. Pemahaman diperlukan agar berinvestasi tidak karena ikut-ikutan.
”Para calon investor yang baru mau memulai investasi hendaknya mempelajari ekonomi makro, regional, dan nasional, serta pahami cara menganalisis pergerakan pasar. Cari tahu juga risiko saham, termasuk bisa kehilangan uang (yang diinvestasikan),” kata Andoko.
Setelah itu, Andoko menyarankan untuk mengikuti simulasi selama 3-6 bulan untuk mempelajari pergerakan pasar. Apabila sudah memiliki pemahaman yang cukup, investasi di pasar modal bisa mulai dilakukan.
”Perlu diingat, uang yang digunakan untuk investasi di pasar modal itu harus idle cash (dana menganggur) agar, kalaupun hilang, tidak akan mengganggu kebutuhan pokok. Jadi, memang harus paham dulu. Lebih baik terlambat daripada rugi karena berinvestasi tanpa analisis,” ujar Andoko.
Aditya Reza Dhanny (22), mahasiswa jurusan manajamen di Jepara, Jawa Tengah, termasuk salah satu kaum milenial yang memulai berinvestasi di pasar modal pada masa pandemi Covid-19. Sebelum terjun ke pasar modal, ia membekali diri dengan mengikuti sekolah pasar modal (SPM).
Untuk investasi saham, kata Aditya, dimulai pada Januari 2020 dengan menggunakan aplikasi Phintraco Sekuritas untuk jangka pendek dan Mirae Asset untuk jangka panjang. Pada November 2020, ia kemudian mencoba investasi reksa dana melalui aplikasi Bareksa dan Ajaib.
”Dalam berinvestasi, strategi saya adalah melakukan diversifikasi untuk meminimalisir risiko kerugian. Saat waktu luang, saya juga mengikuti acara kopi darat investor saham pemula Jepara untuk terus belajar karena investasi di pasar modal ini kompleks,” ujar Aditya.
Sebagai kaum milenial, Aditya menilai, investasi di pasar modal penting dilakukan sedari dini untuk mempersiapkan kebutuhan masa depan dan masa pensiun. Namun, sebelum memulainya, harus memiliki pemahaman terkait risiko di pasar modal, terutama saham.
”Saya mengajak teman-teman kaum milenial untuk ikut SPM yang saat ini semua dilakukan secara online. Nantinya, kita akan dijelaskan terkait tingkat risiko di pasar modal dan memang butuh beberapa bulan, bahkan tahunan, untuk memahami pasar modal secara mendalam,” tutur Aditya.