Selama ini, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas pulsa, kartu perdana, token listrik, atau voucer sudah berlaku. Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku Senin (1/2/2021) ini tidak mengubah harga.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan operator telekomunikasi harus lebih aktif menyosialisasikan aturan baru pemungutan pajak atas penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer. Informasi simpang siur yang beredar di masyarakat jangan sampai mengganggu implementasi peraturan, apalagi menambah beban biaya konsumen.
Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucher. PMK itu berlaku mulai Senin (1/2/2021).
Pada intinya, PMK mengatur pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terkait penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Untuk pulsa dan kartu perdana, pajak dikenakan pada level perusahaan operator telekomunikasi dan distributor besar, sampai level distributor dua.
PPN yang dikenakan untuk penjualan kartu perdana dan pulsa sebesar 10 persen dari harga jual atau nilai pembayaran yang ditagihkan perusahaan penyedia jasa telekomunikasi atau distributor. Sementara pengenaan PPh sebesar 0,5 persen dari harga jual pulsa dan kartu perdana, baik nilai yang ditagih oleh distributor tingkat dua ke distributor tingkat selanjutnya maupun harga jual ke konsumen langsung.
Kemunculan aturan ini sempat simpang siur dan menimbulkan kritik masyarakat. Sebab, ada kekhawatiran akan menaikkan harga pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer di tengah kondisi ekonomi yang sedang buruk akibat pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Sutrisman, Minggu (31/1/2021), mengatakan, PMK baru jangan sampai menimbulkan tambahan biaya bagi masyarakat. Kendati bertujuan menyederhanakan administrasi pemungutan pajak, penerapannya perlu sosialisasi lebih gencar. Apalagi, ada banyak pihak yang terlibat dalam bisnis telekomunikasi.
”Kami harus duduk bersama-sama dengan distributor atau agen penjual yang mengikatkan diri pada distributor tingkat satu. Jumlah mereka banyak sekali. Hal ini harus jelas supaya implementasi kebijakan ini baik tanpa simpang siur pandangan dan penerapan di lapangan,” kata Sutrisman dalam diskusi daring di Jakarta.
Pada dasarnya, ia sepakat bahwa pemungutan pajak cukup dibatasi pada distributor dua untuk menyederhanakan mekanisme. Sebab, dalam alur bisnis penjualan pulsa dan kartu perdana, banyak distributor, penjual, atau pengecer di tingkat akhir yang belum paham terkait kewajiban dan mekanisme pembayaran pajak.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsih mengatakan, PMK bisa menimbulkan persoalan di lapangan jika komunikasi publik dan sosialisasi tidak dibangun. Mekanisme kontrol dan pengawasan juga harus diperkuat agar penerapan di lapangan jangan sampai disalahgunakan dan membebani konsumen.
”Isu hangat seputar PMK ini membuka mata kita bahwa kita harus menggencarkan edukasi dan sosialisasi. Di tengah kondisi sulit seperti ini, tambahan biaya sehari-hari seperti pulsa, listrik ini akan sangat membebani masyarakat,” katanya.
Isu hangat seputar PMK ini membuka mata kita bahwa kita harus menggencarkan edukasi dan sosialisasi.
Pemerintah dan penyedia layanan jasa telekomunikasi juga harus terbuka kepada publik tentang berapa standar tambahan biaya yang biasanya dikenakan pada saat penjualan pulsa dan kartu perdana. Perdebatan hangat tentang PMK ini menyadarkan, selama ini banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa pulsa dan kartu perdana yang mereka beli sudah dikenai tambahan biaya pajak.
”Harus ada pemahaman yang sama dari atas ke bawah, dari penyelenggara jasa sampai ke ritel dan pengecer-pengecer. Kalau informasinya tidak jelas sampai ke tingkat ritel, akan membebani konsumen,” lanjutnya.
Bukan hal baru
Dalam penjelasannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pengenaan pajak PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token listrik, atau voucer selama ini sudah berlaku. Dengan demikian, PMK itu tidak mengatur jenis dan obyek pajak baru, tetapi hanya untuk memberi kepastian hukum dan menyederhanakan proses pemungutan PPN dan PPh tersebut.
”Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa ketentuan ini tidak akan memengaruhi harga pulsa/kartu perdana, token listrik, atau voucer,” ujarnya.
Kepala Seksi Peraturan PPN Jasa Direktorat Jenderal Pajak Rusdi Yanis mengatakan, selama ini, PPN sudah dikenakan pada saat konsumen menerima tagihan biaya pascabayar. Demikian pula untuk prabayar, PPN sudah dikenakan saat masyarakat membeli pulsa. ”Operator telekomunikasi pun selama ini saat menjual pulsa ke distributor utama atau konsumen langsung sudah mengenakan PPN,” ujar Rusdi.
Ia mengatakan, masyarakat luas tidak tahu hal itu karena belum tentu semua orang memperhatikan secara detail tagihan pembelian pulsa. ”Lagi pula, administrasi pemungutan PPN itu urusan perusahaan telekomunikasi dan kantor pajak. Konsumen sering kali tidak tahu-menahu,” ucapnya.
Mengamankan
Menurut Rusdi, di tengah pandemi Covid-19, pemerintah harus mengamankan sumber penerimaan negara, termasuk dari pajak. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan PMK untuk mengatur ulang dan menyederhanakan mekanisme administrasi pemungutan pajak dari penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer.
Pemerintah harus mengamankan sumber penerimaan negara, termasuk dari pajak.
Ia menegaskan, nantinya, pemungutan PPN hanya berlaku sampai ke distributor tingkat dua. ”Untuk rantai distribusi selanjutnya, seperti dari pengecer ke konsumen langsung, tidak perlu lagi dipungut PPN sehingga tidak akan berdampak ke harga,” katanya.
Sebelum ini, PPN dipungut pada setiap rantai distribusi, mulai dari perusahaan operator telekomunikasi, distributor utama (tingkat 1), distributor besar (tingkat 2), sampai distributor selanjutnya dan pedagang pengecer. Namun, selama ini, distributor skala kecil dan pengecer kesulitan memenuhi mekanisme administrasi PPN sehingga pembayaran pajaknya sering terkendala.
”Akhirnya, ketika petugas pajak datang, tidak dihitung berapa pajak yang harus dipungut. Akhirnya, setelah mempelajari proses bisnisnya, kebijakan kami adalah distributor bawah dan pengecer tidak wajib memungut PPN,” ujar Rusdi.
Selain pulsa dan kartu perdana, pengenaan PPN untuk token listrik hanya dikenakan atas jasa penjualan atau pembayaran token listrik dalam bentuk komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, bukan atas nilai token listriknya. Sebelum ini, ada kesalahpahaman bahwa PPN dikenakan atas seluruh nilai token listrik yang dijual agen penjual.
Demikian pula untuk penjualan voucer, PPN hanya dikenakan atas jasa penjualan atau pemasaran berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual, bukan atas nilai voucer. Sebab, voucer merupakan alat pembayaran atau dipandang setara dengan uang yang tidak terutang PPN.
”Dengan PMK ini justru kita tegaskan agar penjual jangan mengenakan pajak atas seluruh nilai voucernya, cukup pada nilai komisinya,” kata Rusdi.