Produk Tuna Ramah Lingkungan Indonesia Diakui Dunia
Tuna sirip kuning dan cakalang Indonesia yang ditangkap dengan pancing ulur dan huhate mendapat pengakuan dunia sebagai produk ramah lingkungan. Capaian itu perlu terus diikuti manajemen pengelolaan berkelanjutan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk perikanan tuna hasil tangkapan dengan pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) Indonesia meraih sertifikasi standar global untuk perikanan berkelanjutan. Sertifikasi internasional itu diharapkan menaikkan posisi tawar dan harga jual tuna Indonesia di pasar global.
Sertifikat diterbitkan Marine Stewardship Council (MSC), organisasi lingkungan nirlaba, pada 26 Januari 2021. Sertifikasi itu melalui proses penilaian NFS International, serta konsultasi yang melibatkan Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC), organisasi internasional dalam pengelolaan dan pelestarian tuna dunia.
Sertifikasi MSC berjangka 5 tahun menjamin rantai produk mudah ditelusuri, mulai dari nelayan, jenis kapal, daerah tangkapan, jenis ikan, pedagang, usaha pengolahan ikan, hingga ritel. Dengan capaian tersebut, 11.000 ton tuna sirip kuning dan cakalang asal Indonesia ditargetkan meraih pasar yang semakin kuat ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.
Ketua Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Janti Djuari, Jumat (29/1/2021), mengatakan, proses sertifikasi bagi nelayan yang menangkap tuna satu per satu dengan pancing ulur dan huhate telah berjalan tujuh tahun. Hal ini dilakukan di wilayah Bitung (Sulawesi Utara), Banda (Maluku Tengah), serta Maumere dan Larantuka di Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Kami berharap capaian itu diikuti dengan program perbaikan manajemen pengelolaan tuna yang berkelanjutan melalui kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ujarnya.
Kami berharap capaian itu diikuti dengan program perbaikan manajemen pengelolaan tuna yang berkelanjutan melalui kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menurut Janti, produk perikanan dengan label MSC telah diakui dunia memenuhi standar ketertelusuran dan ramah lingkungan. Dengan begitu, pelaku usaha diharapkan memiliki posisi tawar lebih baik dalam pemasaran produk di tingkat global, serta mengangkat taraf hidup nelayan.
Tuna berlabel MSC ditargetkan memiliki nilai jual premium atau lebih tinggi 10-20 persen dibandingkan tuna hasil tangkapan masif dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine). Nilai jual produk tuna asal Maladewa yang memperoleh label MSC, misalnya, harganya lebih tinggi 20 persen.
”Pasar dunia kian mensyaratkan produk yang memenuhi prinsip ketertelusuran dan kaidah keberlanjutan, sehingga bernilai tambah. Peningkatan nilai jual tuna diharapkan berimbas ke nelayan dan industri tuna bisa berkesinambungan,” kata dia.
AP2HI mencatat, jumlah kapal pancing ulur dan huhate yang memperoleh sertifikasi MSC berjumlah 380 kapal, terdiri dari 307 kapal pancing ulur dan 73 kapal huhate dengan bobot kapal kisaran 1-94 gros ton (GT). Selain itu, 9 perusahaan penangkapan dan pengolahan tuna. Produk tuna perdana berlabel MSC telah diekspor ke Jepang pada 26 Januari 2021.
Sertifikasi standar global untuk perikanan tuna ramah lingkungan merupakan ketiga kalinya. Sebelumnya, pada Mei 2020, North Buru and Maluku Fair Trade Fishing Associations, Indonesian Handline Yellowfin Tuna disertifikasi dengan Standar MSC. Bulan November 2018, sertifikasi juga diperoleh PT Citra Raja Ampat Canning (CRAC).
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengemukakan, sertifikasi itu menegaskan komitmen Indonesia terhadap dunia untuk penangkapan tuna yang berkelanjutan, melalui manajemen dan pengelolaan stok yang baik. Pencapaian itu perlu didukung oleh seluruh pemangku kepentingan.
Sebagai salah satu penghasil tuna terbesar di dunia, Indonesia harus mendukung proses perolehan sertifikasi melalui sejumlah program perbaikan, sehingga sektor perikanan bisa tumbuh berkelanjutan dan memberikan jaminan mata pencarian.
”Dukungan seluruh pemangku kepentingan terhadap perikanan tuna skala kecil menjadi hal yang sangat penting dalam mendorong percepatan proses menuju keberlanjutan," kata Zaini dalam siaran pers.
Sebagai salah satu penghasil tuna terbesar di dunia, Indonesia harus mendukung proses perolehan sertifikasi melalui sejumlah program perbaikan, sehingga sektor perikanan bisa tumbuh berkelanjutan dan memberikan jaminan mata pencarian.
Data KKP menunjukkan, komoditas tuna-cakalang Indonesia memiliki kontribusi kedua terbesar untuk ekspor perikanan pada 2020, setelah udang. Volume ekspor tuna-cakalang sebanyak 195.710 ton (15,51 persen) atau 20 persen dari total produksi perikanan tangkap Indonesia pada 2018 yang mencapai 6,72 juta ton. Capaian itu sekitar 16 persen dari produksi tuna, tongkol, dan cakalang dunia.
Direktur Asia Pasifik Marine Stewardship Council (MSC) Patrick Caleo mengapresiasi upaya AP2HI dalam mengelola perikanan berkelanjutan. ”Program ekolabel dan sertifikasi MSC ini mengakui dan menghargai praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dan membantu menciptakan pasar makanan laut yang lebih berkelanjutan agar dapat diakui secara global,” ujarnya.