KKP Tunda Legalisasi Cantrang, Nelayan Tegal Meradang
Nelayan cantrang di pantura Jawa Tengah mengeluhkan penundaan dalam pemberian izin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal itu merupakan buntut protes legalisasi cantrang oleh nelayan tradisional di Kepri.
Oleh
KRISTI UTAMI/PANDU WIYOGA
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Nelayan cantrang di pantai utara Jawa Tengah mengeluhkan adanya penundaan dalam pemberian izin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penundaan itu merupakan buntut protes legalisasi cantrang oleh nelayan tradisional di Kepulauan Riau.
Misalnya, Kota Tegal, Jawa Tengah, masa berlaku Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dari sedikitnya 573 kapal cantrangg akan berakhir pada Februari dan Maret. Tanpa surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin usaha perikanan (SIUP) tersebut, aktivitas perikanan tidak bisa dilakukan. Padahal, ada sekitar 14.500 nelayan yang mengantungkan hidupnya di kapal cantrang.
Tak hanya itu, di Kota Tegal, juga ada sekitar 49 industri pengolahan ikan yang rutin mendapatkan suplai ikan dari nelayan cantrang. Dalam sehari, industri pengolahan ikan mendapat suplai hingga 900 ton ikan dari nelayan cantrang. Ikan itu merupakan hasil tangkapan dari sekitar 30 kapal cantrang yang membongkar tangkapannya di Tegal.
”Selain disuplai ke industri pengolahan ikan di Tegal, ikan hasil tangkapan nelayan Tegal juga didistribusikan keluar kota, bahkan luar pulau. Jadi, tidak hanya pasokan ikan di dalam kota yang terganggu, tetapi juga daerah lain yang bergantung terhadap hasil perikanan nelayan Tegal,” kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal Riswanto, Minggu (31/1/2021).
Jika pasokan ikan terganggu, ada kemungkinan aktivitas pengolahan ikan terhambat. Padahal, ada sekitar 5.000 orang yang bekerja pada sektor pengolahan ikan di Kota Tegal.
Sekarang juga sedang pandemi Covid-19, pemerintah menginginkan tidak ada kerumunan. Namun, kalau 14.500-an orang ini menganggur, pasti mereka akan berkerumun di pelabuhan.
Data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menunjukkan, jumlah kapal cantrang yang terdata saat ini ada sebanyak 6.800 buah. Dari jumlah itu, sebanyak 860 kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton. Kapal-kapal cantrang itu menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 115.000 keluarga.
Tidak terbit
Banyaknya kapal cantrang yang sandar di pelabuhan akibat tidak terbitnya SIUP dan SIPI juga dikhawatirkan mengganggu lalu lintas kapal, terutama yang akan melelang ikan. Kapal yang terpaksa sandar berdekatan akibat keterbatasan tempat juga berpotensi berbenturan dan menyebabkan kerusakan kapal.
”Sekarang juga sedang pandemi Covid-19, pemerintah menginginkan tidak ada kerumunan. Namun, kalau 14.500-an orang ini menganggur, pasti mereka akan berkerumun di pelabuhan,” ucap Riswanto.
Riswanto menuturkan, ia paham betul dengan kekhawatiran nelayan Kepulauan Riau (Kepri) jika wilayah tangkapan mereka diganggu. Menurut Riswanto, hal itu tidak akan terjadi karena sudah ada aturan yang melarang kapal cantrang beraktivitas di 12 mil (22 kilometer) dari pantai. Ia menegaskan, nelayan cantrang bersedia diawasi dan dihukum jika melanggar aturan tersebut.
Pada pertengahan Januari, nelayan cantrang Tegal berkunjung ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Dalam pertemuan tersebut, nelayan cantrang dan pihak KKP menyetujui sejumlah hal yang berkaitan dengan operasionalisasi cantrang.
Riswanto menyebut, poin-poin yang disepakati bersama, antara lain, tidak boleh ada kapal cantrang baru, mata jaring kantong harus selebar 2 inci serta berbentuk kotak, nelayan cantrang akan ditempatkan sesuai wilayah tangkapannya, dalam setiap kapal ada satu petugas dari KKP yang ditempatkan, dan nelayan harus bersedia membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta pungutan hasil perikanan (PHP).
”Itu semua sudah kami sepakati, menyanggupi juga. Sekarang, dapat kabar bahwa mereka akan mengkaji kembali, apanya lagi yang mau dikaji?” ujarnya.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan nelayan tradisional dari Kepri, Menteri Wahyu menyatakan, KKP masih melakukan kajian mendalam dan evaluasi terhadap kebijakan mengenai alat tangkap cantrang. Menurut dia, hal itu perlu dilakukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan nelayan seluruh Indonesia.
Buntut protes
Penundaan legalisasi cantrang merupakan buntut protes nelayan tradisional dari Kepri terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas yang terbit pada 18 November 2020.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, cantrang merupakan alat tangkap yang eksploitatif. Cantrang mengeruk semua jenis ikan dari yang besar sampai yang kecil. Alat itu juga dituding mengakibatkan kerusakan karang yang menjadi rumah ikan.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Parid Ridwanuddin menambahkan, dengan karakteristik yang telah disebutkan, beroperasinya kapal cantrang rawan memicu konflik dengan nelayan tradisional. Juga belajar dari peristiwa sebelumnya, kapal cantrang sulit dikontrol untuk hanya beroperasi sesuai zona yang telah ditentukan.
Namun, kata Riswanto, kajian terkait alat tangkap cantrang telah dilakukan oleh sejumlah pihak, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, DPRD Jateng, serta akademisi dari Tim Agro Maritim, pada 2015-2017.
Berdasarkan hasil kajian dan uji petik tersebut, rekomendasinya menyatakan, alat cantrang milik nelayan pantura ramah lingkungan asal dibatasi jumlah alat tangkapnya dan diawasi penggunaannya.
Nelayan cantrang berharap Menteri Kelautan dan Perikanan bisa berkunjung ke pantura Jawa untuk melihat bagaimana dampak penghentian penerbitan izin operasionalisasi kapal cantrang. Dengan begitu, segera ada solusi bagi belasan ribu nelayan yang terancam menganggur tersebut.