Nilai tukar petani pada tiga komoditas utama di Sumsel, yakni karet, kelapa, dan kopi, menurun signifikan. Penurunan ini disebabkan oleh merosotnya harga komoditas, sementara harga barang konsumsi meningkat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Nilai tukar petani atau NTP pada tiga komoditas utama di Sumateran Selatan, yakni karet, kelapa, dan kopi, menurun signifikan. Penurunan ini disebabkan oleh merosotnya harga komoditas, sementara harga barang konsumsi meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang belum pulih akibat pandemi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan Endang Tri Wahyuningsih, Senin (1/2/2021), di Palembang, menuturkan, nilai tukar petani di sektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR) di Sumsel menurun cukup signifikan. Pada Desember 2020, NTPR sebesar 105,23 persen, sedangkan pada Januari 2021 menurun 2,74 persen menjadi 102,35 persen.
NTP digunakan untuk mengukur indeks harga barang/jasa yang dibayar petani guna keperluan konsumsi rumah tangga dan biaya produksi. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat daya beli petani di daerah perdesaan.
Menurut Endang, turunnya NTPR dipengaruhi oleh menurunnya harga komoditas pada Januari 2021 lalu dibandingkan dengan Desember 2020. Di sisi lain, inflasi perdesaan terus meningkat. Terhitung pada Januari 2021, inflasi perdesaan di Sumsel meningkat 0,65 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Penguatan inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga barang dan jasa di hampir seluruh kelompok pengeluaran.
Penurunan harga ini juga dipengaruhi oleh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Secara keseluruhan, ujar Endang, NTP di Sumsel juga turun dari 101,83 persen pada Desember 2020 menjadi 100,01 persen pada Januari 2021. Hanya saja, NTP ini tentu masih lebih baik dibandingkan dengan pada puncak masa pandemi di pertengahan 2020 ketika NTP berada di bawah 100 persen.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama agar daya beli petani bisa tetap terjaga. Misalnya dengan memotong rantai distribusi yang cukup panjang sehingga tingkat inflasi di perdesaan bisa ditekan. Atau dengan mengembangkan komoditas yang sering menjadi penyebab inflasi, seperti cabai, cabe rawit, dan mujair.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian menuturkan, turunnya NTP tiga komoditas unggulan di Sumsel, yakni karet, kelapa, dan kopi, disebabkan belum membaiknya harga komoditas akibat pandemi.
Terkhusus untuk karet, penurunan harga ini disebabkan oleh kondisi pasar global yang belum membaik akibat pandemi. ”Banyak kalangan yang masih wait and see,” ucapnya. Bahkan, beberapa negara tujuan ekspor karet juga masih belum membuka secara penuh keran impornya. ”Penurunan harga ini juga dipengaruhi oleh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,” ujar Rudi.
Di sisi lain, produksi karet petani juga belum pulih semenjak fenomena La Nina dan gugur daun melanda Sumsel. Produksi karet petani sekarang masih sekitar 80 kilogram (kg)-100 kg per hektar per minggu. Masih jauh dari produksi normal, yakni 150 kg per hektar per minggu.
Memotong rantai pasok
Yang paling utama saat ini adalah memotong rantai niaga yang terlampau panjang agar harga yang diterima petani bisa lebih mendekati harga di atas kapal (FOB). Hal tersebut dapat terealisasi dengan menggalakkan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB). Terbukti, harga karet di tingkat petani swadaya (tanpa UPPB) Rp 6.000-Rp 7.000 per kg, sementara di UPPB harga karet bisa mencapai Rp 9.000-Rp 10.000 per kg.
Menurut Rudi, cukup wajar jika daya beli petani masih rendah karena harga komoditas yang mereka terima belum mencapai harga psikologis, yakni Rp 10.000 per kg. ”Harga karet yang diterima petani karet saat ini belum setara dengan harga beras,” ujarnya.
Semakin jauh atau rusak jalan dari lokasi perkebunan ke pabrik, ongkos produksi akan semakin tinggi. Semua itu dibebankan kepada petani.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex Kurniawan Edy menuturkan, tidak utuhnya harga yang diterima petani karet di Sumsel juga disebabkan oleh kondisi infrastruktur yang tidak baik dari perkebunan ke pabrik sehingga berpengaruh pada ongkos produksi.
”Semakin jauh atau rusak jalan dari lokasi perkebunan ke pabrik, ongkos produksi akan semakin tinggi. Semua itu dibebankan kepada petani,” ucapnya.
Karena itu, Alex berharap ada kepedulian dari semua pihak, terutama pemerintah, untuk membenahi sarana infrastruktur, terutama yang mengarah ke kebun karet, agar petani dapat menikmati harga yang tidak jauh dari harga pabrik.
Kelapa
Wakil Ketua Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) Muhammad Asri menuturkan, memang ada penurunan harga kelapa di tingkat petani sebesar Rp 300-Rp 500 per butir sehingga dari biasanya Rp 3.000 per butir menjadi Rp 2.500 per butir. Penurunan ini sudah terjadi sejak akhir tahun 2020.
Kondisi ini diperparah dengan adanya kemungkinan pernurunan pembelian karena China akan memasuki masa Tahun Baru Imlek. Harga yang diterima petani saat ini masih jauh lebih baik dibandingkan dengan 2018 ketika harga kelapa sekitar Rp 700 per butir. ”Walau turun, harga kelapa saat ini masih berada di harga psikologis petani,” ucapnya.
Hanya saja, lanjut Asri, ada kemungkinan pendapatan yang diterima saat ini digunakan untuk membayar utang yang mereka buat akibat mandeknya kegiatan ekspor di puncak pandemi. ”Ketika harga kelapa masih bagus, uangnya digunakan untuk membayar utang petani yang dulu,” ujar Asri.